Isu Gender Bukan Untuk Aktivis Saja

KolomIsu Gender Bukan Untuk Aktivis Saja

Isu gender merupakan isu yang kontroversial, khususnya di kalangan masyarakat religius di negeri ini. Sebagai pembaca wacana gender dan sesekali menuliskannya, saya juga beberapa kali menuai respon yang sinis. Termasuk pertanyaan naif semacam “memangnya ada hak-hak yang belum setara?” dan “coba jelaskan HAM yang mana yang nngak setara antara laki-laki dan perempuan.” Pengalaman itu membuat saya menyadari bahwa sosialisasi wacana keadilan gender di sekitar kita masih sangat minim. Padahal, setiap orang memiliki tanggung jawab untukmenyuarakan keadilan dan mewujudkan kemaslahatan anatar sesama, termasuk dalam memecahkan masalah ketidakadilan berbasis gender.

Kita masih kurang peka terhadap ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Pada dasarnya, HAM dan hukum positif di negeri kita sudah menerapkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, namun yang perlu digarisbawahi, ketidakadilan gender justru sering terjadi bukan di dalam teks hukum, namun dalam alam pikiran dan praktik masyarakat.  Kita sudah terlalu lama menganggap ketidakadilan maupun ketimpangan gender sebagai sesuatu yang wajar dan kodrati. Kondisi ini menciptakan struktur dan sistem ketidakadilan gender membudaya dan tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang salah.

Misalnya, kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan yang marak terjadi. Hal ini tidak cukup dilihat melalui kacamata kriminalitas biasa, sebab ada pertanyaan-pertanyaan mengakar yang tidak terjawab. Mengapa korban kekerasan lebih banyak perempuan? Mengapa pelaku kriminalitas lebih banyak laki-laki? Mengapa korban tidak berani melaporkan kasusnya? Mengapa laki-laki bisa melakukan kejahatan berulang-ulang erhadap perempuan?

Selain itu, contoh lain dari ketidaksetaraan lainnya, dapat dilihat pada Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang perempuan terpaut jauh dengan laki-laki. Hasil analisa Satuan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2014 menunjukan TPAK perempuan sebesar 50,22%, sedangkan TPAK laki-laki 83,05%. Angka TPAK ini menunjukkan bahwa dari 100 perempuan usia produktif, hanya 50 orang yang dapat berpartisipasi di pasar kerja. Kondisi ini seringkali dianggap wajar oleh pandangan konservatif, karena perempuan diharuskan bekerja di rumah. Dan kalaupun ingin bekerja di luar, maka ia harus menanggung beban ganda. Apakah rendahnya pendidikan, kualitas ekonomi, sulit bekerja, dan keterbatasan akses tertentu lainnya, merupakan kodrat perempuan?

Sudah selayaknya kita mengasah kepekaan terhadap ketidakadilan yang kerap terjadi di sekitar kita. Pada dasarnya, analisis gender merupakan kacamata baru untuk melengkapi analisis sosial yang telah ada sebelumnya, seperti analisis kelas, analisis kultural, dan analisis wacana. Perspektif gender digunakan sebagai konsep analisis dalam memahami dan menjelaskan sesuatu, seperti masalah ketimpangan dan kesenjangan sosial dalam masyarakat.

Gender diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status, dan tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan, perbedaan itu tidak bersifat kodrati melainkan hasil konstruksi sosial-budaya. Perbedaan gender berbeda dengan perbedaan sex atau jenis kelamin yang merupakan kodrat, gender dapat berubah dan dapat dipertukarkan pada manusia satu ke manusia lainnya, tergantung konteks budaya setempat.

Sebagai sebuah pisau analisis, gender digunakan untuk mengupas makna, konsepsi, asumsi, ideologi dan praktik hubungan antara laki-laki dan perempuan. Menemukan implikasinya pada kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kultural yang lebih luas. Perspektif gender melihat sisi yang selama ini tidak terlihat dengan teori analisis lain. Persoalan kesetaraan dan keadilan gender telah menjadi isu kepedulian yang sangat penting secara global.

Pada prinsipnya, perbedaan gender laki-laki dan perempuan itu tidak menjadi masalah, sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan. Sayangnya, dalam realitas kita, seperti dikatakan Siti Musdah Mulia, perbedaan gender telah melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan (gender inequality) pada kehidupan sosial masyarakat, dialami laki-laki maupun perempuan. Hanya saja, dibanding laki-laki, kaum perempuan lebih banyak mengalami ketidakadilan, terutama pada pemenuhan hak asasi mereka.

Setiap orang berhak atas hak-hak asasi dan kebebasan fundamental kemanusiaan. Secara normatif, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 tidak membeda-bedakan manusia, termasuk pula tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya memiliki hak asasi dan kewajiban yang sama sebagai manusia. Namun, dalam realitas sosiologis di masyarakat, dijumpai begitu banyak pelanggaran terhadap hak-hak perempuan dalam bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan.

Baca Juga  Buya Arrazy Hasyim: Berdebatlah dengan Akhlak

Ironisnya lagi, walaupun sudah ada Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan 1979, tidak serta merta melenyapkan berbagai bentuk perlakukan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dalam kehidupan sosial. kasus-kasus perkosaan, pelecehan seksual, penyiksaan, perusakan alat reproduksi, pornografi, pelacuran paksa, perdagangan perempuan, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya menjadi masalah sosial yang tidak sederhana. oleh karena itu, kesenjangan antara idealita HAM dan realita masyarakat inilah yang mengundang kritik sosial, diantaranya kritik berspektif gender.  

Diskriminasi atau ketidakadilan gender, sebagaimana kesimpulan Siti Musdah Mulia, merupakan segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar konstruksi sosial tentang jenis kelamin. Berakibat mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia. Pada akhirnya mengusik kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau apapun pada jenis kelamin tertentu. Setidaknya, telah dikenal lima jenis diskriminasi gender yang mengakar di tengah masyarakat, yaitu subordinasi, stereotip, beban ganda, marginalisasi, dan perlakuan kekerasan.

Bukankah kita sering menemukan, anggapan bahwa laki-laki lebih berhak dari perempuan, perempuan setelah laki-laki, di bawah laki-laki atau pelengkap laki-laki? Hal demikian bukanlah kodrat, melainkan subordinasi atau penomorduaan perempuan, yang pada prinsipnya setara dengan laki-laki. Subordinasi ini menyebabkan posisi strategis dalam pengambilan keputusan apapun hanya mengandalkan laki-laki dan kurang menganggap perempuan.

Selain itu, kita tentu sering mendengar, mitos yang menyudutkan perempuan, seperti perempuan sebagai makhluk yang lebih lemah, cengeng, dan emosional. Hal ini juga bukan kodrat, tetapi stereotip atau pelabelan negatif pada diri perempuan. Stereotip tidak boleh dibiarkan, karena sangat merendahkan status dan potensi perempuan di mata sosial. Misalnya, anggapan perempuan sebagai makhluk penggoda atau fitnah, menyebabkan budaya victim blaming pada korban perkosaan.

Peminggiran perempuan dari ranah publik, seperti dunia politik dan pembangunan ekonomi. akibat anggapan anggapan negatif tertentu atas gender perempuan, perempuan tidak diharapkan keterlibatannya. ini disebut dengan marginalisasi, tentu saja bukan kodrat, tapi diskriminasi gender.

Beban ganda atau double burden, barangkali merupakan ketidakadilan gender yang paling kurang disadari, dan bahkan dinormalisasi. Double burden dialami oleh perempuan yang bekerja sekaligus menanggung beban tugas rumah tangga. Adanya asumsi kodrat peran perempuan adalah di rumah, membuat perempuan yang bekerja mendapat syarat untuk mengerjakan juga pekerjaan rumah sebagai tugas tamanya.

Kekerasan pada perempuan merupakan isu sentral dalam wacana ketidakadilan gender. Berdasarkan Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan (CATAHU), kekerasan terhadap perempuan tercatat sebanyak 431.471 kasus pada 2019 lalu. Fakta ini harusnya cukup membuka mata kita terhadap realita ketidakadilan gender. Violence atau kekerasan merupakan puncak diskriminasi perempuan, terjadi di ruang publik maupun pribadi, seolah-olah tidak ada tempat aman bagi perempuan. Pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang terjadi pada perempuan, mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis.

Dengan demikian, jelas banyak sekali masalah sosial di sekitar kita yang disebabkan oleh ketidaksetaraan gender. Isu ini untuk aktivis gender saja, sebab setiap orang harus menyuarakan keadilan bagi sasama. Cara pandang masyarakat yang masih cenderung bias gender, membelenggu kebebasan perempuan, serta berpotensi melanggar hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh perempuan sebagai sesama manusia. Kita harus lebih peka terhadap ketidakadilan gender yang marak terjadi. Kesadaran dan kepekaan kita sangat penting  untuk merealisasikan kesetaraan HAM menjadi kenyataan. Berbagai wujud diskriminasi dan ketidakadilan gender, memperburuk kondisi kehidupan perempuan dan menghambat kemajuan mereka, termasuk menghambat kemajuan bangsa dan negara.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.