Biografi Ibnu Khaldun: Pengalaman Di Politik (bagian 2)

KolomBiografi Ibnu Khaldun: Pengalaman Di Politik (bagian 2)

Ibnu Khaldun disambut hangat di Granada dan diterima oleh Sultan Muhammad dan Perdana Menteri Ibnu al-Khatib, seorang penulis dan penyair ternama. Pada tahun 765 H/1363 M, ia diutus sebagai duta besar untuk menghadap raja Kristen di Castille, Pedro the Cruel, guna mengakhiri perjanjian perdamaian. Istana Pedro terletak di Seville. Ibnu Khaldun menulis tentang jejak-jejak Banu Khaldun di Seville dan memperlakukannya secara sangat hormat.

Pedro sangat terkesan sehingga ia membujuk Ibnu Khaldun untuk tinggal di sana dengan menawarinya untuk mengembalikan peninggalan Banu Khaldun kepadanya. Ibnu Khaldun menampik tawaran itu lalu kembali ke Granada dengan membawa hadiah bagi Sultan. Ia dihadiahi Desa Elvira dan minta izin agar keluarganya bisa bergabung dengannya. Sayangnya, kedamaian dan ketenteraman yang dinikmatinya tidak berlangsung lama. Karena konspirasi dengan Ibn al-Khatib, Ibnu Khadun dipandang dengan curiga oleh Sultan.

Sementara itu, pimpinan al-Muwahhidun dari Bougie, Muhammad –yang bersekongkol dengan Ibnu Khaldun pada masa pemerintahan Sultan Abu Inan- berhasil merebut kembali Bourgie. Ia memanggil Ibnu Khaldun ke Bougie pada pertengahn 766 H/ 1365 M untuk menjadi kepala staf istana (wilayah al-hijabah) sebuah jabatan yang menangani urusan negara dan hubungan sultan dengan rakyatnya. Sebagaimana sebelumnya, banyak hal tidak berjalan dengan mulus. Permusuhan banyak pihak terhadap Ibnu Khaldun mulai berlipat ganda.

Merasa tidak lagi menjadi kesayangan Sultan dan terancam ditangkap, ia melarikan diri ke Biskra. Sementara itu adiknya, Yahya juga seorang sejarawan, ditangkap dan dipenjara di Bona dan tanahnya disita. Ibnu Khaldun kemudian dipanggil untuk menduduki jabatan sebagai kepala staf istana dan penasihat di Biskra. Ia juga ditugasi untuk menggalang dukungan dari suku-suku. Ia menulis bahwa ia lelah karena tugas-tugas yang beresiko itu, ia tidak lagi berminat menduduki jabatan-jabatan tinggi dan merana karena mengabaikan spirit penelitiannya selama itu.

Walaupun mengelukan situasi ini, Ibnu Khaldun tetap tinggal di Biskra dan untuk sementara waktu menggalang dukungan dari suku-suku bagi Sultan Abu Hammu. Kesetiaannya sekali lagi bergeser sejalan dengan perkembangan keadaan. Sultan ‘Abdul Aziz dari Maroko (Barat jauh atau maghribi al-Aqsa) memberontak di Tlemcen. Menganggap situasi ini tidak menguntungkan, Ibnu Khaldun meminta izin kepada Abu Hammu untuk berangkat ke Andalusia, tetapi pasukan Sultan ‘Abdul Aziz mencegat Ibnu Khaldun di pelabuhan menuju Hunain dan membawanya menghadap ke Sultan di dekat Tlemcen.

Baca Juga  Kesalahan Fatal Ustadz Akhir Zaman

Sultan memarahinya karena dianggap meninggalkan Mariniyun (Banu Marin) lebih awal. Ibnu Khaldun mampu membela diri dan segera setelah itu mendapat jabatan dari Sultan. Ketika Sultan ‘Abdul Aziz menduduki Tlemcen, Ibnu Khaldun diberi tugas sekali lagi untuk menggalang dukungan dari suku-suku, kali ini demi menentang Sultan Abu Hammu.

Namun, kedamaian di Fez tidak bertahan lama. Permusuhan antara Fez dan Granada meletup. Ibnu Khaldun kemudian memutuskan berpindah ke Andalusia pada musim semi 776 H. Karena meragukan kesetiaan Ibnu Khaldun yang berubah-ubah, penguasa Fez tidak mengizinkan keluarga Ibnu Khaldun untuk bergabung bersamanya di Andalusia.

Sultan Muhammad Ibn al-Ahmar pun mengusir Ibnu Khaldun dari Granada. Ini semua terkait dengan pertemanan Ibnu Khaldun dengan Ibnu al-Khatib, PM Sultan Andalusia. Ibnu Khaldun dicurigai tidak setia kepada Sultan dan merupakan sasaran persekongkolan dan intrik oleh pejabat-pejabat istana Fez dan Granada. Ibnu Khaldun dianggap bersalah karena pertemanan itu.

Ibnu Khaldun terpaksa kembali ke Afrika Utara, tetapi di sana ia amat tidak disukai oleh semua penguasa. Akhirnya,, Sultan Abu Hammu, penguasa Temcen –berkat bantuan teman-teman Ibnu Khaldun- mengizinkannya untuk menetap di sana. Abu Hamma sekali lagi ingin mendapatkan bantuan Ibnu Khaldun demi menggalang dukungan dari suku-suku.

Namun, kali ini Ibnu Khaldun sudah enggan terlibat dalam urusan politik, dan akhirnya memutuskan untuk berhenti sama sekali. Ia tinggal bersama keluarganya di wilayah kekuasaan Banu Arif, yang menampung mereka di sebuah benteng, Qal’at Ibn Salama.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.