Membudayakan Musyawarah

KhazanahKhutbah Jum'atMembudayakan Musyawarah

Jama’ah Shalat Jum’at yang Dimuliakan Allah Subhānahu Wata’ālā

Allah berfirman di dalam Al-Qur’an:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu (Muhammad) berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membuktikan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya (QS. Ali Imrān: 159).

Musyawarah adalah salah satu ajaran penting dalam Islam. Ayat di atas menunjukkan kepada kita semua bahwa musyawarah harus lebih didahulukan ketimbang cara-cara intimidasi, pemaksaan dan aneka bentuk kekerasan lainnya. Cara-cara kekerasan, kalaupun berhasil, akan melahirkan trauma dan dendam yang berkepanjangan. Sebaliknya, cara-cara dialog dan musyawarah dapat melahirkan harmoni dan kedamaian yang menjadi kebutuhan dasar manusia.

Dalam tafsir Mafātih Al-Ghayb, Imam Ar-Razi menegaskan bahwa ayat ini turun setelah peristiwa Perang Uhud. Dalam peperangan ini umat Islam mengalami kekalahan cukup besar. Terdapat sejumlah sahabat agung Nabi yang gugur dalam perang kedua ini. Kekalahan ini pun berdampak negatif terhadap psikologi umat Islam yang berada di ambang keterpurukan.

Nabi Muhammad SAW menyikapi kekalahan pahit di atas dengan sikap lemah-lembut, alias tidak kasar dan tidak menyalahkan mereka yang ikut serta dalam perang. Sebaliknya, Nabi Muhammad SAW bersikap lemah-lembut, santun, dan mendengarkan keluh kesah mereka (musyawarah). Sikap agung Nabi ini cukup membantu bagi kesembuhan psikologi mereka hingga terselamatkan dari keterpurukan. Kekalahan ini pun tak membuat umat Islam terpecah belah, sebagaimana terkandung dalam ayat di atas.

Perintah untuk menjalankan musyawarah dan meninggalkan cara-cara kekerasan bahkan diulang dalam beberapa ayat yang lain, seperti dalam surat Asy-Syūrā ayat 38 dan surat Ath-Thalāq  ayat 38. Ini menunjukkan betapa pentingnya bagi kita semua untuk senantiasa membiasakan diri bermusyawarah dalam menghadapi berbagai masalah bersama.

Dengan penegasan ini, kita dapat menyatakan bahwa Islam datang untuk menghentikan tradisi kekerasan dalam menyelesaikan konflik. Kemudian diganti dengan cara-cara perdamaian melalui dialog dan musyawarah.

Jama’ah Shalat Jum’at yang Dimuliakan Allah Subhānahu Wata’ālā

Dalam kitab-kitab yang mengisahkan sejarah Nabi Muhammad SAW disebutkan, bahwa Nabi Muhammad SAW secara konsisten dan terus-menerus menjalankan ajaran musyawarah ini. Dalam bermusyawarah, beliau sangat menghormati pandangan ataupun masukan yang diberikan oleh umatnya.

Peristiwa pembuahan pohon kurma adalah salah satu contoh yang hampir terdapat di semua kitab sejarah Islam. Alkisah, pada suatu saat Nabi hendak melakukan pembuahan pohon kurma. Namun cara yang dilakukan Nabi kurang sesuai dengan kebiasaan yang ada saat itu. Salah satu sahabat beliau pun menegur dan memberitahukan cara yang lumrah digunakan pada saat itu. Dengan penuh kebijaksanaan Nabi Muhammad SAW mengatakan, “Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.”

Peristiwa lain yang dapat menunjukkan konsistensi Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan ajaran musyawarah adalah pengembalian batu hitam (hajar al-aswad) di Ka’bah yang sempat menyulut sengketa panas di kalangan elite Mekah saat itu. Menurut sejumlah kitab sejarah, peristiwa ini terjadi pada tahun 605 M.

Dalam tradisi masyarakat Mekah, Ka’bah dan semua yang ada di sekitarnya (termasuk batu hitam) merupakan simbol kehormatan sekaligus kekuasaan. Barangsiapa yang menjadi pelayan (khādim) Ka’bah, maka dialah orang terhormat dan berkuasa. Hal ini tak lain karena Ka’bah disucikan oleh masyarakat Mekah sejak dahulu kala.

Inilah yang menyebabkan para elite Mekah bersitegang terkait dengan siapa yang berhak untuk mengembalikan dan meletakkan batu hitam di atas. Masing-masing klan berkeinginan untuk memperoleh kehormatan sebagai pengangkat batu tersebut dan meletakkan di tempatnya semula. Setelah hampir lima hari terjadi perang urat saraf, muncul usulan agar batu tersebut dikembalikan oleh orang yang datang pertama (di keesokan harinya) melalui pintu masuk (al-bāb) “As-Shafa”. Dan yang datang pertama sekaligus melewati pintu As-Shafa itu adalah Nabi Muhammad SAW.

Nabi Muhammad SAW yang dipercaya (secara mufakat dalam musyawarah) untuk mengembalikan batu tersebut (sekaligus mengakhiri konflik) menggelar sorban dan meletakkan batu hitam di atas sorbannya. Beliau kemudian meminta masing-masing klan untuk memegang pinggir sorban, kemudian mengangkatnya secara bersama-sama. Kemudian Nabi Muhammad SAW mengambil batu tersebut untuk diletakkan di tempatnya semula.

Dalam peristiwa ini tampak jelas, betapa Nabi sangat mengedepankan kebersamaan ketimbang kepentingan pribadi. Dengan kesepakatan yang telah dicapai sebelumnya, Nabi bisa saja mengangkat batu tersebut dan meletakkan di Ka’bah. Namun, demi menjaga kebersamaan di antara suku-suku di Mekah, Nabi mengajak para pemimpin suku untuk bersama-sama mengangkat batu suci tersebut.

Apa yang diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW seperti di atas merupakan contoh pengamalan ajaran musyawarah sekaligus cara mengatasi konflik dengan cara damai, tanpa adanya kekerasan apa pun.

Jama’ah Shalat Jum’at yang Dimuliakan Allah Subhānahu Wata’ālā

Dalam konteks Indonesia, belakangan ini tradisi dialog dan musyawarah mulai terancam dengan adanya kecenderungan main hakim sendiri; kecenderungan merasa paling benar sendiri; kecenderungan manyalahkan orang lain; dan kecenderungan menghindar dari tanggung jawab.

Maka pertanyaannya kemudian adalah, bisakah kita umat Islam di Indonesia menegakkan ajaran musyawarah dan dialog sebagaimana telah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW? Tentu saja, jawabannya adalah harus bisa!

Baca Juga  Gus Mus: Belajar Al-Quran Tak Bisa Dari Terjemahan

Setidaknya ada tiga hal penting yang dapat kita ambil dari ajaran musyawarah yang dianjurkan Al-Qur’an dan diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW. Pertama, menjunjung tinggi asas persaudaraan yang sangat ditekankan dalam Islam. Bagi umat Islam, semua orang beriman (al-mukminin) adalah saudara. Dalam salah satu ayat Al-Qur’an disebutkan:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudara kalian dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian mendapat rahmat (QS. Al-Hujarāt: 10).

Hal penting yang harus diperhatikan adalah, ayat di atas tidak membeda-bedakan antara orang-orang beriman yang beragama A ataupun beragama B, baik itu agama samawi maupun agama bumi. Yang sangat ditekankan adalah sikap persaudaraan antara sesama orang-orang beriman, terlepas dari perbedaan suku, negara atau bahkan keyakinannya.

Apa yang disampaikan oleh KH Achmad Siddiq sudah sepatutnya menjadi teladan bagi bangsa ini. Menurut beliau, persaudaraan harus ditegakkan dalam tiga tingkatan sekaligus. Yakni persaudaraan kemanusiaan (al-ukhuwah al-basyariyyah). Ini adalah puncak persaudaraan, karena di atas semua perbedaan yang ada (baik perbedaan agama, keyakinan, ras, bahasa, dan lainnya) manusia adalah sama dalam nilai-nilai kemanusiaan.

Berikutnya adalah persaudaraan kebangsaan (al-ukhuwah al-wathaniyyah). Dalam hal ini, semangat persaudaraan hendakm menjadikan seluruh anak bangsa (apapun agama, keyakinan, ras, dan sukunya) sebagai “saudara kandung” yang sama-sama terlahir dari rahim Ibu Pertiwi.

Dan yang terakhir adalah persaudaraan keislaman atau keagamaan (al-ukhuwah al-islamiyyah). Persaudaraan ini tidak dimaksud untuk mengangkat sentimen keagamaan tertentu yang acapkali menjadi sumbu konflik. Akan tetapi, persaudaraan dalam konteks ini semata-mata diilhami oleh ajaran-ajaran luhur agama yang menekankan pentingnya persaudaraan.

Jama’ah Shalat Jum’at yang Dimuliakan Allah Subhānahu Wata’ālā

Hal kedua yang dapat diambil dari ajaran musyawarah di atas adalah, menegakkan ajaran kesetaraan (al-musāwāh) yang berada di balik semua ajaran Islam. Dalam perspektif Islam, manusia adalah setara. Manusia tidak dibeda-bedakan lantaran perbedaan jenis kelamin, suku, ras, bahasa dan lainnya. Yang membedakan derajat manusia adalah tingkat ketakwaan dan pengetahuan.

Pada umumnya, manusia mempunyai potensi dan kesempatan yang sama untuk meningkatkan ketakwaan dan pengetahuannya. Di mana ketakwaan dan pengetahuan akan semakin meningkatkan rasa kemanusiaan seseorang. Pada akhirnya ketakwaan dan pengetahuan akan berlabuh dalam nilai-nilai kemanusiaan yang tak lagi membeda-bedakan perbedaan eksoteris (adz-dzāhir) seseorang. Dengan kata lain, ketakwaan dan pengetahuan merupakan proses “memanusiakan manusia” yang dalam keilmuan Islam menjadi gerbang utama “kerajaan Tuhan”. Karena dengan memposisikan dan mengenali manusia seutuhnya seseorang bisa mengenal lebih dalam tentang ketuhanan (man ‘arafa nafsahū ‘arafa rabbahū).

Dalam konteks ini, bermusyawarah, berdialog, berperilaku lemah-lembut dan hal-hal damai lainnya tak hanya menjadi kebutuhan dalam konteks kehidupan sosial. lebih jauh lagi, ini merupakan berometer bagi tingkat keimanan, ketakwaan dan pengetahuan seseorang. Singkat kata, semakin tinggi keimanan dan pengetahuan seseorang, maka yang bersangkutan akan semakin bersikap lemah-lembut, lentur, arif dan mengedepankan musyawarah. Sebaliknya, tindakan kekerasan, anti dialog/musyawarah, dan hal-hal lainnya yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan mencerminkan dangkalnya keimanan dann pengetahuan.

Ketiga, menegakkan keadilan (al-adālah). Dalam Islam, keadilan merupakan salah satu nilai yang mendasari ajaran-ajaran yang ada, terutama menyangkut kehidupan sosial. Menurut ulama dari Mesir, Jamal Al-Banna, keadilan, merupakan nilai puncak dalam konteks kehidupan sosial. Di mana ajaran-ajaran Islam tentang kehidupan sehari-hari bertujuan menegakkan keadilan dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan keimanan merupakan nilai puncak dalam peribadatan.

Pertanyaan berikutnya adalah, kenapa keadilan yang menjadi puncak nilai dalam kehidupan sosial? Jawabannya, karena keadilan memposisikan seluruh manusia secara setara; keadilan memberikan peluang dan kesempatan yang sama bagi seluruh masyarakat, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ada.

Dengan kata lain, dalam konteks bermusyawarah ataupun persengketaan, keadilan menjadi instrumen hukum sekaligus jaminan atas tidak terjadinya tirani kaum mayoritas atas kaum minoritas. Keadilan memandang dan memposisikan manusia sesuai dengan tingkat kesalahan yang ada, tanpa harus mempedulikan dan membeda-bedakan status sosial pelaku kesalahan tersebut. Bila ada kesalahan, keadilan menjamin hukum harus ditegakkan, walaupun pelaku kesalahan tersebut adalah orang terpandang ataupun dari kaum mayoritas.

Jama’ah Shalat Jum’at yang Dimuliakan Allah Subhānahu Wata’ālā

Saya ingin menutup khutbah kali ini dengan salah satu ayat Al-Qur’an yang menggambarkan dengan sangat jelas tentang keadilan. Dalam surat Al-Māidah ayat 8 Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.

Tentu, keadilan tidak akan bisa ditegakkan kecuali dengan membudayakan musyawarah untuk membincangkan seluruh masalah secara terbuka, rasional dan lapang dada. Musyawarah merupakan proses untuk mencapai tangga keadilan sosial.

بارك اللّه لي ولكم في القرآن العظيم ونفعني وإيّاكم بما فيه من الآيات والذّكر الحكيم وتقبّل منّي ومنكم تلاوته إنّه هو السّميع العليم.

 

 

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.