Harapan Umat Islam untuk MUI

KolomHarapan Umat Islam untuk MUI

Rais Aam PBNU, KH. Miftachul Akhyar terpilih menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggantikan KH. Ma’ruf Amin yang saat ini menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Munas ke-X MUI tahun ini berlangsung di Hotel Sultan, Jakarta, pada tanggal 25 sampai 27 November 2020. Munas X MUI yang digelar secara luring dan daring ini mengangkat tema “Meluruskan Arah Bangsa dengan Wasathiyyah al-Islam, Pancasila, dan UUD 1945, secara murni, dan konsekuen”. Melalui tema itu, tentu harapan untuk meluruskan berbagai aspek di tubuh MUI, seluruh umat Islam Indonesia menantikannya.

Pemilihan Ketua MUI, terlihat begitu cair, tidak tampak ketegangan hiruk pikuk politik, tidak adanya perseteruan serius dalam intern MUI, dan seperti mengedepankan asas musyawarah mufakat. Sesuai dengan tema yang diusung pada Munas X MUI, yakni wasathiyyah. Artinya para ulama, tokoh, dan cendekiawan dalam tubuh MUI melakukan agendanya sama sekali tidak menyimpang dari ketetapan yang digariskan Islam, yaitu akhlakul karimah. para ulama tetap pada aturan atau kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Kita semua umat Islam memiliki angan-angan suatu hari MUI dapat menjadi yang sebenar-benarnya rujukan dalam berislam secara benar. Selain itu, kita memiliki harapan besar agar MUI tidak lagi menimbulkan fatwa-fatwa kontroversial yang dapat memicu terjadinya konflik dan sektarianisme dalam tubuh Islam. Sebab sebelumnya, MUI kerap melegislasi fatwa yang melahirkan aksi-aksi anarkisme, kebencian pada kelompok tertentu, dan meningkatnya sikap intoleransi sebagian umat Islam.

Konsep wasathiyyah yang selalu digaungkan MUI, tidak mengindikasikan pada sikap aplikatif banyak tokohnya dalam memberikan solusi pelbagai persoalan bangsa. Legitimasi fatwa MUI banyak menghadirkan sikap kaku, keras, bahkan sampai menimbulkan kegaduhan dan konfrontasi serta intimidasi terhadap beberapa kelompok minoritas.

Misalnya, fatwa sesat terhadap Jemaat Ahmadiyah dan kelompok Syiah di Indonesia sampai-sampai menimbulkan reaksi keras Organisasi Masyarakat (Ormas) keagamaan radikal seperti Front Pembela Islam (FPI), dan Forum Umat Islam (FUI), terhadap aliran tersebut yang menyakiti kemanusiaan. Padahal Islam sangat menjunjung tinggi persatuan, perdamaian, dan kemanusiaan.

Amir Ahmadiyah, Abdul Basit, dalam kesempatan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi VIII, 12 Februari 2011, menyatakan bahwa sejak fatwa dikeluarkan oleh MUI, kekerasan terhadap Ahmadiyah meningkat (Syafiq Hasyim, 2015: 242). Meski era Orde Baru Ahmadiyah dinyatakan sesat, namun aktivitas jemaat ini tidak terkena aksi-aksi anarkis oleh mayoritas masyarakat umat Islam pada waktu itu.

MUI juga telah mengklaim dirinya sebagai rumah besar umat Islam Indonesia sebagai dampak legitimasi sejarah, politik, dan kultural atas pendiriannya bersama rezim Orde Baru. Padahal secara historis, MUI hanyalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang bertujuan untuk menguatkan posisi rezim kekuasaan Orde Baru. MUI juga kerap menampilkan dirinya sebagai organisasi keagamaan yang paling otoritatif di Indonesia, terutama dalam hal legitimasi fatwa. Oleh karenanya, cita-cita wasathiyyah yang seringkali didengungkan oleh MUI, tidak berwujud secara nyata.

Sebagaimana pengertian wasath pada ayat Al-Baqarah: 143. Beberapa ulama besar mengemukakan makna dari sikap wasathiyyah seperti keadilan, bersikap tengah-tengah dalam segala hal, tidak kurang dan tidak berlebihan. Selain itu, sikap wasathiyyah juga bermakna yang paling utama dan yang paling baik. Nilai makna dari semua pengertian wasathiyyah tersebut sesuai dengan hakikat Islam sebagai agama moderasi. Yakni agama yang bersifat universal, yakni syura atau musyawarah, persamaan hak dan kewajiban, dan menjunjung tinggi keadilan.

Baca Juga  Hijab Lebih Dari Soal Kain

Karena itulah, banyak kritikal yang ditujukan kepada MUI terkait beberapa hal, khususnya lembaga (komisi) fatwa yang kurang mempertimbangkan Bahtsul Masail NU, atau Majelis Tarjih Muhammadiyah terkait persoalan-persoalan yang cukup pelik dalam pemecahannya. Realitas umat Islam Indonesia yang tengah menghadapi gelombang ideologi keagamaan transnasional seperti Salafisme atau Wahabisme, Khilafahisme atau Islamisme, semakin rentan berpotensi konflik sektarian ke depannya.

Setelah melihat struktural MUI di bawah pimpinan KH. Miftachul Akhyar, optimisme kedepan sepertinya wasathiyyah dapat bisa diimplementasikan secara konkret. Mengingat KH. Miftachul Akhyar sudah tidak diragukan lagi kedalaman ilmu agama dan ketawaduannya. Kita semua berharap MUI dapat membangun akhlak dengan penuh rasa kemanusian yang membangkitkan kembali peradaban Islam. Sinergitas MUI dengan organisasi keagamaan dalam merumuskan berbagai persoalan, perlu diintensifkan lagi dalam rangka silaturahmi untuk mengurai sektarianisme yang menjalar akhir-akhir ini.

MUI pun memiliki tema meluruskan arah bangsa, salah satunya Pancasila dan UUD 1945. Ideologi negara kita itu membebaskan setiap warga negara untuk memilih dan dipilih sebagai pemimpin. Warga negara berhak untuk memilih siapapun tanpa mempertanyakan suku, ras, etnis, dan agamanya apa. Dan juga berhak dipilih.

Tidak benar misalnya karena mayoritas Islam, maka pemimpin harus Islam, atau karena mayoritas penduduk itu berasal dari suku Jawa, maka Jawa yang paling berhak dipilih. Bahkan yang teranyar, sebagian orang memainkan isu Non-Muslim tidak boleh menjadi Kapolri. Tidak boleh ada diskriminasi di negara kita ini. Tentu kita berharap MUI menjadi garda terdepan dalam hal ini, sesuai dengan tema besarnya meluruskan arah bangsa, Pancasila dan UUD 1945.

Yang menjadi fokus Islam adalah bagaimana seorang pemimpin itu menciptakan keadilan sosial secara menyeluruh berdasarkan musyawarah bersama yang bersifat demokratis. Nilai substantifnya yang terpenting, tidak berdasarkan asal dan keyakinannya. Pendeknya, MUI ke depan dituntut lebih memfokuskan khidmatnya kepada marwah kehormatan bangsa Indonesia seutuhnya. Asas dan strategi MUI mendatang semestinya dilakukan dengan cara-cara yang berbudaya, berkeadaban, keadilan, dan keluhuran masyarakat Indonesia seluruhnya, khususnya umat Islam.

Dengan penuh kerendahan hati, sebagai umat Islam, kita semua sangat menaruh harapan kepada MUI periode ini tampil berdasarkan kharisma ulama sebagai moral force, dapat berjalan dengan semangat keislaman inklusif dan bersifat substantif, juga semangat keindonesiaan yang berperikemanusiaan dan berperadaban. MUI tidak perlu menjadi “hakim” atas keyakinan dan kelompok. MUI cukup menjadi obor bagi umat dan bangsa agar tercipta persaudaraan keislamaan (ukhuwwah islamiyyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insaniyyah).

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.