Mengkritisi Fenomena Maraknya “Atas Nama Agama”

KolomMengkritisi Fenomena Maraknya “Atas Nama Agama”

Hari ini, jumat (16/10/20) penulis membaca sebuah Tajuk Rencana di Harian Kompas yang berjudul “Penerimaan Kunci Vaksinasi”, di mana keberhasilan vaksinasi untuk melawan Covid-19 bergantung pada banyak faktor. Mark Nichter dan Mimi Nichter dalam buku klasik Anthropology and International Health: Asian Case Studies (1989) menyebutkan, penerimaan terhadap program vaksinasi dipengaruhi tiga faktor: ketersediaan, akses dan kualitas layanan kesehatan, serta kondisi sosial budaya masyarakat. Fokus utama dalam tema adalah bagaimana kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia.

Pemerintah Indonesia telah mengamankan vaksin sebanyak 390 juta dari Sinovac dan Sinopharm yang berasal dari China. Ditambah pasokan 100 juta vaksin yang berhasil digondol oleh Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri Luar Negeri, Retno LP Marsudi dari perusahaan farmasi Astra Zanecca yang berasal dari Inggris. Pengembangan vaksin Merah Putih pun terus dibangun.

Kondisi sosial budaya sebagian masyarakat Indonesia (antivaksin) tentang pemahaman vaksin yang amat keliru, terus disebar. Baik melalui jaringan platform media sosial, maupun pengkhotbah agama dalam rangka memengaruhi publik agar tidak mempercayai vaksin. Pada umumnya, pemahaman sesat antivaksin tersebut berbasis konservatisme agama.

Dengan mengatasnamakan agama, dibumbui beberapa teks ayat suci, dan rasionalisasi fiqih seperti berbahan minyak babi yang dipertanyakan kehalalannya, bahan kimia berbahaya hingga sanitasi, akan semakin mengendorkan perlawanan terhadap Covid-19.  Realita tersebut perlu perhatian serius dari semua pihak, sebab kita semua sedang bergotong royong memerangi virus yang mematikan itu agar upaya melawan Covid-19 melalui vaksin ini, dapat tepat sasaran. Tapi memang tidak mengherankan melihat data Kementerian Kesehatan yang menunjukkan pada tahun 2017, 95 kabupaten atau kota di 20 provinsi melaporkan kasus difteri. Dari 622 kasus yang dilaporkan, 32 meninggal dunia. Padahal difteri dapat dicegah dengan imunisasi.

Kenyataannya, agama dalam hubungan sosial kemasyarakatan, tujuan utama yang universial dimaksudkan untuk mewujudkan perdamaian, kemanusiaan, dan keadilan. Lebih dari itu, agama seharusnya berperan penting menjawab problematika sosial kemasyarakatan yang bersifat antroposentris-humanis. Persepsi teologi kelompok antivaksin yang mengaku beriman dan beragama rahmatan lil alamin, justru kontradiksi dengan agama dalam lingkup sosial-humanis.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, agama selalu dijadikan alat justifikasi dan legitimasi untuk memporak-porandakan kemanusiaan itu sendiri. Bahkan tidak sedikit para aktor kekerasan mengumandangkan ayat-ayat suci sembari membangun emosi hawa nafsu setan dalam diri manusia, dengan sasaran mendera manusia lainnya.

Sejarah Perang Salib juga salah satu catatan hitam atas nama agama, ketika Paus Urbanus melalui pidato agitasinya di kota Clermont, Prancis pada 25 November 1095 sebagai perang suci. Walaupun sebenarnya jika kita analisis lebih dalam, agama bukanlah faktor dominan yang utuh, sebab tidak didukung spirit penginjilan. Bahkan sejarawan Philip K. Hitti beranggapan bahwa bantuan Paus Urbanus II dengan mengirim pasukan Barat-Eropa, hanya sekadar membantu mengamankan Konstantinopel dari serangan Dinasti Saljuk dari Turki. Akan tetapi, agama tetap menjadi legitimasi pemantik dalam kobaran perang suci atas komando Paus Urbanus II yang membara, terutama ketika pasukan salib berhasil merebut kota Yerusalem pada Juni tahun 1099, membantai habis tak tersisa seluruh penduduk Yerusalem.

Lebih-lebih Kota Yerusalem merupakan kota penting tiga agama langit; Yahudi, Kristen, dan Islam, yang memiliki akar sejarah panjang para nabi dilahirkan dan berpijak. Di tanah ini pula peziarah agama samawi berbondong-bondong untuk melakukan ritual peribadatan. Tidak dapat dipungkiri, kunci dakwah atas nama agama menjadi penting dalam memperebutkan Kota Suci tersebut.

Dr. Aksin Wijaya dalam bukunya, Dari Membela Tuhan Ke Membela Manusia: Kritik Atas Nalar Agamaisasi Kekerasan (2018), menyebut fenomena maraknya atas nama agama sebagai teologi kekerasan adalah sakralisasi kekerasan secara religius. Hasil interpretasi kitab suci dan teks-teks keagamaan itu dapat melahirkan teologi negatif. Pemikiran keagamaan yang menjustifikasi kekerasan terhadap manusia lain—atau terhadap makhluk hidup lain dan alam—yang menyebabkan kekerasan itu menjadi sakral karena menjadi bagian dari agama.

Baca Juga  Mentradisikan Tadarus Al-Quran di Bulan Ramadhan

Atas nama agama sebagai instrumen paling efektif yang seolah-olah sahih untuk bertindak kekerasan, dalam hal tertentu bahkan menjadi wajib. Sakralisasi religius yang disebut Dr. Aksin Wijaya, menjadi sebuah tindakan berdosa, akan tetapi tidak berdosa dan bahkan bangga atas apa yang dilakukannya dengan membela agama atau Tuhan itu.

Para aktor teologi kekerasan tersebut justru merasa aneh ketika orang lain yang mengaku beriman, tapi tidak melaksanakan kewajiban membela agama dan Tuhan itu. Dalam konteks ini, mereka menghukuminya dengan sebutan kafir, munafik, pendosa, sesat, fasik, dan sejumlah punishment lainnya. Mereka akan senang dan merasa berpahala, dengan bangga menyebut orang lain yang hanya berbeda pemahaman dengan predikat-predikat yang tidak semestinya dilontarkan seorang beriman.

Sejarah hitam dalam Islam pun ditandai ketika kelompok puritan dan ekstrem khawarij bernama Abdurrahman Ibnu Muljam. Ia mengatasnamakan agama dengan menghunuskan kilau pedang seraya melafal teks suci al-Quran la hukma ilallah (tiada hukum selain Allah), lalu mengayunkan pedangnya yang mengandung racun itu, tepat menerpa kepala Ali bin Abi Thalib hingga tersungkur saat shalat subuh. Sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW, akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya tiga hari kemudian. Saat Ibnu Muljam dihukum pancung, ia tidak merasa bersalah sama sekali, bahkan ia merasa senang dan berharap surga.

Fakta sejarah pada zaman Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah Tuhan, tentu saja dengan tujuan utama perdamaian, keadilan dan kemanusiaan, semakin menyeleweng dari haluan awal di tengah arus globalisasi pada era pasca-kebenaran (post-truth) sekarang ini. Nabi Musa dengan misi menyelamatkan kemanusiaan dari ketertindasan sistem budak. Nabi Isa yang membawa cinta dan kasih sayang kemanusiaan. Dan Nabi Muhammad SAW dengan deklarasi universalisme pada 623 Masehi yang kemudian dikenal sebagai “Piagam Madinah” dalam lingkup sosial-ekonomi-politik antara warga negaranya yang plural, dengan penuh kedamaian.

Mahatma Gandhi, seorang yang terus mengampanyekan cinta dan tidak menyakiti, menggunakan kekerasan dan membunuh makhluk apapun dengan apa yang ia sebut sebagai ahimsa, harus terbunuh oleh tembakan pistol dari tangan kotor ektremis Hindu bernama Nathuram Vinayak Godse, sesaat setelah menangkupkan tangannya di depan dada, namaste. “Saya menembak orang yang kebijakan dan tindakannya meruntuhkan serta menghancurkan jutaan orang Hindu,” ungkap Godse di pengadilan. (Hindustan Times, 28 mei 2017).

Orang-orang fanatik, ekstremis seperti ini menggunakan agama, seperti yang dilakukan oleh Godse, untuk kepentingan politiknya. Padahal, agama dan politik tidak bisa digabungkan. Agama berurusan dengan persaudaraan, perdamaian, kasih sayang, kepedulian, dan belarasa. Kalah dan menang adalah urusan politik meskipun, sebenarnya, tujuan politik yang sesungguhnya adalah menciptakan bonum commune, kesejahteraan bersama. (Trias Kuncahyono, 2018: 66).

Fenomena benturan agama-negara pada masyarakat Indonesia dengan politisasi agama pun, kian tumbuh berkecambah melalui formalisasi agama ke dalam negara. Wajah agama kini terlihat kaku, radikal, puritan, ekstrem, dan militan pada tataran sosio-kultural, maupun epistemologis. Kelompok ini lebih bertahan pada teks fiqih klasik dan tidak lentur terhadap persoalan kekinian. Karenanya, mereka mengabaikan autentisitas problematik sosio-humanis.

Oleh karena itu, para tokoh agama perlu merumuskan kembali fiqih yang bersifat multikulturalisme dan mengedepankan sosio-humanis akhlak para nabi, terutama Nabi Muhammad SAW, ketimbang ajaran-ajaran peperangan. Ajaran perang hanya berakibat pada maraknya kekerasan atas nama agama, semakin menambah pekerjaan rumah bagi pemerintah dan negara.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.