Sunan Gunung Jati, Wali Keturunan Nabi

KhazanahSunan Gunung Jati, Wali Keturunan Nabi

Kisah Syarif Hidayatullah, yang kelak dikenal dengan Sunan Gunung Jati berawal dari hubungan antar dua kerajaan Sunda, kerajaan kecil Galuh yang menguasai wilayah Sumedang-Ciamis dan kerajaan Pajajaran di Bogor. Dua kerajaan yang pada awalnya memiliki misi yang sama, menghambat perkembangan Islam di Karawang.

Suatu ketika, di Karawang, wilayah Sunda yang dipimpin oleh Ki Gedeng Tapa (masih merupakan kerabat atau keturunan Raja Galuh) diketahui ada agama baru yang berkembang pesat. Di Galuh sendiri, Islam sudah lama dikenal tetapi tidak berkembang, sebab kebanyakan penduduk masih menganut kepercayaan lokal, agama Sanghyang yang dipengaruhi Hindu.

Pertumbuhan Islam di Karawang menanjak sejak kedatangan sekelompok ulama yang dipimpin oleh Syekh Hasanuddin. Ki Gedeng Tapa menyambut kedatangan mereka, seraya memberikan tanah dan membangunkan rumah. Berkat jumlah pengikut yang semakin banyak, lahir pesantren pertama di Jawa Barat. Siapa saja yang masuk pesantren, diajarkan membaca dan memahami al-Quran, sehingga pesantren itu dikenal dengan nama pesantren Quro, Syekh Hasanuddin juga kerap dikenal dengan Syekh Quro.

Wilayah Karawang saat itu masih berada di bawah kepemimpinan Prabu Susuk Tunggal, Raja Pajajaran. Raja Pajajaran khawatir jika perkembangan Islam di Karawang dibiarkan dapat menggeser kekuasaannya, maka ia mengutus seorang pangeran bernama Amuk Murugul untuk mendatangi pesantren tersebut, demi terhentinya perkembangan Islam.

Membawa misi yang sama dengan putra Raja Pajajaran, putra mahkota Raja Galuh, Pangeran Pamanah Rasa juga pergi ke Karawang. Upaya pendekatan yang dilakukan kedua belah pihak diharapkan dapat diterima dan tidak menyebabkan pertumpahan darah, sebab keduanya masih berkerabat. Ki Gedeng Tapa tak menduga para pangeran datang ke pesantren Quro. Mereka datang saat para santri tengah asyik belajar mengaji, lantunan ayat al-Quran yang merdu mendamaikan suasana. Mereka kian terpesona saat seorang santriwati melantunkan alunan Qiroah, yang tak lain adalah putri Ki Gedeng Tapa.

Setelah menanyakan bacaan yang dilantunkan para santri, kedua pangeran tertegun, sebab para santri tengah membaca al-Quran, kitab suci agama Islam, membuktikan bahwa mereka tidak berminat untuk meraih kekuasaan, apalagi berperang. Kemudian diketahui, kegiatan para santri selain belajar al-Quran yaitu berbagi pengetahuan, bekerja di sawah, menanam padi dan sayur, serta menggembala hewan ternak.

Pangeran Pamanah Rasa terpikat oleh Nyi Subang Larang, putri Ki Gedeng Tapa saat mendengar suaranya yang merdu melantunkan ayat-ayat al-Quran. Pangeran Pamanah rasa kian terpesona saat bertemu langsung, melihat rupanya yang cantik jelita. Timbul keinginan untuk mempersuntingnya. Setelah menyampaikannya kepada Ki Gedeng Tapa, ia berjanji tidak akan mengganggu gugat keberlangsungan pesantren, jika sang putri berkenan menjadi istrinya.

Ki Gedeng Tapa menerima permintaan pangeran Pamanah Rasa dengan lapang hati. Sayangnya, pangeran Amuk Murugul juga memiliki keinginan yang sama, menjadikan Nyi Subang Larang sebagai istrinya. Bahkan, Amuk Marugul akan menyerahkan kakak perempuannya untuk diperistri pangeran Pamanah Rasa, tetapi tawaran tersebut ditolak oleh pangeran Pamanah Rasa.

Ki Gedeng Tapa kemudian memohon untuk diberi waktu untuk mendiskusikan perihal pernikahan dengan putrinya dan Syekh Hasanuddin. Tak cukup sampai di situ, Ki Gedeng Tapa memohon kepada Allah agar diberi petunjuk, solusi atas perkara tersebut, yang pada akhirnya ditemukan suatu ketetapan.

Ki Gedeng Tapa menyampaikan kepada kedua pangeran, bahwa akan diadakan sebuah sayembara adu tanding dan yang paling unggul adalah yang berhak meminang sang putri. Setelah pertandingan selesai, pangeran Pamanah Rasa dinobatkan sebagai pemenang. Pucuk dicinta ulam pun tiba, tetapi Nyi Subang Larang mensyaratkan bahwa dirinya dan anak-anaknya kelak berhak menganut agama Islam. Pangeran Pamanah Rasa yang sudah terlanjur jatuh hati lantas mengiyakan syarat tersebut.

Kekalahan Amuk Marugul menyisakan penyesalan. Mengapa? Sebab sebelum pertandingan berlangsung, Ia telah berjanji kepada pangeran Pamanah Rasa, jika Pamanah Rasa menang, maka ia juga berhak menikahi kakak Amuk Marugul. Alhasil, pangeran Pamanah Rasa menikahi dua putri, Nyi Subang Larang dan putri dari Pajajaran. Pamanah Rasa menjadi pemersatu dua kerajaan dan mendapat gelar Sri Baduga Maharaja atau dikenal juga sebagai Prabu Siliwangi.

Dari pernikahan dengan Nyi Subang Larang, Prabu Siliwangi dianugerahi 3 orang anak. Mereka adalah Raden Walangsungsang, Nyi Rara santang, dan Raden Kian Santang. Sedangkan dari pernikahan dengan kakak perempuan Amuk Marugul, lahir seorang putra bernama Surawisesa.

Baca Juga  Rajab Bulan Pembebasan, Hapus Paksaan Perkawinan

Tahun demi tahun berlalu, sesuai janjinya, Prabu Siliwangi tidak mengusik agama istrinya, Nyi Subang Larang dan anak-anaknya. Namun, setelah sang istri wafat, bertepatan dengan Walangsungsang, si sulung yang telah menginjak usia 17 tahun, diajak diskusi perihal kerajaan oleh ayahnya.

Prabu Siliwangi meminta Walangsungsang untuk melanjutkan kepemimpinannya dan menyampaikan bahwa agama Islam tidak sejalan dengan visi kerajaan, yang pada dasarnya, si Sulung diminta untuk melepaskan agama yang dianutnya. Walasungsang merasakan dilema, tidak pernah Ia ingin membangkang perintah ayahnya. Di sisi lain, Ia tidak bisa meninggalkan akidah yang telah lama tumbuh di hatinya.

Akhirnya, pangeran Walangsungsang melarikan diri dan bersembunyi di Muara Jati, tempat kakek mereka, Ki Gedeng Tapa. Jejak sang kakak diikuti oleh adiknya, Nyi Rara Santang. Syekh Datuk Kahfi, guru Ki Gedeng Tapa yang kemudian juga menjadi guru bagi cucu-cucunya, kian memantapkan keislaman mereka.

Syekh Datuk menasihati mereka agar berhaji ke Makkah. Singkat cerita, saat Walangsungsang, Rara Santang, dan sang kakek menunaikan haji, mereka bertemu penasihat kerajaan Mesir yang sedang mencari istri untuk rajanya. Permaisurinya telah wafat, lantas dicari seorang putri yang serupa karakternya. Ketika bertemu Nyi Rara Santang, Ia dibawa ke istana untuk dipersunting Sultan Hud, sang raja. Namun, Rara Santang meminta waktu untuk menetapkan hati, meminta petunjuk kepada Allah SWT.

Akhirnya, Rara Santang menerima pinangan Sultan Hud dengan sebuah syarat. Jika kelak lahir putra pertama, maka putranya diijinkan kembali ke Pajajaran untuk menyebarkan Islam. Sekarang, giliran Sultan Hud yang meminta waktu, sebab pada saat itu, putra pertama wajib menjadi calon pengganti raja. Setelah berdoa dan mendapat petunjuk, lantas Ia menerima syarat tersebut.

Tak lama setelah pernikahan dilangsungkan, sang permaisuri dikaruniai dua orang anak laki-laki, Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Syarif Hidayatullah adalah anak sulung Sultan Hud dan Nyi Rara Santang yang dikenal dengan nama Sultan Gunung Jati.

Sultan Hud adalah putra Raja Odhara, Raja Mesir. Raja Odhara, putra Jumadil Kabir, Raja besar di negeri Quswa. Jumadil Kabir adalah putra Zainal Kabir, Zainal Kabir putra Zainal Abidin. Zainal Abidin putra Husein, yaitu putra Ali bin Abi Thalib dengan Siti Fatimah binti Nabi Muhammad SAW.

Ketika Syarif Hidayatullah sudah cukup umur, Ia berkelana, pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Di Makkah, Syarif Hidayatullah berguru tarekat Naqsyabandiyah, tarekat Istiqoi, dan tarekat Syathariyah kepada Syekh Najmurini Kubro. Kemudian, Ia pergi ke Syadzilah di utara untuk mempelajari tarekat Syadziliyah kepada Syekh Muhammad  Athaillah, lalu pergi ke negeri Pasai untuk berguru tarekat Anfusiyah kepada Syekh Datuk Sidiq, ayah Sunan Giri.

Kepada Syekh Datuk Sidiq, Syarif Hidayatulah meminta penjelasan tentang menjalani kehidupan secara zuhud. Sang guru menjelaskan, bahwa zuhud itu berlaku sabar tawakkal kepada Allah dan senantiasa bersyukur atas nikmat-Nya. Tiga ajaran itu memotivasi untuk mewujudkan hidup yang bermanfaat untuk seluruh makhluk.

Tidak sampai di situ, Syarif Hidayatullah juga singgah ke Karawang, Kudus, hingga Ampel Denta, pesantren para wali untuk mempelajari dan mendalami ilmu pengetahuan. Awalnya, Syarif Hidayatullah menganggap kearifan lokal sebagai sesuatu yang bisa mendistraksi keimanan masyarakat. Namun, dengan bijak Sunan Ampel membimbing Syarif Hidayatullah untuk mengenal khazanah lokal nusantara, mengenalkan Islam dengan lembut dan ramah, seperti yang dilakukan oleh para pendahulunya, serta diangkat menjadi guru (susuhunan) di Gunung Jati.

Misi besar Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati saat itu adalah menghadang kolonialisme Portugis. Sunan Gunung Jati kemudian datang ke Cirebon, kerajaan Islam yang dibangun pamannya, Raden Walangsungsang. Sunan Gunung Jati kemudian diangkat menjadi raja. Bersama kerajaan Demak, Sunan Gunung Jati membendung kelakuan bangsa Portugis di Jawa Barat.

Akhirnya, pada 1552 M, Maulana Hasanuddin diangkat menjadi Sultan Banten pertama oleh ayahnya, Syarif Hidayatullah, yang masyhur dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Wafatnya Sunan Gunung Jati tidak lantas membuat masyarakat lupa atas jasa-jasanya, justru makamnya yang terletak di gunung Sembung, Cirebon, kini ramai diziarahi.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.