Gus Dur Perawat Kewarasan Intelektual

KhazanahHikmahGus Dur Perawat Kewarasan Intelektual

Tak ada yang usang ketika segalanya bertemakan tentang Gus Dur. Pemikiran Gus Dur yang canggih dan terkesan dianggap nyeleneh ini, faktanya memiliki prediksi kuat terhadap solusi menjawab tantangan zaman, baik keislaman maupun kebangsaan. Jiwa humanisnya menyentuh seluruh lini kehidupan. Membincang Gus Dur adalah upaya mengingat bagaimana kita harus menjaga kewarasan intelektual yang mementingkan kemaslahatan bersama, bukan sekadar menguntungan bagi diri sendiri.

Tepatnya, setiap tanggal 30 Desember hari kewafatannya Gus Dur dikenang masyarakat dan terhitung sudah 12 tahun lamanya ia tutup usia. Namun, gagasan segarnya masih bisa kita rasakan hingga kini. Sebagaimana pada acara Muktamar NU ke-34 yang diselenggarakan di Lampung pada 22-24 Desember 2021, beberapa kandidat Nahdliyyin menjadikan Gus Dur sebagai rumusan visi misi yang akan diemban saat terpilih. Misal, Kiai Said berselogan melanjutkan perjuangan Gus Dur dan Kiai Staquf berselogan menghidupkan Gus Dur.

Berdasarkan hal tersebut, hingga kini menandakan sosok pemikir besar seperti Gus Dur ini masih belum tergantikan. Senada dengan teman seperjuangannya, yakni Cak Nur sapaan akrab Nurcholis Madjid. Keduanya, memiliki peran kokoh dalam menjaga kewarasan intelektual masyarakat yang terombang ambing dengan keislaman syariat dan modernisasi yang ada.

Adapun kewarasan intelektual yang diajarkan Gus Dur adalah menanamkan rasa kemanusiaan. Cinta terhadap sesama manusia menumbuhkan diri seseorang berkepribadian yang luwes. Pada mulanya, pembentukan karakter seperti ini didapat dari dukungan lingkungan keluarga yang dididik peduli terhadap isu sosial. Yaitu, dari kakeknya KH. Hasyim Asy’ari, ayahnya Wahid Hasyim dan ibunya Nyai Solichah Munawaroh. Di samping itu, minat bacanya yang tinggi dan penguasaan beberapa bahasa memuat banyak teori tentang kemanusiaan dengan beragam perspektif dari pelbagai tokoh.

Dengan jam terbang bacaan yang tinggi, tak sulit bagi Gus Dur untuk menulis apa yang ada dalam pikirannya. Menurut Syu’bah Asa, redaktur tempo di era itu, Gus Dur ini terlampau rajin. Belum sampai naskahnya terbit, ia sudah menyetor naskah lain dan tak ambil pusing apakah tulisannya diterima atau tidak, naskah itu tetap diberikan kepada redaksi media. Selain karena hobi, pendapatan dari banyaknya hasil tulisan yang disetor, ia gunakan untuk menghidupi kebutuhan sanak keluarganya.

Baca Juga  Fakhruddin Faiz: Cinta itu Menghilangkan Keegoisan Diri

Kembali membincang bagaimana Gus Dur merawat kewarasan intelektual. Gaya hidup yang dekat keilmuan mengantarkan Gus Dur senantiasa terjaga dari jurang kedunguan. Di kala orang-orang minoritas mendapat perlakuan yang tidak baik dari orang sekitar, baik karena ditengarai sesat maupun tidak layak diterima di tengah-tengah masyarakat Gus Dur memerjuangkan hak kesetaraan mereka sebagai manusia dan warga negara yang sama.

Kendati Gus Dur bersikap demikian karena keimanan yang dimilikinya, tetapi keilmuan menjadi penunjang terbesar sehingga bisa menginspirasi orang sejauh ini. Mengapa tidak, ia begitu gemar membaca dengan tema yang beragam, baik keislama, politik, sosial, budaya, sastra, filsafat, dan sebagainya. Beberapa tokoh yang familiar dibacanya mencakup, seperti Sayyid Qutb, Hasan Al-Banna, Karl Marx, Plato, Aristoteles, Ernest Hemingway, John Steinbeck, Fyodor Dostoevsky, dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya.

Ini yang menjadi ciri khas dari diri seorang Abdurrahman Wahid. Di kala orang-orang menghindari pemikiran dari tokoh-tokoh yang kontradiktif, justru Gus Dur membacanya sebagai upaya memahami gerakan ekstrem, sekuler, liberal sekaligus agar dapat mendapat titik temu dan melunakannya. Adakalanya kita menentang keras terhadap sesuatu yang bertentangan, tetapi hal itu tidak akan mendapatkan solusi dari problem tanpa memahami apa yang menjadi tujuan sekutu atau musuh.

Walhasil, kiat Gus Dur sebagai perawat kewarasan intelektual adalah dengan memiliki banyak pengetahuan melalui membaca dan kerendahan hati. Sebagaimana menurut Bahauddin Nursalim atau Gus Baha, Islam merupakan agama ilmu. Dengan ini, tak sempurna iman seseorang jika tak memiliki pengetahuan, terlebih bagi seorang intelektual ilmu adalah keniscayaan untuk lebih memantapkan, bahwa apa yang diyakininya bukan sekadar agama warisan belaka. Namun, agama yang sungguh membawa kebenaran dan kemaslahatan bagi banyak umat manusia.

Setiap lelucon cerdas yang dilontarkan oleh Gus Dur juga bagian dari merawat kewarasan intelektual. Barang tentu tak sedikit orang-orang yang melihat kutu buku, semisal Gus Dur sulit melemparkan candaan dan berpusing-pusing ria dengan memikirkan banyak persoalan kebangsaan dan keagamaan. Maka dari itu, terakhir yang saya tangkap dari Gus Dur adalah jangan lupa tetap bahagia dan tertawa meski seluruh dunia mencerca karena ini bagian dari penjagaan kewarasan mental intelektual.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.