Spiritualitas Agama dalam Berbangsa dan Bernegara

KolomSpiritualitas Agama dalam Berbangsa dan Bernegara

03 Maret 1924, jauh di barat laut Nusantara, langit kejayaan terlihat murung. Kekaisaran Ottoman, simbol peradaban Islam kontemporer tumbang. Keruntuhannya membawa peradaban baru yang dipromotori oleh Mustafa Kemal Pasya (Kemal Ataturk). Republik Turki berdiri dengan kewibawaan revolusi menggantikan khilafah Islamiyyah. Kemal Ataturk dengan sekularisme-nya sukses menjadi bapak bangsa dan memisahkan teritorial agama dan negara. Sekularisme sebagai paham tunggal Republik Turki, mendikte hal-hal yang menyangkut ideologi, kepercayaan, dan agama tidak boleh masuk dalam ruang politik, negara, ataupun institusi publik lainnya.

Sekularisme sebagai suatu konsep negara telah sukses membawa peradaban baru. Negara-negara Barat yang notabene negara sekuler terbukti hingga kini menjadi negara maju dan modern. Menimbun masa-masa kegelapan dan ketakutan terhadap Gereja yang menguasai sebagian besar kehidupan mereka kala itu. Barat dengan sekularismenya membawa revolusi besar memberangus masa dark age dalam kekuasaan yang berabad-abad dikuasai Gereja. Kekuasaan di bawah dikte Gereja yang sempit dan otoriter. Menggeser spiritualitas agama dalam urusan berbangsa-bernegara.

Di bawah kedigdayaan Gereja agama tidak lagi menjadi simbol kerohanian. Melainkan hanya menjadi alat kekuasaan. Ludwig Feurbach (1804-1872) seorang filsuf Jerman menyatakan ”Agama yang baru adalah politik, bukan agama Masehi. Karena itu politik harus dijadikan agama. Allah dan agama keduanya bukanlah dasar negara, tetapi dasarnya adalah manusia dan kebutuhan”. Karena itu, orang-orang Barat berevolusi bahwa agama adalah bagian lain yang tidak memiliki tempat dalam sistem kenegaraan. Ia mesti berdiri sendiri (privat), tanpa harus campur tangan dalam urusan negara (publik). Hal ini dikatakan oleh George Jacub Holyoake (1846) sebagai sukularisme. Yakni, suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah dan terlepas dari agama, wahyu atau super naturalisme.”

Di benua lain, justru sebaliknya. Islam sebagai agama sukses membangun peradaban negara. Umat Islam meraih kejayaan panjang di bawah persatuan khilafah. Menjadikan Islam diformalisasikan dalam tatanan berbangsa-bernegara. Sejak dinasti Umayyah hingga tumbangnya kejayaan Islam di bawah dinasti Ottoman oleh sekelompok revolusioner sekularisme yang dikomandoi Kemal Ataturk. Namun, bukan berarti di balik kejayaan itu, tidak ada praktik-praktik gelap, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Menyaksikan kehancuran kajayaan Islam masa lalu oleh gerakan sekularisme tidak menyurutkan kelompok-kelompok Islam untuk mengembalikan zaman itu. Khususnya, kelompok fundamentalisme Islam. Mereka kerap kali kita saksikan mengutuk keras sekularisme Barat. Menuntut kembali umat Islam bersatu, memformalisasikan Islam dalam tatanan berbangsa-bernegara di bawah khilafah Islamiyyah meraih kejayaan. Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir sebagaimana dalam gagasannya, “agar hukum Islam dapat terealisasi, maka umat Muslim wajib untuk menegakkan khilafah”. Merepresentasikan agama menjadi formalisasi tatanan berbangsa-bernegara.  

Menelisik pergumulan dua kubu tersebut, Indonesia yang dewasa ini menjadi negara dengan penduduk Muslim terbesar tidak terlepas dari persoalan itu. Di samping karena menjadi negara Muslim terbesar, pun karena spirit beragama cukup tinggi, Islam khususnya. Namun, hebatnya para pendiri bangsa kita dulu. Mereka melihat Indonesia dari aspek sosiologisnya yang multi-etinik, agama, ras, dan budaya, serta dalam historisnya bahwa sekular dan khilafah tidak cocok diterapkan di atas bangsa yang plural. Mereka membentuk satu konsep bersama, yang dapat menjadikan agama dan negara saling beriringan yakni Pancasila.

Format agama dan negara, sebagaimana menurut Kiai Masdar adalah persoalan yang rumit. Keduanya, berabad-abad telah menjadi isu, perdebatan, pergulatan, dan bahkan sumber konflik. Hal ini tidak lain, karena agama disubordinasikan, ditundukkan dalam kuasa negara. Sebaliknya, di pihak lain negara ditundukkan di bawah kuasa agama. Yang kemudian, datang sekelompok orang dengan membawa paham, bahwa agama dan negara mesti menjadi dua kutub yang terpisahkan. Agama hanya dalam ruang lingkup persoalan privat dan negara dalam persoalan publik.

Baca Juga  Membaca Sunnah Rekaan Para Islamis

Adanya diskursus penerapan syariat Islam misalnya, sebagai jawaban setiap solusi yang berkembang. Hal demikian, tidak hanya menambah persoalan yang kian hari kian kompleks, tetapi juga tak mendasar. Spiritualitas agama sebagaimana pemahaman Taqiyuddin an-nabhani untuk dijadikan formalisasi bernegara, telah merambak luas merasuki sendi-sendi masyarakat kita. Padahal, Bung Karno pernah menegaskan, bahwa “Pancasila adalah satu alat pemersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia hanya dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila”. Ia mengkritik keras, bahwa berimajinasi kembali ke masa kebesaran Islam di bawah khilafah adalah kemunduran.

Karena hakikatnya, spiritualitas agama itu bukan terletak pada berkuasanya kembali agama dalam mengendalikan sistem kenegaraan, melainkan spiritualitas agama haruslah ditegaskan kembali terhadap penghayatan-penghayatan terhadap pemeluknya masing-masing. Praktik-praktik korupsi, kolusi, dan ketidakadilan di suatu bangsa itu bukan terjadi karena konstitusinya yang tidak berlandaskan kitab suci. Tetapi masyarakatnya yang sudah menghilangkan nilai-nilai agama dalam sendi-sendi kehidupan.

Agama sebagai solusi kontrol, sudah tidak releven lagi dalam bentuk konstitusi negara. Agama mesti dikembalikan kepada khittahnya, yakni kemanusiaan dan nilai kasih. Rasulullah SAW sendiri diutus tidak lain, karena untuk menyempurnakan akhlak. Mempresentasikan kembali nilai-nilai kasih, budi, kemanusiaan, dan keberpihakan kita terhadap yang lemah adalah adalah satu konsep yang nyata dan relevan.

Jika yang terjadi kenyataan justru sebaliknya, Kiai Masdar menggambarkan bahwa ini dikarenakan adanya proses privatisasi agama, dan agama pun mengalami proses pengaratan. Agama lebih dipahami sebagai kekuatan hirarki serta organized religion ketimbang sebagai spirit religuisitas itu sendiri. Dalam hal ini, ia menilai sesungguhnya apa yang termaktub dalam dasar negara bahwa berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sebuah pintu masuk yang luar biasa.

Konsep ini dapat menjadi hipotesa terhadap formalisasi agama dan penyekatan antara negara dan agama. Karena, sila pertama Pancasila pada hakikatnya adalah untuk menegaskan Indonesia bukan negara sekuler. Justru kita hadir untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap warga, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 UUD 1945. Sila ini juga menegaskan, bahwa negara bukan berdasar pada satu agama. Negara harus memberi ruang yang sama bagi semua agama dan keyakinannya. Artinya, pelayanan dan perlindungan negara bukan saja kepada umat tetapi juga individu, sehingga spiritualitas agama menjadi pedoman yang tertanam dalam sendi-sendi masyarakat kita dalam berbangsa-bernegara. Tidak harus menunggu Islam dijadikan sebagai formalisasi negara.

Umat Islam sebagai mayoritas bukan berarti berhak menuntut atas semua kehendaknya, termasuk mendirikan kembali khilafah. Justru, menurut Gus Dur dalam bukunya Islamku Islam Anda Islam Kita, Islam sebagai mayoritas harus menjadi pengayom. “Islam adalah pelindung bagi semua orang, termasuk Non-Muslim”.  Dan hal ini selaras dengan Firman Allah, Tiadalah Ku-utus engkau kecuali sebagai penyambung tali persaudaraan dengan sesama ummat manusia, (QS al-Anabiya [21]: 107).

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.