Tafsir Rancu Ayat-Ayat Khilafah

KolomTafsir Rancu Ayat-Ayat Khilafah

Al-Quran menempati posisi pertama dalam hierarki sumber hukum Islam. Tak pelak segala rupa persoalan manusia dicarikan pendasaran normatifnya pada wahyu agung ini agar memiliki kekuatan hukum. Demikian halnya dengan kalangan Islamis transnasional, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang berupaya mencari pembenaran atas ideologi khilafahnya melalui ayat-ayat kitab suci. Ada dua ayat pamungkas HTI yang akan diketengahkan dalam tulisan ini.

Dengan lantang HTI menyebut Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 sebagai dalil tak terbantahkan atas wajibnya penegakan imperium khilafah yang digadang-gadang oleh mereka. Dalam ayat tersebut Allah SWT berfirman, Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”

Ayat ini mengisahkan tentang pengumuman resmi Allah SWT di hadapan para malaikat, bahwa Dia akan menciptakan khalifah (wakil) yang akan menjadi mandataris-Nya untuk mengurus bumi. Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Quran mengerucutkan makna khalifah di sini adalah Nabi Adam AS selaku manusia pertama yang menerima amanat dari Allah SWT.

Adapun Ibnu Katsir melalui Tafsir al-Quran al-‘Adzim menafsirkan kata “khalifah” sebagai kaum yang secara bergantian mengemban tugas kekhalifahan, dari satu masa ke masa yang lain, dari satu generasi menuju generasi selanjutnya.

Lebih lanjut Imam al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menekankan, bahwa penciptaan ini menunjukkan penghormatan Allah SWT kepada Nabi Adam AS, sekaligus nikmat kepada seluruh umat manusia karena menyandang status khalifah Allah di muka bumi. Ketika kita diberi tanggungjawab, berarti kita dipercaya dan memiliki potensi untuk menunaikan amanat tersebut dengan baik. Dan amanat dari Tuhan adalah sebaik-baik nikmat dan kemuliaan.

Rokhmat S. Labib (salah satu pentolan HTI) dalam tafsirnya al-Wa’ie menuturkan, bahwa penciptaan Adam sebagai khalifah ialah isyarat bahwa Allah mewajibkan umat memiliki khalifah yang menerapkan syariat Islam sebagai konstitusi negara. Dan syariat Islam hanya bisa terlaksana dalam pemerintahan Islam Khilafah Islamiyyah.

HTI ibarat memakai kacamata kuda dalam menafsirkan ayat tersebut. Tanpa menoleh kemanapun dan saklek dengan cara pandangnya. Mereka sekadar mengasosiasikan kata “khalifah” dengan “khilafah” yang merupakan bentuk mashdar, dimana pada gilirannya diartikan sebagai sistem pemerintahan Islam yang dipimpin oleh khalifah (subjek pemerintahan). Mereka nampak menafsirkan ayat tersebut hanya secara literal dan cocokologi dari derivasi kata khalafa.

Penafsiran demikian memerlihatkan transformasi yang telah jauh terlepas dari substansi ayat. HTI menafsirkan ayat yang esensinya kewajiban mengangkat seorang pemimpin (khalifah) menjadi kewajiban menegakkan sistem pemerintahan khilafah islamiyyah. Para mufasir, seperti al-Alusi, al-Qinuji, dan al-Kalbi, menegaskan bahwa ayat di atas menjelaskan kewajiban mengangkat seorang pemimpin dalam sebuah komunitas atau negara. Bukan mandat Tuhan untuk mendirikan sistem khilafah.

Ayat ini, dalam konteks kehambaan, mengisyaratkan bahwa tiap manusia memikul tanggungjawab untuk berkontribusi positif dalam urusan kemanusiaan dan keumatan. Sedangkan dalam konteks yang lebih luas, firman Tuhan tersebut menunjukkan penting dan wajibnya suatu komunitas manusia memiliki pemimpin untuk mengatur anggotanya dalam rangka mencapai maslahat bersama.

HTI kembali bersikukuh meneguhkan ideologinya dengan mencatut Q.S. An-Nisa [4]: 59. Allah SWT berfirman, Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (penguasa) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Ayat ini berbicara tentang mata rantai ketaatan, mulai dari menaati Allah SWT, Rasul-Nya, serta ulil amri (pemerintah). Ketaatan kepada Rasulullah SAW sama halnya telah menaati Tuhan dan perintah-Nya sekaligus. Dan sesiapa menaati pemerintah, maka ia telah dianggap patuh pada Rasulullah SAW. Demikian Imam al-Thabari menjelaskan dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran.

Masih dalam tafsir al-Wa’ie, Rokhmat mengatakan ayat tersebut mengandung perintah taat kepada pemimpin yang menerapkan hukum dengan al-Quran dan sunnah. Firman tersebut disebut sebagai penjelasan pilar-pilar pemerintahan Islam, sehingga penerapan syariat dalam konsep negara khilafah merupakan suatu kewajiban tanpa tawar. Ia menambahkan, ayat di atas sekaligus menjadi bukti batalnya sistem demokrasi yang mengusung kedaulatan di tangan rakyat, karena menurut mereka otoritas hukum seutuhnya hanya di tangan Tuhan.

Baca Juga  Pancasila, Konsep yang Kukuh, Rapuh dalam Perilaku

HTI melakukan lompatan penafsiran terlalu jauh dan lagi-lagi offsideUlil amri yang dimaknai sebagai pemimpin Islam yang wajib menerapkan syariat Islam secara total, adalah penafsiran yang tergesa-gesa. Sangat memerlihatkan upaya politisasi wahyu untuk kepentingan legitimasi ambisi politik.

Benar bahwa kita harus patuh pada pemimpin yang berpegang pada al-Quran dan sunnah serta tak memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah. Namun, pada dasarnya al-Quran absen membicarakan konsep sistem pemerintahan, tak terkecuali khilafah. Al-Quran hanya memberikan ‘kunci’ dan haluan kepada manusia untuk menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada sistem pemerintahan paten yang ditetapkan Allah dalam al-Quran. Adapun yang wajib adalah pengangkatan pemimpin.

Nalar teosentris bahwa kedaulatan sepenuhnya hanya di tangan Tuhan, adalah cara pandang primitif yang justru mendekonstruksi makna beragama. Memang benar, bahwa kedaulatan transenden adalah milik Tuhan. Akan tetapi ketika hendak membumikan kedaulatan tersebut, maka harus diterjemahkan dalam bentuk kedaulatan (pemerintahan) manusia yang menyejarah dan membudaya pada ruang dan waktu dalam sebuah negara.

Oleh Tuhan, manusia dianugerahi akal, diberi potensi untuk berpikir dan mendayagunakannya. Demokrasi hendaknya jangan diperhadapkan dengan kedaulatan Tuhan. Sebagai ciptaan Tuhan, maka kedaulatan manusia sama dengan sebentuk anugerah Tuhan bagi manusia untuk berkehidupan dengan layak. Justru dalam kerangka inilah arti bahwa manusia adalah khalifah Tuhan di muka bumi.

Dikisahkan oleh Imam al-Thabari dalam Tarikh al-Thabari bahwa Imam Ali pernah mengadakan pertemuan dengan pihak Khawarij sembari membawa al-Quran. Dalam forum itu, Imam Ali mengatakan, “Al-Quran tidak lain hanyalah teks tertulis yang diapit dua sampul. Al-Quran tidak bisa bicara sendiri. Manusialah yang berbicara melaluinya”. Imam Ali ingin menyampaikan, bahwa hukum Allah SWT tidak bisa muncul begitu saja dari al-Quran tanpa campur tangan manusia untuk merumuskannya.

Manusia dan akal budinya, pada hakikatnya memiliki peran mendasar dalam kehidupan. Namun, kita terlanjur terjebak dalam ambivalensi yang keterlaluan tentang manusia. Ambivalensi ialah refleksi dari ketidakpercayaan yang mengendap di bawah sadar terhadap potensi akal budi manusia karena selalu dikhotbahkan oleh para penguasa doktrin agama. Adanya wahyu Tuhan sendiri, sejatinya merupakan afirmasi kemampuan akal budi manusia dalam membedakan antara baik dan buruk, benar serta keliru (Masdar F. Mas’udi: 2020).

Konsep khilafah ala HTI pun tak luput dari keterlibatan manusia. Maka dari itu, mereka tidak pantas menyalahkan demokrasi maupun Pancasila yang dianggap tak Islami karena tersentuh oleh tangan insan. Adalah anggapan keliru jika mengatakan Pancasila dan demokrasi tidak Islami, karena nilai-nilai dari keduanya terbukti telah dicontohkan Nabi. Terkesan sangat ekstrem jika HTI mengklaim khilafah-isme mereka adalah satu-satunya sistem yang absah.

Al-Quran bukan kitab politik. Dalam konteks bernegara, ia menyajikan ajaran yang mengandung nilai-nilai universal. Sistem pemerintahan adalah perkara yang relatif dan fleksibel. Setiap negara berhak berkreasi menentukan sistem yang dianggap paling tepat. Relativitas ajaran atau syariat yang bersifat teknis diakui jelas oleh al-Quran, tersebut dalam Q.S. Al-Maidah [5]: 48, Likullin ja’alna minkum syir’atan wa minhaja, yakni Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami beri syariat dan jalan yang terang.

Penafsiran HTI kental sekali dengan nuansa ideologis dan kepentingan politik serta selalu mengedepankan klaim objektivitas dan paling benar sendiri (truth claim). Padahal al-Quran seharusnya dibaca secara utuh, komprehensif, dan dialektis. Kedua ayat tersebut telah ‘dibajak’ dan digiring untuk menjustifikasi konsep pemerintahan khilafah mereka. Yang kemudian menghasilkan kerancuan kesimpulan dan berpaling jauh dari makna lazimnya yang diamini oleh mayoritas ulama yang kredibel dan otoritatif.

Dalam menafsiri ayat dibutuhkan perangkat ilmu yang tidak sedikit. Apabila keilmuan belum mumpuni, alangkah lebih baik menahan diri dari menafsirkan ayat untuk menghindari simpulan yang janggal dan keluar jalur. Tak lupa, kita juga harus jeli dan kritis dalam membaca diskursus tafsir al-Quran agar tidak terperangkap pada penafsiran yang fanatik dan tendensius.  Wallahu a’lam.

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

1 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.