Ngaji Maraqi Al-‘Ubudiyah: Mengenal Syariat, Tarekat, dan Hakikat (Bagian 1)

KhazanahNgaji Maraqi Al-‘Ubudiyah: Mengenal Syariat, Tarekat, dan Hakikat (Bagian 1)

ISLAMRAMAH.CO, Sebelum memulai segala perkara yang diperintahkan berdasarkan syariat, engkau dituntut untuk mengetahui bahwa hidayah, yakni jalan yang kau lalui menuju Allah sebagai buah dari ilmu, memiliki permulaan (bidayah) yang disebut syari’ah atau thariqah, serta memiliki akhir (nihayah) yang disebut haqiqah atau hakikat karena puncaknya adalah hakikat segala sesuatu. Hakikat adalah buah dari syari’ah dan thariqah secara bersama-sama sebagaimana pendapat Syaikh al-Islam Imam Al-Ghazali. Lain halnya pendapat Imam as-Shawi yang mengatakan bahwa itu (hakikat) semata-mata buah dari syariat.

Hidayah juga memiliki dimensi lahir dan batin karena segala yang mempunyai dimensi lahir pasti memiliki dimensi batin, dan begitu pula sebaliknya. Oleh sebab itu, syariat adalah dimensi lahir dari al-haqiqah (hakikat), dan ia merupakan dimensi batin dari syariah; keduanya merupakan sesuatu yang lazim (kelaziman yang tidak terpisahkan) secara maknawi. Syariat tanpa hakikat tidak dan tidak membuahkan, sedangkan hakikat tanpa syariat itu batil, sia-sia, dan tidak ada kebaikan yang dapat diharapkan darinya.

Berkaitan dengan persoalan di atas, seorang penyair berkata: Tasawuf adalah jika engkau jernih tanpa noda, dengan mengikuti kebenaran Al-Quran dan agama, dan engkau menjadi khusyuk di hadapan Sang Mahakuasa, berduka dan menangis atas dosa-dosamu sepanjang masa.

Ash-Shawi mengatakan, syariat adalah hukum-hukum yang dibebankan Rasulullah dari Allah kepada kita. Hukum-hukum itu meliputi perkara-perkara wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Selain itu, ada pula yang mendefinisikan syariat sebagai pelaksanaan agama Allah dengan menaati segala perintah dan meninggalkan segala laranganNya.

Adapun tarekat atau at-thariqah adalah melaksanakan perkara-perkara dan wajib dan sunnah, meninggalkan yang haram, memalingkan diri dari perkara-perkara mubah yang tidak bermanfaat, mengutamakan sikap wara (sikap berhati-hati agar tidak terjerumus pada hal-hal haram atau makruh) yang dapat ditempuh antara lain meliputi riyadhah (olah jiwa), seperti puasa, bangun malam, dan melakukan tafakur.

Baca Juga  Mengenang Figur Kebinekaan Buya Syafii

Sedangkan hakikat (al-haqiqah) adalah memahami hakikat sesuatu, seperti hakikat asma, sifat, dan dzat (Allah Swt.); rahasia-rahasia Al-Quran, rahasia-rahasia perintah, larangan, dan hukum mubah dalam syariat; rahasia-rahasia alam ghaib yang tidak dapat diperoleh dari guru, melainkan hanya dari Allah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah Swt., “Wahai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, nisyaca Dia akan memberikan kepadamu furqan..” (QS. Al-Anfal [8]: 29).

Yaitu suatu pemahaman dalam hati yang kau peroleh dari Allah tanpa perantara seorang guru. Dalam firmanNya yang lain juga dikatakan, “Dan bertakwalah kepada Allah maka Allah akan mengajarimu..” (QS. Al-Baqarah [2]: 282), yaitu tanpa perantara.

Imam Malik ra. Berkata, “Barangsiapa yang beramal berdasarkan ilmu yang diperolehnya, Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang ia tidak ketahui.” Perkataan Imam Malik ini, mengisyaratkan kepada syariat, tarekat, dan hakikat. Kata “ilmu” mengisyaratkan pada syariat, dan “amal” mengisyaratkan pada tarekat, sedangkan kalimat “Allah mewariskan kepadanya ilmu yang ia tidak diketahui” mengisyaratkan pada hakikat.

Wahai penempuh jalan menuju Allah, engkau tidak akan bisa mencapai puncak ibadah kecuali dengan mengokohkan syariat dan melaksanakan segenap ketetapan syariat secara sempurna. Demikian pula engkau tidak akan sanggup mengetahui atau mencapai dimensi batin dari ibadah kecuali jika engkau telah mengetahui dimensi lahirnya.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.