Kesetaraan Adam dan Hawa

KolomKesetaraan Adam dan Hawa

Kisah Adam dan Hawa merupakan sebuah nostalgia jiwa setiap manusia. Selama ini, kita meyakini bahwa Adam dan Hawa adalah spesies pertama manusia. Kita bahkan kurang mempercayai science tentang asal usul manusia lainnya, misalnya teori evolusi Darwin yang diperkenalkan di sekolah. Kisah penciptaan dan turunya manusia pertama ke bumi oleh Adam dan Hawa akrab bagi kita dari data saintifik apapun. Sepasang nenek moyang umat manusia ini dikisahkan dalam narasi agama secara dramatis, ceritanya bagus dan menarik, tetapi lama-kelamaan akan membuat bosan sebab irrelevant dan tidak memuat substansi ajaran kebenaran agama itu sendiri.

Pada era sekarang, disadari adanya hubungan antara informasi penciptaan sepasang manusia pertama, dengan kecenderungan psikologis dan sosiologis manusia saat ini, khususnya yang berkaitan dengan jender. Adam dan Hawa bukan hanya sekedar kisah legenda yang dinikmati sebagai dongeng, tetapi juga mengandung pengetahuan penting bagi realitas anak-cucunya. Konsepsi tentang asal penciptaan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, merupakan isu yang sangat penting dan mendasar zaman sekarang. Baik ditinjau secara filosofis maupun teologis, karena konsep kesetaraan atau ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan berakar dari konsep penciptaan Adam dan Hawa dalam tradisi agama.

Bias jender dalam penafsiran penciptaan Adam dan Hawa menimbulkan masalah ketimpangan relasi jender, bahkan pandangan miring atas jender perempuan. Seperti asumsi tentang manusia partama adalah laki-laki, sedangkan perempuan adalah makhluk sekunder karena diciptakan dari laki-laki. Hawa telah menggoda Adam sampai akhirnya terusir dari surga, sehingga perempuan merupakan sumber kesalahan itu. Perempuan bukan saja dari laki-laki, tetapi juga diciptakan untuk laki-laki. Hal demikian pernah dikemukakan oleh Riffat Hasan dalam makalahnya yang berjudul  Women’s Right and Islam (1995: 4)

Penafsiran yang menggambarkan penciptaan Hawa untuk kepentingan adam, menurut Riffat Hassan, berimplikasi pada munculnya anggapan bahwa perempuan tidak mempunyai hak untuk mendefinisikan status, hak dan martabatnya, kecuali apa yang telah disediakan dan di tentukan kaum laki-laki untuknya. Kehadiran perempuan di dunia ini tidak fundamental, namun hanya bersifat instrumental bagi kepentingan laki-laki. Semua masalah ketimpangan ini bersumber pada kisah Adam dan Hawa yang ditafsirkan secara bias.

Tidak dipungkiri, kepercayaan tentang adam dan hawa sebagai manusia pertama, selama ini bertautan pula dengan kepercayaan bias jender tentang penciptaan Hawa dari bagian tubuh Adam, bahkan kepercayaan misoginis tentang Hawa sebagai penyebab kejatuhan mereka dari surga. Mitos seperti ini dikonkritkan dalam tradisi masyarakat Yahudi dan Kristen, sebenarnya, tidak perlu dituruti oleh umat Islam. Dalam Islam, Adam dan Hawa adalah sepasang insan yang setara penciptaannya, berasal dari unsur yang sama. Proses penciptannya difirman kan dalam al-Qur’an, diantaranya dalam surat An-Nisa ayat 1. Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (nafsin wahidin), dan menciptakan pasangannya dari dirinya. Dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…

Memang, kita perlu mengetahui bahwa sebelum-sebelumnya, mayoritas mufassir al-Quran banyak menafsirkan ‘jiwa yang satu’ (nafs wahidah) sebagai Adam, seperti Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Al-Mizan, Tafsir ibn Katsir, dan Tafsir Ruh al-Bayan. Semua tafsir ternama itu menafsirkan kata Nafs Wahidah sebagai Adam. Lalu, kata minha ditafsirkan dengan ‘dari bagian tubuh Adam’, kemudian kata zaujaha ditafsirkan dengan Hawa, isteri Adam, sehingga muncul asumsi bahwa Hawa (perempuan) tercipta dari Adam (laki-laki). Hal demikian adalah penafsiran yang sangat dikenal luas oleh masyarakat Islam,diadopsi pula dalam terjemahan resmi al-Quran bahasa Indonesia.

Namun, penafsiran dan kisah klasik yang disinyalir terisnpirasi dari riwayat dan tradisi masyarakat di luar Islam ini, pada akhirnya mendapat sejumlah kritik. Tidak sedikit mufassir era kontemporer yang menolak penafsiran yang mengidentikkan Adam sebagai makhluk yang lebih unggul penciptaanya dari Hawa. Misalnya, Asma Barlas, dalam bukunya Believing Women in Islam (2002:134). Menurut Barlas nafs wahidah menunjukkan bahwa manusia berasal dari diri (dzat) yang satu. Di dalam al-Quran, keberpasangan itu terdiri dari dua wujud yang saling bergantung dan membentuk realitas tunggal. Realitas tunggal itu adalah nafs yang dipahami sebagai diri Tuhan yang didalamnya terkumpul semua sifat (keseluruhan).

Tidak ada alasan untuk berasumsi bahwa sifat dari diri yang padu ini (nafs wahidah) diturunkan secara tidak setara dan merata diantara laki-laki dan perempuan, padahal eksistensi keduanya berasal dari wujud yang satu tersebut. Barlas menegaskan bahwa tidak ada satu ayat pun yang menyatakan laki-laki dan perempuan diciptakan dari substansi yang berbeda. Dalam al-Quran laki-laki dan perempuan bersumber dari diri yang sama. Artinya, keduanya adalah setara dan berasal dari sumber yang sama, sebagaimana termaktub dalam QS. al-Zumar: 6 serta QS al-A’raf: 27.

Baca Juga  Khilafah Bukan Solusi Bencana

Beberapa mufassir era kontemporer lainnya, juga memiliki pola penafsiran yang selaras dengan semangat kesetaraan ini. Nasaruddin Umar dalam Argumen Kesetaraan Jender Prespektif Al-Quran menandasakan, dlamir Ha’ dari kata minha (darinya) pada Surat An-Nisa ayat 1 itu bukan berarti ‘dari bagaian dari tubuh Adam’, akan tetapi ‘dari jenis Adam’. Ia juga mengutip sebagian pendapat Muhammad Abduh yang mengatakan ‘pasangannya diciptakan dari dirinya’ dalam ayat ini mengandung arti berasal dari unsur dan jenis yang sama. ‘satu diri’ (nafsin wahidah) itu mencakup unsur organ-organ kelelakian dan keperempuanan. Ini serupa dengan “sebuah sayap” yang berkembang, lalu individu-individunya menjadi pasangan-pasangan.

Muridnya Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, juga memiliki penafsiran serupa. Ia menyatakan Nafs wahidah adalah esensi atau hakikat yang dengan hal itu manusia dan berbeda dengan eksistensi-eksistensi lainnya. Artinya, Tuhan telah menciptakan manusia dari jenis dan hakikat yang satu dan tidak ada bedanya. Lebih jauh, Rasyid Ridha menyimpulkan bahwa pada dasarnya seluruh manusia berasal dari diri yang satu, yaitu insiniyyah (kemanusiaan), sesuatu yang menjadikan manusia itu manusia, dan ini merupakan jiwa kemanusiaan yang selalu mengajak kepada kebaikan manusia dan menolak kejelekan. Menurutnya, inilah yang dimaksud dengan nafs wahidah.

Kita patut percaya, bahwa pada dasaranya al-Quran mengacu kepada upaya peningkatan martabat manusia secara umum, tida ada diskriminasi jenis kelamin, suku bangsa, bahkan agama dalam kemanusiaan. Tuhan memberikan persamaan antara laki-laki dan perempuan semenjak awal penciptaanya, yakni keduanya diciptaka dari unsur maupun esensi yang sama. Keduanya mendapatkan hak yang sama sebagai khalifah di bumi, dan sama-sama berpeluang meraih keberuntungan di surga.

Penafsiran tekstual atas QS. An-Nisa: 1, biasanya berhenti hanya sampai beberapa hadis Nabi yang mengisyaratkan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari salah satu tulang rusuk (Adam). Seperti hadis dari Abi Hurairah r.a. yang berkata, Rasulullah bersabda, Saling berwasiatlah untuk berbuat baik kepada perempuan. Karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, kalau engkau membiarkannya ia tetap bengkok, dan bila engkau berupaya meluruskannya ia akan patah (HR.Tirmidzi)

Padahal, redaksi hadis semacam ini perlu dipahami secara metafora, sebagaimana pemahaman para ulama kontemporer. Misalnya Hasbi Ash-Shidqy, dalam tafsirnya, menuliskan bahwa sebenarnya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah itu adalah kiasan keadaan dan perangai perempuan. Pengertian ini dikukuhkan oleh sabda Nabi di ujung hadis yaitu Jika engkau meluruskanya, tentulah engkau mematahkanya. Jika engkau membiarkannya, tetaplah dia bengkok. Berarti, Hadit semacam ini bukan alasan untuk mengatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, karena hadits tersebut berupa perumpamaan.

Lebih jelas, Quraish Shihab dalam Tafsir Maudhu’inya berjudul Wawasan Al-Quran, menegaskan bahwa frasa ‘Tulang rusuk yang bengkok’ harus dipahami dalam pengertian majazi. Jadi, hadis tersebut merupakan peringatan bagi para laki-laki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan perempuan yang tidak sama dengan lelaki. Apabila keadaan ini tidak disadari, maka akan dapat mengantar kaum laki-laki untuk bersikap tidak wajar. Laki-laki tidak akan mampu dan tidak perlu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.

Dengan demikian, al-Quran memberikan informasi yang jelas bahwa adam dan hawa merupakan pasangan yang bersumber dari unsur yang sama. Keduanya setara dan berasal dari sumber yang sama secara bersamaan. Berdasarkan kenyataan ini, laki- laki dan perempuan adalah dua kategori spesies manusia yang dikaruniai potensi yang sama atau setara. Oleh karena itu, reinterpretasi dan dekonstruksi kisah Adam dan Hawa yang telah banyak disisipi israiliyat dan pemahaman patriarki amat penting. Tidak hanya untuk menetralisir prasangka bias jender dalam tafsir al-Quran, melainkan juga untuk menjawab tantangan perubahan sosial.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.