Prinsip Pergerakan Islam Muhammad Iqbal

Dunia IslamPrinsip Pergerakan Islam Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal adalah satu dari jajaran reformis modern yang berpengaruh. Iqbal tak hanya dipandang sebagai pemikir Islam, ia juga seorang penyair sekaligus filsuf kontemporer, yang oleh Ali Syariati bahkan disejajarkan dengan al-Ghazali. Secara mendalam, Iqbal menggali khazanah Islam dan pemikiran Barat, merefleksi persinggungan antara agama, filsafat, juga sains. Rumusan mengenai prinsip gerakan dalam struktur Islam merupakan tampilan kepeduliannya pada cita-cita kebangkitan umat Islam.

Sejak mula, Iqbal menekankan bahwa Islam sebagai suatu gerak kebudayaan menolak pandangan statis tentang alam semesta. Sebaliknya, Islam meyakini pandangan yang dinamis. Manusia sebagai entitas beragam yang menjadi pelaku budaya mesti disatukan dalam pondasi kesadaran psikologis bahwa seluruh hidup manusia sejatinya berasal dari yang spiritual. Anggapan psikologis itu membentuk jalan kreatif agar manusia mengemansipasi dirinya sendiri.

Uraian awal tersebut dimaksudkan Iqbal untuk menjelaskan Islam adalah agama dengan tradisi emansipatoris yang didasarkan pada prinsip tauhid. Konsekuensinya, Islam secara terbuka mengakui dinamika, pembaharuan, kebebasan, hingga kesetaraan yang ditopang olah spiritualitas. Islam bukan sistem kebudayaan usang yang bertakhta di atas sistem-sistem rimba ataupun supremasi pertalian darah. Selama Tuhan menjadi pondasi spiritual tertinggi dalam hidup, maka setia pada Tuhan sejatinya adalah kesetiaan manusia pada cita-citanya sendiri. Iqbal memandang spiritualitas dan tauhid sedemikian asasi. Dasar-dasar spiritual tertinggi itu bersifat kekal, yang dari situ justru melahirkan diri dalam perubahan dan keberagaman.

Dari kerangka filosofis yang secara optimis menggambarkan Islam dengan spiritualitas pemersatunya, Iqbal melanjutkan analisisnya secara lebih membumi untuk menjelaskan apa itu prinsip gerakan dalam struktur Islam. Prinsip itu kita kenal dengan ijtihad. Kesimpulan ini diraihnya melalui pembacaan kritis terhadap sosio-historis peradaban Islam yang masih berhenti bergerak dan perbandingannya dengan peradaban yang lain. Dilapisi dukungan spiritual atas dinamika.

Ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh. Yang dalam terminologi hukum Islam merujuk pada upaya serius dalam membentuk suatu pertimbangan mengenai persoalan hukum tertentu. Iqbal meyakini sungguh firman Allah dalam surat al-Ankabut [29] ayat 69, Dan kepada mereka yang berusaha, sungguh akan Kami tunjukkan jalan Kami. Secara lebih tegas prinsip ijtihad dapat kita jumpai dari riwayat yang menceritakan dialog Rasulullah dengan Mu’adz bin Jabal tatkala ia dipindahtugaskan ke Yaman oleh Nabi.

Rasulullah menanyai Mu’adz bagaimana cara ia mengambil keputusan saat menghadapi suatu persoalan. Singkat kisah Mu’adz menjawabnya secara kronologis, bahwa jika ia menghadapi suatu masalah, ia akan menjalankan hukum berdasar al-Quran. Apabila tak ditemukan dalam al-Quran, ia akan bertindak sesuai hadis Nabi. “Namun, bagaimana jika di dalam hadis-hadis pun tidak ada?” “Saya akan berusaha menurut pertimbangan saya sendiri”, tutur Mu’adz. Mendengar uraian Mu’adz, Nabi menunjukkan respons positif dengan berkata, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah menuju apa yang diridhai oleh Rasulullah.

Bagi Iqbal, orang yang mempelajari sejarah Islam akan menyadari, bahwa perluasan pemikiran Islam yang sistematis adalah suatu keharusan. Para pemikir hukum Islam terdahulu, entah yang berbangsa Arab maupun non-Arab secara terus-menerus berusaha menggali teks dan konteks, sehingga material pemikiran yang terangkai menemukan ekspresinya dalam bentuk mazhab-mazhab yang kita kenal.

Baca Juga  Zuhairi Misrawi, Jubir Arab Saudi

Pembicaraan selanjutnya diarahkan Iqbal pada pencarian sebab munculnya sikap intelektual yang mereduksi hukum Islam ke dalam situasi yang statis. Iqbal mengajukan sedikitnya tiga alasan yang menengarai stagnasi umat Islam. Pertama, disebabkan kesalahpahaman antara kaum konservatif dengan kalangan rasionalis. Satu pihak, kalangan konservatif salah pengertian tentang motif-motif rasionalisme. Gerakan rasionalis dianggap berbahaya dan menjadi sumber perpecahan. Di pihak lain, kalangan rasionalis tertentu menunjukkan pikiran yang tak terkendali, sehingga direspons secara resisten oleh yang konservatif.

Kedua, ditengarai kemunculan sufisme asketis yang berangsur berkembang di bawah pengaruh pemikiran non-Islam. Pada gilirannya, spirit non-duniawi dalam sufisme ini selanjutnya mengaburkan visi manusia mengenai aspek yang amat penting dalam Islam sebagai institusi sosial. Ketiga, keruntuhan Baghdad sebagai sentra dinamika intelektual Muslim hingga sekitar abad ke-13 menjadi puncak kemunduran umat Islam.

Kita bisa saksikan kemudian, tendensi yang muncul adalah penyeragaman kehidupan sosial masyarakat dengan melarang segala upaya pembaruan dalam hukum syariat, dalihnya untuk menghindari perpecahan sosial politik. Pengorganisasian suatu masyarakat secara menekan dan berlebihan tersebut secara perlahan menghilangkan eksistensi nilai individu. Sebab itu, menurut Iqbal, arah utama menuju kebangkitan Islam adalah pembentukan individu yang mengenal arti hakiki hidup. Yakni bahwa hidup adalah gerak, usaha, dan perubahan. Kecenderungan pada pengaturan yang berlebihan dengan memuja masa lalu, seperti sikap para sarjana hukum Islam abad 13 dan setelahnya yang mengunci gerbang ijtihad, sungguh bertolak belakang dengan spirit Islam yang dinamis dan terbuka.

Secara lebih konkret, Iqbal mengajukan kerangka ijtihad yang sesuai dengan prinsip Islam.  Yaitu suatu ijtihad untuk membangun hukum syariat dari pengalaman dan pandangan pemikiran modern. Artinya, ijtihad islami menurut Iqbal adalah upaya eksplorasi ajaran yang disesuaikan dengan realitas empiris tempat dan masanya. Tidak memuja dan terpaku pada sejarah emas masa silam.

Melalui refleksi mendalam terhadap sejarah Islam dan empat sumber hukumnya yang diakui secara umum, Iqbal optimis menegaskan kemampuan evolusi Islam, dinamika hukumnya, dan cita-cita kebangkitan Islam. Ambil contoh Al-Quran, kitab ini adalah pembangkit kesadaran batin manusia yang lebih tinggi dalam relasinya dengan Tuhan dan alam. Kumpulan firman Allah itu bukan penyempit pemikiran manusia serta aktivisme legislatif. Prinsip di dalamnya yang amat luas justru berfungsi menggugah pemikiran manusia.

Bahwa pintu ijtihad telah tertutup, ditegaskan Iqbal sebagai semata-mata asumsi fiktif. Iqbal yakin, Islam memiliki gagasan-gagasan puncak tentang pencerahan (Enlighment) yang bersumber dari kedalaman hidup, yang akan mengangkat derajat individu dan mengubah masyarakat. Di lain sisi, Eropa kini adalah rintangan besar bagi peningkatan etis manusia. Artinya, ini kesempatan Islam berperan mencerahkan. Berangkat dari spiritualitas dalam konteks upaya rekonstruksi kehidupan yang mandek, tujuan akhir Islam ialah pula demokrasi spiritual umat manusia.

Iqbal menggambarkan prinsip gerak ini dalam model hukum Islam. Bukan berarti konsep tersebut tidak bisa diterapkan di lain konteks. Prinsip ijtihad atau usaha dengan asas spiritual-tauhid adalah ruh perjuangan universal Islam. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.