Berpolitik di Masjid

KolomBerpolitik di Masjid

Sebagai tempat ibadah umat Islam, masjid memiliki fungsi yang cukup beragam. Pasalnya jika ditilik dari pendirian masjid di masa Nabi Muhammad dan para sahabat setelahnya, masjid tidak hanya dijadikan sebagai tempat ibadah saja. Tapi juga ruang untuk bersosial, berbudaya, mengedukasi umatnya, bahkan juga untuk mengelola pemerintahan Islam yang saat itu masih usia belia.

Tetapi bagaimana jadinya, jika masjid dalam konteks hari ini disandingkan dengan dunia politik? Berkaca dari konteks historis masjid di masa Nabi Muhammad, beliau pernah menggunakan masjid untuk merancang strategi politik dan pemerintahan, saat mengelola Masjid Nabawi. Sebenarnya, sejauh mana politik hari ini boleh dibawa masuk ke dalam masjid?

Pasalnya, baru-baru ini (17/03/2023), eks Gubernur Anies Baswedan melakukan kunjungan ke Masjid Al-Akbar, Surabaya. Buntut dari kunjungan itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengirim pesan berantai kepada warga berupa Surat Bawaslu Jatim 123/PM.00.02/K.Jl-38/03/2023. Surat itu berisi peringatan dalam bentuk pesan berantai bahwa, tempat ibadah jangan sampai digunakan sebagai lokasi kampanye untuk mendulang suara di 2024 mendatang. Selain memang belum waktunya bagi para calon dari partai politik manapun untuk berkampanye.

Sepekan setelah peristiwa di Masjid Al-Akbar, Surabaya ini dikonsumsi publik, kanal Youtube Khilafah News mengangkat tema ‘Masjid Anti Politik?’ sebagai bahan diskusi. Hanif Kristanto didapuk sebagai pembicara pada kesempatan tersebut. Dalam diskusi virtual selama setengah jam itu, saya rasa ada beberapa poin yang perlu digarisbawahi.

Pertama, masjid sejatinya memang memiliki banyak fungsi, selain sebagai ruang untuk beribadah. Di dalam buku Pemberdayaan Umat Berbasis Masjid (2021) yang ditulis Prof. KH. Nasaruddin Umar, ada sebanyak 22 fungsi masjid di masa Nabi Muhammad SAW. Lima diantaranya bersinggungan dengan dunia politik.

Namun yang perlu diperhatikan ialah bahwa konteks saat itu berbeda dengan hari ini. Di zaman Nabi SAW, pengikut Islam memiliki jiwa yang taat sepenuhnya, memiliki figur Nabi Muhammad sebagai pemimpin, dan jumlahnya belum relatif banyak. Maka saat itu, sangat memungkinkan masjid dijadikan sebagai ruang untuk berpolitik. Tentu saja lingkup politik saat itu belum seperti yang sekarang ini.

Kedua, Hanif Kristanto mengatakan bahwa sudah saatnya, calon pemimpin dan atau politisi bersua dengan masyarakat melalui mimbar-mibar masjid. Karena menurutnya, pemilih terbesar di negeri ini adalah umat Islam. Dan lokasi yang paling banyak diakses oleh umat Islam ada di masjid. Jadi ketika masjid digunakan sebagai ruang untuk berpolitik, menurutnya sah-sah saja.

Baca Juga  Zuhairi Misrawi, Jubir Arab Saudi

Padahal data yang dirilis Dewan Masjid Indonesia (DMI), ada lebih dari 800.000 masjid yang tersebar di seluruh penjuru negeri ini. Jumlah ini kemungkinan akan bertambah setiap tahunnya. Kita boleh membayangkan, bagaimana jadinya sekian masjid itu digunakan sebagai mimbar politik untuk mendulang perolehan suara ketika pemilihan? Bukankah polarisasi yang terjadi malah semakin banyak, dengan kemungkinan gesekan-gesekan akan semakin kerap terjadi?

Ketiga, di sela-sela penuturannya, Hanif Kristanto berujar bahwa masjid seharusnya memang dimakmurkan secara kaffah melalui pendirian khilafah. Saya rasa kita semua sepakat, masjid memang harus makmur. Masjid beserta jamaah yang ada di dalamnya tidak hanya dicukupkan dengan rasa nyaman di urusan peribadatan, tetapi juga diupayakan kepemilikan finansial yang mapan dan diberi kebutuhan kecakapan pengetahuan. Kita mesti sepakat dalam hal ini.

Hanya saja jika jalannya dengan pendirian khilafah, kita semua boleh tidak sepakat bahkan menolaknya dengan tegas. Sebab kemakmuran masjid tidak tergantung berdiri atau tidaknya khilafah. Pun khilafah sendiri bukan jaminan bagi masjid-masjid yang ada di pelosok, di atas gunung, atau di pinggiran pantai dikelola dengan baik layaknya masjid di kota. Selain itu, ada banyak masjid di wilayah minoritas muslim yang justru kemakmurannya melebihi masjid-masjid di dunia muslim. Karena memang kemakmuran masjid tidak bergantung pada adanya khilafah, tetapi pada kesadaran jamaahnya.

Singkatnya, politik yang dibawa ke mesjid di masa kini, berbeda dengan di masa Nabi. Isu politik dapat dibahas di masjid dalam bingkai pengetahuan dan adab untuk kepentingan bersama, bukan sekadar kampanye atau politik praktis yang mementingkan sebagian kelompok saja. Mereka yang berbicara di mimbar-mibar masjid diharapkan tidak berdiri atas nama politisi atau partai. Perlu diingat bahwa, di masa Nabi Muhammad, masjid menjadi ruang politik dengan tidak membuat resah dan gelisah umat Islam maupun umat dari agama lainnya. Mengutip penjelasan Prof. KH Nasaruddin Umar di bukunya tersebut, “Masjid Nabi Muhammad juga digunakan untuk melakukan musyawarah politik guna menyelesaikan berbagai tantangan dan persoalan yang dihadapi umat.” Dan inilah masih relevan untuk kita tunaikan di masjid-masjid.

Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady
Alumnus Magister Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga, penulis, dan masyarakat biasa.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.