Dalam era percepatan arus informasi saat ini, khilafah menjadi isu sensitif yang menuai pro-kontra berbagai kalangan. Hizbut Tahrir Indonesia adalah salah satu organisasi yang paling santer memainkan isu khilafah. Organisasi ini kencang mengembuskan doktrinnya hingga bersitegang dengan pakem ideologi Indonesia, Pancasila, yang berbuntut pada pencabutan izin hukumnya.
Kehidupan keberagamaan di negeri ini sedang memerlihatkan fenomena yang merisaukan. Ujaran kebencian, fitnah, tuduhan kafir, serta intoleransi begitu marak hanya karena perbedaan preferensi. Sebagai contoh, sekali mendengar nama Ahmadiyah, tidak sedikit pihak yang kemudian naik pitam atau mengeluarkan nada sinis.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) adalah cabang dari gerakan Ahmadiyah global yang ada di Indonesia. Gerakan ini terdampak fatwa MUI Nomor: 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 yang mengklaim Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Fatwa tersebut sebenarnya cukup problematis dan kurang detail, yang justru menyumbang kenaikan grafik intoleransi di negeri ini. Alangkah lebih baik jika pemerintah melakukan peninjauan ulang dan melakukan dialog terbuka dengan pihak terkait untuk mencapai maslahat bersama.
Kembali menyoal khilafah, jauh sebelum khilafah HT lahir dan berkembang di tengah masyarakat, Ahmadiyah telah lebih dahulu mengadopsi istilah ini sebagai ajaran keagamaan mereka. Berbeda dengan HTI yang memaknai khilafah secara politis, Ahmadiyah mengartikan khilafah sebagai kepemimpinan pengganti untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam ranah kerohanian.
Konsep khilafah yang mereka usung berpijak pada pembinaan spiritual umat yang berkiblat pada aspek historis-teolgis khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah yang dibangun oleh al-Khulafa al-Rasyidun. Selain itu, Ahmadiyah mengambil salah satu nama Rasulullah SAW sebagai spirit gerakan mereka dalam mendakwahkan Islam.
Dalam pandangan Ahmadiyah, ambisi penguasa negara-negara Muslim untuk berebut pengaruh agar diakui sebagai khalifah dalam konteks pemerintahan, justru menenggelamkan sistem kekhilafahan itu sendiri. Tendensi politis para penguasa tersebut menurut Ahmadiyah merupakan pengkhianatan terhadap Islam. Sebab itu, Ahmadiyah tidak menempatkan garis perjuangannya dalam ranah politik yang berorientasi pada kekuasaan.
Zuhairi Misrawi, seorang cendekiawan muda NU, menyebutkan bahwa dalam tubuh Ahmadiyah terdapat doktrin nabi syariati, yakni nabi sebagai pembawa risalah terakhir, dan tidak ada lagi setelah itu yang membawa syariat, beliaulah Rasulullah SAW. Mereka juga meyakini nabi bayangan (nabi dzilli), yakni nabi yang tidak membawa syariat dan meyakini sepenuhnya syariat yang dibawa Rasulullah SAW. Hal ini yang perlu menjadi perhatian bersama karena kerap disalahpami dan menjadi pusara konflik.
Pada dasarnya, jika diasosiasikan dengan tradisi NU misalkan, nabi bayangan dalam doktrin Ahmadiyah adalah semacam wali. Lebih jauh lagi, khilafah Ahmadiyah sejalan dengan gerakan tarekat yang menempatkan mursyid sebagai pembimbing rohani untuk mencapai kesadaran dasar sebagai hamba Tuhan sekaligus makhluk sosial. Khalifah, bagi Ahmadiyah adalah rujukan otoritatif dalam kaitan kegiatan spiritual keagamaan dan kelembagaan mereka.
Terlepas dari fatwa sesat MUI atas Ahmadiyah, banyak hal yang sejatinya bisa kita teladani dan pelajari dari gerakan ini. Sayangnya, kita terlanjur menutup mata karena tersegel keberadaan fatwa. Padahal fatwa adalah sekadar pendapat yang tak mengikat.
Berkenalan dengan Ahmadiyah, justru membuat penulis khususnya, malu dan tersadar, sudah seberapa jauh kebermanfaatan kita bagi umat dan bangsa ini. Motto love for all, hatred for none (mengasihi semua, tidak membenci siapapun) menjadi semangat gerakan dakwah mereka. Pengalaman dakwah Rasulullah SAW yang sekalipun penuh dengan persekusi namun tetap sabar dalam menebar kebaikan, telah menjiwai langkah mereka.
Dalam satu acara peluncuran buku Ahmadiyah yang berjudul Haqiqatul Wahy, pada (5/1/2019) lalu, puluhan orang yang menyebut diri sebagai Paguyuban Pengawal NKRI, yang melengkapi diri dengan bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid, melakukan unjuk rasa menolak acara tersebut. Mansyur Ahmad, ketua JAI Bandung Tengah, mengaku pasrah dan mengalah demi kedamaian bersama. Melihat hal ini, penulis melihat bahwa Ahmadiyah sedang mengaktualisasikan komitmen mereka terhadap ajaran Rasulullah untuk mengedepankan cinta kasih meskipun didera penolakan.
Khilafah dalam perspektif Ahmadiyah memiliki beberapa fungsi yang disarikan dari Q.S. An-Nur: 55, yaitu untuk menjaga keutuhan agama, sebagai sumber ketenangan, dan sebagai sumber pengabdian. Dengan spirit universal atas agama yang dibawanya, membuat Ahmadiyah mampu diterima dan beradaptasi di 213 negara.
Stigma negatif yang diterima Ahmadiyah, justru bertolak belakang dengan kiprahnya. Aspek spiritualitas yang ditempa secara mendalam, tidak hanya menghasilkan kesalehan personal, namun juga menciptakan kesalehan sosial. Gerakan ini memiliki perhatian tinggi terhadap isu sosial kemanusiaan.
Human First (HF), adalah organisasi sayap milik Ahmadiyah yang membidani urusan kemanusiaan, sesuai namanya. Berdiri sejak 1994 dan saat ini telah berdiaspora di 66 negara. HF hadir menangani korban perang, pengungsi, korban bencana alam, dan lain sebagainya. Yang paling mutakhir, di tengah pandemi Covid-19 ini, gerakan Ahmadiyah global telah menyalurkan jutaan paket sembako, masker, hand sanitizer, serta beragam bantuan lain kepada para korban yang terdampak.
Dalam hubungannya dengan negara, khilafah versi Ahmadiyah mampu seiring sejalan dengan pemerintahan, karena tidak mengintervensi wilayah kenegaraan dan keduanya membidangi ranah kepemimpinan yang berbeda. JAI tidak mempermasalahkan sistem negara yang berjalan, entah itu demokrasi liberal, demokrasi Pancasila atau yang lainnya. Hal terpenting adalah negara mampu hadir dalam menjamin hak warganya.
Bagi mereka, Islam dan syariatnya adalah bentuk utuh dan paripurna dari ajaran agama samawi. Merupakan jaminan dari Tuhan yang datang untuk menjelaskan secara detail kepada manusia tujuan dari keberadaannya, serta menjadikan ridha Allah SWT sebagai tujuannya. Maka dari itu, syariat tidak hanya mencakup ibadah dan spiritual, melainkan juga perkara tatanan sosial, kebudayaan dan politik kenegaraan. Dalam konteks bernegara, nilai dan spirit dalam syariat tersebut yang semestinya diperjuangkan dalam membangun sebuah nation-state, bukan cangkangnya.
Ahmadiyah, secara ideologis dan praksis terbukti memiliki komitmen kuat terhadap spiritual dan kemanusiaan. Mereka menjadikan Islam sebagai ladang pengabdian. Khilafah ala Ahmadiyah berkontribusi dalam pembentukan moralitas masyarakat, sebagaimana tujuan kedatangan Islam yaitu untuk menyempurnakan akhlak.
Mengingat khilafah JAI mengusung makna spiritual dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, maka gerakan ini justru menjadi salah satu penopang tegaknya NKRI. Sekali lagi, ada baiknya pemerintah melihat fakta ini. Masyarakat berhak mendapat penjelasan yang utuh atas satu komunitas yang mendiami negeri ini, sehingga dapat membebaskan kita dari pandangan sempit menuju kedamaian yang mampu membangun sinergi bersama.
Bagi sesiapa yang berada di luar lingkaran Ahmadiyah, gerakan ini adalah ladang untuk melatih keterbukaan daya pikir kita. Secara lebih lanjut, mendidik kita untuk menghargai kepercayaan golongan lain, tidak langsung menuduh sebelum menyapa dan berdialog lebih dalam. Seluruh umat manusia, Muslim khususnya, terhubung dalam ikatan saudara, maka haram bagi kita menyakiti.
Sebagai masyarakat yang melek informasi, jangan mau terjebak dalam makna khilafah yang dikooptasi oleh satu golongan tertentu, yang nyatanya kontraproduktif dengan pilar kebangsaan yang telah mapan, seperti khilafah versi HTI. Terlalu gegabah rasanya jika melabeli kritikus khilafah HTI sebagai orang yang membenci ajaran Islam. Karena di saat yang sama, ada konsep khilafah yang patut diapresiasi dan sangat adaptif dengan bangsa ini. Poinnya, bergantung pada bagaimana konsep khilafah tersebut dan sejauh mana kontribusinya bagi umat dan bangsa.
Ahmadiyah sebagai golongan yang dipandang sebelah mata, ternyata menyimpan mutiara hitam keteladanan yang belum banyak diketahui orang. Dalam salah satu poin baiatnya, Ahmadiyah menekankan aspek kebermanfaatan dan kasih sayang kepada manusia. Menurut mereka, daripada menyibukkan diri berdebat dalam perkara furu’ (cabang), lebih baik berasyik-masyuk dalam kontribusi kebaikan dan kemanusiaan. Wallahu a’lam.