Mendedah Pemikiran Bung Karno

KolomMendedah Pemikiran Bung Karno

Siapa sangka, sosok Bung Karno Bapak proklamator ulung yang memiliki kisah masa kecil unik sekaligus getir ini akan menjadi tokoh yang berkontribusi dalam Nation State of Indonesia. Sebagai seorang anak desa yang saat itu masih belum sadar akan pentingnya pendidikan, justru memilih belajar sekolah formal milik Belanda. Antusiasnya terhadap pendidikan didorong oleh sang kakek. Ia pertama kali mengenyam Pendidikan di kota Tulung Agung.

Meskipun banyak kendala, semangat dalam menuntut ilmu tak pernah hilang. Akhirnya Soekarno kecil hijrah ke Mojokerto mengikuti kedua orang tuanya. Pada dekade awal tahun 1900-an Bung Karno menempuh Pendidikan di Eerste Inlande School (EIS) kemudian dipindahkan ke Europeesche lagere School (ELS). Pemindahan ini bukanlah tanpa alasan, agar suatu saat Bung Karno bisa diterima di Hoogere Burger School (HBS). Sebuah sekolah Belanda yang cukup elit.

Perpindahan sekolah dari ELS ke HBS inilah, Bung Karno dibantu oleh seorang kawan ayahnya yaitu HOS Tjokroaminoto. Perjumpaan dengan HOS Tjokroaminoto di Surabaya merupakan peristiwa penting bagi Bung Karno dalam menemukan jati dirinya. Selama mengembara ilmu, Bung Karno banyak belajar dari HOS Tjokroaminoto. Gagasan-gagasan tentang nasionalisme yang sedari awal telah tertanam kuat dalam diri Bung karno menggurita pasca perjumpaannya dengan HOS Tjokroaminoto.

Melalui dorongan dan motivasi HOS Tjokroaminoto juga, Bung Karno terus memacu diri untuk belajar tentang Islam dan sosialisme. Selama dalam perantauan, Bung Karno bertemu dengan berbagai macam aliran pemikiran politik yang mewarnai alur pergerakannya. Di Surabaya, Bung Karno pertama kali mengenal Marxisme melalui Alimin ketika Ia tinggal Bersama dalam satu asrama. Di Asrama ini juga ia mengenal Muso, Semaun, dan Darsono. Mereka adalah tokoh pergerakan  ‘kiri’ yang kelak mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dalam perjalanan hidupnya, Bung Karno banyak dipengaruhi ideologi marxisme. Bahkan ideologi tersebut juga menjadi laku politik Bung Karno. Pada tahun 1926, Bung Karno menulis sebuah artikel yang dimuat dalam Majalah Indonesia Muda. Kala itu, tulisannya yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme menjadi instrumen penting dalam menyerukan pergerakan nasional melawan penjajahan. 

Baca Juga  Zakiah Daradjat Pionir Psikologi Spiritual

Sehingga dalam tulisannya Bung Karno menilai bahwa agar Indonesia mencapai kemerdekaan, ketiga konsep tersebut harus bersatu. Akumulasi berbagai Gagasan itulah yang membentuk dan melahirkan konsep Marhaenisme sebagai ijtihad Bung Karno dalam konteks membumikan marxisme berwajah Indonesia. 

Adapun, gagasan tentang nasionalisme bagi Bung Karno bukan semata-mata lahir dari perlawanan yang ditimbulkan oleh kaum imperalis dan kolonialis. Lebih dari itu, nasionalisme merupakan bentuk kepedulian terhadap nasib rakyat yang tertindas. Bagi Bung Karno, gagasannya tentang rakyat kecil atau wong cilik adalah konsep yang ideal untuk diterapkan di Indonesia.

Pasalnya, nasionalisme sejati, yang cintanya kepada tanah air itu bersendi pada pengetahuan. Karena itu, Bung Karno mengajak agar kaum nasionalis bekerja sama dengan pihak Islam. Sebab Islam menurut Bung Karno melebihi kebangsaan dan melebihi batas negeri dalam melawan penjajahan. Bahkan Bung karno  juga menilai bahwa konsep  Sosialisme Islam, merupakan konsep yang luar biasa dalam mengentaskan persoalan rakyat, yakni mencapai Indonesia merdeka.

Perjalanan Bung Karno sebagai seorang pemikir sekaligus tokoh politik banyak menghabiskan masa mudanya dengan perjuangan. Puncak keberaniannya, saat memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pemikiran dan aktivitas Bung karno terus berkembang sejak masa kepemimpinanya menjadi Presiden Republik Indonesia. Sebagai seorang ideolog, konsep-konsep dan wacana tentang Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme menjadi bagian dari corak pemikiran dan landasan politiknya. Menurut Bung Karno, ketiga konsep tersebut merupakan roh perjuangan yang luar biasa.

Puncak pemikiran Bung Karno, dalam menyatukan berbagai perbedaan paham kemudian ia tuangkan dalam lima rumusan di forum 1 Juni 1945. Di sinilah, Pancasila lahir yang merupakan sebuah konsensus bersama antara tokoh Nasionalis dan tokoh Islam. Dengan demikian, mendedah pemikiran Bung Karno telah mewarnai khazanah ideologi bangsa seraya menikmati seduhan hangatnya kopi, semoga kita dapat menyelami ragam refleksi dan menimba selaksa insipirasi untuk kemajuan negeri.

Oleh: Shinta Lestari

Artikel Populer
Artikel Terkait