Wahabisme: Ideologi Kaum Ekstremis (Bagian 4)

KolomWahabisme: Ideologi Kaum Ekstremis (Bagian 4)

 

Pemikiran kalangan Wahabi tentang jihad merupakan sebuah kelanjutan dari pemikiran sebelumnya, yaitu tawhid dan takfir. Bahkan pemikiran tentang jihad merupakan sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari inti pemikiran sebelumnya. Jika keduanya merupakan basis teologis yang mendasari setiap pemikiran kalangan Wahabi dalam bentangan sejarah, maka jihad merupakan bentuk implementasinya. Pentingnya jihad bagi kalangan Wahabi terlihat ketika Muhammad buku khusus tentang jihad yaitu Kitab al-Jihad.

Menurut Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, jihad adalah fard kifayah. Yang dimaksud dengan jihad, dalam hal ini merupakan perang. Tidak seperti para ulama yang umumnya memaknai jihad dalam konteks yang luas, baik perang maupun non-perang, Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab sejak awal menggiring para pembaca agar mengkonotasikan jihad dengan perang. Setiap muslim minimal melaksanakan jihad satu kali dalam setahun, dan diperkenankan untuk tidak berjihad, khususnya saat menunaikan ibadah haji.

Dalam hal ini, jihad dalam pandangan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab telah mempunyai “warna khusus”, yaitu perang (al-qital). Pemaknaan semacam ini memang berbeda dengan para ulama lainnya, yang cenderung memahami jihad dalam ruang lingkup perjuangan yang lebih luas.

Yang menarik untuk dicermati, bahwa kewajiban berjihad menurut Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab lebih bersifat kolektif, bukan personal. Hal tersebut sebenarnya mengacu pada tradisi perang yang berkembang sebelum Islam, yaitu ketika perang digunakan sebagai alat untuk membangun solidaritas klan. Jika ada seorang anggota klan yang diserang pihak musuh, maka setiap anggota dari klan harus mempertahankan diri dari ancaman musuh.

Tidak seperti pandangan ulama lain, jihad Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab merupakan implementasi dari hijrah. Seorang muslim meniscayakan dirinya melakukan hijrah untuk memperbaiki akidah. Karena perjuangan dalam jihad berkaitan dengan akidah, maka setiap muslim harus berpartisipasi dalam praktik jihad.

Jihad pada dasarnya adalah upaya untuk mempertahankan diri, sebagaimana tradisi pra-Islam. Sebab itu, di dalam jihad harus dipastikan agar tidak jatuh korban yang lebih besar. Namun, jihad bisa mempunyai makna teologis, jika diperintahkan oleh seorang pemimpin. Sebaliknya, jika tidak ada perintah dari seorang pemimpin, maka jihad tidak bisa dilaksanakan.

Pandangan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab tersebut membuka ruang bagi seorang pemimpin untuk menggunakan kekuasaannya sebagai memutuskan agar jihad dijadikan sebagai alat perlawanan. Dalam konteks pergulatan kalangan Wahabi dengan politik di Arab Saudi, Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab pernah mengeluarkan fatwa kafir terhadap Dinasti Ottoman. Fatwa tersebut kemudian digunakan oleh Ibnu Sa‘ud untuk mengeluarkan perintah jihad terhadap Dinasti Ottoman. Jadi, bias politik dalam doktrin jihad yang dikonstruksi Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab sangatlah kentara. Seorang pemimpin sewaktu-waktu dapat menggunakan fatwa keagamaan sebagai justifikasi untuk memuluskan kepentingan politiknya.

Fakta tersebut semakin telanjang, karena hubungan antara penguasa Arab Saudi dan kalangan Wahabi semakin dekat. Bahkan, kerajaan Arab Saudi mempunyai ketergantungan yang sangat besar untuk menjaga stabilitas politik serta membangun solidaritas ideologis dengan menjadikan Wahabisme sebagai rantai pengikatnya.

Baca Juga  Dukung Candi Borobudur sebagai Pusat Buddha Dunia

Maka dari itu, Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab berpandangan, bahwa jihad diwajibkan bagi setiap laki-laki yang sudah cukup umur. Barangsiapa yang tidak mau ikut serta dalam berjihad, maka orang tersebut dapat dicap telah keluar dari Islam. Hal-hal yang bisa diperkenankan bagi seorang Muslim untuk tidak ikut serta dalam melaksanakan jihad, yaitu sakit, lemah, dan tidak cukup umur.

Ada tiga hal yang menyebabkan jihad dapat dilakukan oleh umat Islam: Pertama, jika umat Islam sedang berhadap-hadapan dengan musuh, sehingga tidak diperkenankan lagi untuk mundur ke belakanga. Situasi tersebut tidak dimungkinkan untuk mengambil pilihan lain, kecuali melakukan perlawanan terhadap musuh. Kedua, ketika musuh sudah keluar dari batas teritorial kekuasaannya, yang secara eksplisit membentangkan ancaman terhadap umat Islam. Ketiga, ketika pemimpin yang dipercaya oleh umat Islam telah mengeluarkan perintah untuk melaksanakan jihad, maka tidak ada pilihan bagi umat Islam kecuali melaksanakan perintah tersebut.

Perihal mendapatkan mandat dari pemimpin sebenarnya debatable. Pada saat Ibnu Sa‘ud memerintahkan kepada warganya untuk melakukan jihad terhadap Dinasti Ottoman berdasarkan fatwa Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, pada saat itu sebenarnya Ibnu Sa‘ud sedang melakukan pembangkangan terhadap Dinasti Ottoman yang secara de jure menjadi pemimpin resmi atas umat Islam di seantero dunia. Di sinilah sebenarnya logika kepentingan politik bermain, karena Ibnu Sa‘ud sedang mempunyai keinginan untuk mendeklarasikan kemerdekaan Saudi Arabia dengan cara memisahkan diri dari kekuasaan Dinasti Ottoman.

Satu hal yang perlu digarisbawahi dari motif di balik doktrin jihad, yaitu kesalehan dan kemuliaan agama. Sebelum melakukan jihad seharusnya umat Islam harus memberikan kesempatan kepada pihak musuh untuk memeluk Islam. Jika mereka tidak mau melakukan konversi, maka mereka dapat diperangi.

Pandangan ini juga mempunyai keunikan tersendiri, karena sudah keluar dari aturan main yang digariskan dalam Islam. Sebagaimana digariskan oleh Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, bahwa jihad yang dilakukan oleh umat Islam bersifat defensif, bukan ofensif. Tetapi, faktanya jihad yang digambarkan kalangan Wahabi mempunyai motif yang tidak bisa dilepaskan dari doktrin pemurnian. Dimensi defensif dalam jihad berubah menjadi ofensif, karena di dalamnya terdapat unsur pemaksaan terhadap pihak yang diperangi agar melakukan konversi ke dalam Islam.

Dengan demikian, paradigma yang digambarkan oleh Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab menimbulkan sejumlah tanda-tanya, terutama jika dibandingkan dengan doktrin jihad yang berkembang dalam tradisi kalangan Sunni lainnya. Konotasi jihad dalam arti perang menimbulkan sebuah persoalan yang sangat pelik, karena pada akhirnya jihad tidak hanya digunakan untuk kalangan non-muslim, tetapi juga diberlakukan bagi kalangan muslim yang dianggap melakukan praktik keagamaan yang tergolong politeis, kafir, murtad, dan bid‘ah. Kalangan Wahabi tidak hanya menggunakan jihad sebagai kekuatan defensif, tetapi juga sebagai kekuatan ofensif untuk menggalakkan ideologi mereka.

 

Zuhairi Misrawi, Intelektual Muda Nahdlatul Ulama, Ketua Moderate Muslim Society (MMS), Jakarta

Zuhairi Misrawi
Zuhairi Misrawihttp://IslamRamah.co
Intelektual Muda Nahdlatul Ulama, Ketua Moderate Muslim Society (MMS), Jakarta
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.