Tidak Ada Paksaan Dalam Beragama

KhazanahKhutbah Jum'atTidak Ada Paksaan Dalam Beragama

 

الحمد للّه الكريم الوهّاب، وهازم الأحزاب، ومنشئ السّحاب، ومرسل الهبّاب، ومنزل الكتاب في حوادث مختلفة الأسباب، أنزله مفرّقا، وأودعه أحكاما. أشهد أن لا إله إلاّ اللّه وحده لا شريك له، وأشهد أنّ محمّدا عبده ورسوله. أللّهمّ صلّ على محمّد وعلى آل محمّد وأصحابه أجمعين. واتّقوا اللّه واعلموا أنّكم مّلاقوه وبشّر المؤمنين، أمّا بعد.

Jama’ah Shalat Jum’at yang dimuliakan Allah subhanahu wata’ala

Allah berfirman di dalam Al-Quran:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada berhala dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat, yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. al-Baqarah: 256).

Ayat ini menjelaskan kepada kita, bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Tidak dibenarkan memaksa orang lain untuk mengikuti agama kita. Agama adalah keimanan dan kesadaran, bukan kepura-puraan dan paksaan.

Ada banyak riwayat terkait dengan sebab-musabab (asbabun nuzul) bagi turunnya ayat ini. Yang paling banyak diriwayatkan oleh para ulama dan ahli Hadis adalah, ayat ini turun untuk melarang pemaksaan dalam mengajak seseorang agar mengikuti agama yang dianut oleh orang lain.

Dalam kitab Tafsir At-Thabari disebutkan bahwa, ayat ini turun untuk mengoreksi apa yang dilakukan oleh sebagian sahabat Ansar yang memaksa anaknya untuk masuk Islam. Sahabat ini bernama Al-Hashin. Beliau mempunyai dua orang anak yang memeluk agama Kristen. Sahabat  Al-Hashīn minta izin kepada Nabi Muhammad SAW untuk memaksa keduanya agar memeluk Islam. Dalam keadaan seperti inilah ayat di atas turun untuk menegaskan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya, bahwa pemaksaan dalam beragama tidak diperbolehkan.

Riwayat lain menyebutkan bahwa ayat ini turun untuk menegur sikap sahabat Nabi yang pernah bernazar hendak mempersilahkan anaknya untuk memeluk agama Ahlul Kitab. Alkisah, ada seorang perempuan dari sahabat Anshar yang tidak kunjung punya anak. Anak-anaknya selalu meninggal dunia sebelum menjadi dewasa. Perempuan ini kemudian bernazar; apabila anaknya hidup maka akan diarahkan untuk memeluk agama para Ahlil Kitab, yakni Yahudi atau kristen. Ketika Islam datang, perempuan tersebut berusaha untuk memaksa anaknya agar pindah agama, dan memeluk agama Islam.

Dalam keadaan seperti ini, Allah menurunkan ayat al-Quran di atas untuk menegur sahabat tersebut, sekaligus melarang siapapun agar tidak melakukan pemaksaan agama seperti yang dilakukan oleh perempuan tersebut.

Jama’ah Shalat Jum’at yang dimuliakan Allah subhanahu wata’ala

Ada beberapa alasan mengapa Islam melarang paksaan dan keterpaksaan dalam beragama. Alasan pertama karena agama, keyakinan dan keimanan merupakan domain hati nurani yang identik dengan kelembutan dan kehalusan. Suara hati tidak dapat diubah dengan cara-cara paksa, atau bahkan dengan kekerasan sekalipun.

Seseorang akan melakukan segala apa pun di dunia ini sesuai dengan kata hatinya. Dan seseorang yang sudah meyakini sesuatu tidak akan bisa dipaksa untuk meninggalkan keyakinannya tersebut. Apabila ia terus dipaksa (dan kalaupun dia berubah karena paksaan tersebut), maka itu hanyalah kepura-puraan. Islam tidak pernah menerima kepura-puraan, baik dalam ibadah, ataupun dalam kehidupan sosial.

Dalam salah satu Hadisnya, Nabi Muhammad SAW menganjurkan umat Islam agar senantiasa beregang teguh kepada suara hatinya, meskipun suara hati tersebut berbeda dengan pandangan orang lain. rasulullah SAW bersabda:

إستفت قلبك ولو أفتواك النّاس

Mintalah petunjuk pada hatimu meskipun orang lain berfatwa kepadamu.

Dalam beberapa dekade hterakhir, dakwah Islam acapkali mengabaikan faktor nurani. Ajaran-ajaran Islam acapkali didakwahkan dengan cara-cara paksa dan kekerasan yang tidak jarang melukai nurani kemanusiaan. Lebih ironis lagi, para pejuang Islam terlibat dalam baku hantam antar-sesama mereka.

Tentu saja, hal ini patut disesali. Selain karena melukai mereka yang belum tentu bersalah, juga karena hal ini semakin menjauhkan dakwah Islam dari cita-citanya semula. Dakwah Islam dimaksudkan untuk seluas mungkin menyebarkan ajaran kesantunan demi terciptanya kehidupan yang berkeadaban.

Sudah sepatutnya umat Islam belajar dari pengalaman ketir di masa lalu terkait dengan dakwah Islam yang kurang memperhatikan faktor nurani. Pelbagai aliran dan mazhab mencoba berdiri kokoh di hadapan mazhab dan aliran yang lain. Pelbagai macam alasan “rasional” pun dibangun megah untuk memperkokoh pandangan masing-masing.

Satu hal yang hampir terabaikan dalam proses dakwah dan pembangunan aliran/mazhab seperti di atas. Yaitu argumentasi dan pendekatan yang lebih menekankan pada hati nurani. Dari perspektif ini, bangunan-bangunan mazhab yang ada tampak kropos. Betapa tidak, mazhab-mazhab yang ada sejatinya menjadi rahmat bagi umat karena memberikan banyak pandangan alternatif dalam persoalan-persoalan yang ada. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, antara satu mazhab dengan mazhab lain acapkali saling menafikkan dengan senjata penyesatan, bahkan juga pengkafiran.

Baca Juga  Berkompetisi dalam Kebaikan, Bukan Kebenaran

Di sini dapat ditegaskan, kekerasan tak pernah mampu meyakinkan seseorang, apalagi mengubah keyakinannya. Kekerasan tak pernah membuat ajaran Islam diterima dengan baik oleh umat lain. yang terjadi justru sebaliknya; umat non-muslim semakin menjauh, sedangkan umat Islam semakin terpecah dan terbelah.

Jama’ah Shalat Jum’at yang dimuliakan Allah Subhanahu wata’ala

Alasan kedua adalah karena keberagamaan tidak bisa dibangun di atas pondasi pemaksaan dan kekerasan. Sejatinya keberagamaan dibangun di atas kesadaran dan kebebasan.

Apa yang disampaikan oleh Imam Ar-Razi dalam kitab tafsir Mafatih al-Ghayb menarik untuk diperhatikan bersama. Menurutnya, selain karena alasan kebebasan di atas, agama sesungguhnya menjadi “cobaan” (al-ibtila’) bagi segenap pemeluknya. Dengan kata lain, ajaran-ajaran agama kerapkali menjadi tantangan bagi para pemeluknya.

Sebagian umat beragama, mungkin, mempunyai tingkat kepatuhan yang begitu tinggi hterhadap ajaran-ajaran agamanya, hingga yang bersangkutan mampu menjalankan ajaran kasih-sayang, kelembutan, dan peduli terhadap yang lain secara konsisten. Sedangkan sebagian lainnya, mungkin, mempunyai tingkat kepatuhan lebih rendah. Sehingga yang bersangkutan acapkali terjebak dalam hal-hal yang terlarang dalam agama, seperti aksi kekerasan, tidak peduli terhadap nasib sesama, dan cenderung memaksakan suatu agama atau paham tertentu kepada pihak lain.

Masih menurut Imam Ar-Razi, dalam konteks ini kebebasan dalam beragama menjadi satu-satunya instrumen bagi berjalannya proses cobaan tersebut. Tanpa kebebasan ini tidak mungkin diketahui yang taat dan yang tidak. Karena proses keberagamaan mereka dilakukan secara terpaksa.

Alasan ketiga karena hidayah merupakan hak mutlak Allah. Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang dapat memberikan hidayah kepada orang lain. Termasuk para malaikat, bahkan Nabi sekalipun. Termasuk juga Nabi Muhammad SAW. Hidayah hanya miliki Allah.

Dalam al-Quran Allah berfirman:

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa  manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (QS. Yunus: 99).

Dalam kitab Tafsir At-Thabari disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersikeras hendak menjadikan semua isi bumi sebagai orang yang beriman. Melalui ayat ini Allah subhanahu wata’ala mengabarkan kepada Nabi Muhammad SAW bahwa, hanyalah orang-orang yang dikehendaki dan mendapatkan hidayah-Nya yang akan beriman. Sedangkan mereka yang tidak dikehendaki dan tak mendapatkan hidayah-Nya tidak akan pernah beriman.

Dalam ayat ini, yang bisa dilakukan oleh umat Islam hanyalah menyampaikan dna mendakwahi mereka dengan cara-cara yang sudah ditetapkan dalam al-Quran, yaitu santun, bijaksana dan masuk akal. Diharapkan, cara-cara lembut seperti ini mampu memahamkan mereka tentang esensi yang kita sampaikan. Apabila hal ini pun tidak berhasil, maka semuanya menjadi urusan Tuhan. Dengan kata lain, kita tidak mempunyai beban dosa apapun atas semua yang diperbuat oleh mereka.

Jama’ah Shalat Jum’at yang dimuliakan Allah subhanahu wata’ala

Saya ingin menutup khutbah ini dengan kisah Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah dan mengajak salah satu pamannya agar memeluk agama Islam. Dalam salah satu riwayat disebutkan, Nabi Muhammad SAW sangat bersedih lantaran meninggalnya pamannya (Abu Thalib) yang tidak masuk Islam. Padahal pamannya tersebut sudah berjasa banyak kepada Islam. Mengingat pamannya tersebut seringkali melindungi Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya dari tekanan dan ancaman orang-orang kafir Quraiys.

Menurut salah satu riwayat, paman Nabi tersebut telah meyakini kebenaran yang dibawa dan disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Mekkah saat itu. Oleh karenanya, dia secara sadar mengakui separuh kalimat syahadat yang menjadi pintu masuk bagi seseorang untuk memeluk agama Islam, yaitu kalimat asyhadu alla ilaha illallah (aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah).

Hanya saja, paman Nabi tersebut tidak bisa untuk mengakui status Muhammad sebagai Nabi. Baginya, Muhammad tetaplah keponakan tersayangnya. Itu sebabnya paman Nabi tersebut hanya bisa menyebut asyhadu anna muhammadan ibnu akhi (aku bersaksi bahwa Muhammad anak saudaraku). Menjelang wafatnya, Nabi terus menuntun pamannya agar mengucapkan dua kalimat syahadat dengan benar dan megakui kebabian beliau. Namun yang keluar tetap ungkapan Muhammad sebagai anak saudaraku, hingga akhirnya paman Nabi tersebut meninggal dunia.

Inti dari semua itu, keberimanan seseorang muncul dari lubuk hati yang paling dalam dan kesadaran yang bersifat ilahi. Sebab itu, keberimanan lahir dan tumbuh bukan dari paksaan, melainkan dari penghayatan yang ditransformasikan dalam kehidupan nyata, terutama untuk membangun keadilan dan kedamaian.

بارك اللّه لي ولكم في القرآن العظيم ونفعني وإيّاكم بما فيه من الآيات والذّكر الحكيم وتقبّل منّي ومنكم تلاوته إنّه هو السّميع العليم.

 

Redaksi Islam Ramah
Redaksi Islam Ramah
IslamRamah.co - Islam Ramah Bukan Islam Marah
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.