Pernikahan Bukan Tujuan Akhir Perempuan

KolomPernikahan Bukan Tujuan Akhir Perempuan

Glorifikasi pernikahan di usia muda adalah satu di antara banyak hal yang menyudutkan dan tidak menguntungkan posisi perempuan. Pasalnya, masyarakat gembar-gembor mempromosikan kebahagiaan perempuan yang dapat diraih jika ia memiliki pasangan. Tidak heran jika status “menikah” dianggap sebuah pencapaian, tujuan akhir, bahkan cita-cita banyak perempuan.

Jumlah ibu tunggal di Tanah Air kian meningkat 10 kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Fakta tersebut tentu saja tidak patut dijadikan perlombaan, ditutup-tutupi, apalagi menjelma menjadi bahan gunjingan. Banyak data membuktikan, bahwa usia ketika menikah tidak memengaruhi tingkat kebahagiaan dalam pernikahan. Namun, sejumlah perempuan justru memberi hukuman dengan cara memberikan label negatif kepada teman atau dirinya sendiri yang tidak atau belum berstatus “menikah”. Lebih memercayai mitos dan apa kata orang tanpa bukti.

Bukankah sejatinya tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini adalah untuk beribadah? Kedudukan dan peran yang sebenarnya bagi tiap insan, termasuk seluruh perempuan di dunia adalah sebagai khalifah? (al-Baqarah: 30). Menjalankan tugas-tugas yang telah digariskan Tuhan. Baik itu berupa ibadah mahdhah maupun ibadah ghairu mahdhah. Maksud dari ibadah mahdhah atau primer seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Sementara ibadah ghairu mahdhah atau sekunder adalah seluruh aktivitas yang bukan merupakan ibadah primer tersebut, seperti bekerja, makan, dan menuntut ilmu.

Ironisnya, perempuan justru selalu dihadapkan dengan pertanyaan, kok bisa pinter-pinter masih menjomblo? kenapa sih selektif banget pilih-pilih pasangan? Atau untuk apa bersekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya mengganti popok bayi? Seolah menegaskan, bahwa perempuan kodratnya hanya mengurusi urusan domestik. Seolah berkata, perempuan tidak memiliki hak untuk berkarir, mengenyam pendidikan sekaligus berperan di bidang yang diminati dan digelutinya.

Padahal, tidak satu pun perempuan yang seharusnya dirugikan dan dibuat tertekan hanya karena status perkawinan, sebab pernikahan bukan tujuan akhir mereka. Tanpa pasangan, perempuan sejatinya berdaya dan tetap mempunyai peran. Tanpa pasangan, tidak menyingkirkan keberhasilan dan prestasi yang telah diraihnya. Kesuksesan saat sendiri acap kali justru menggambarkan kekuatan hebat dari seorang perempuan.

Jika kita perhatikan dengan seksama, meningkatkan kecerdasan, semangat belajar, dan berperan sesuai keahlian adalah hal wajib bagi setiap individu Muslim, sebagaimana dinyatakan dan dipraktikkan Nabi Muhammad SAW. Bahkan dalam firman-Nya, surat al-Zumar ayat 9, Allah ta’ala mendeklarasikan betapa semangat dalam menuntut ilmu itu keniscayaan bagi seluruh manusia.

Baca Juga  Pancasila Solusi Atasi Intoleransi

Tidak sedikit intelektual (ulama) tersohor yang mengimplementasikan keutamaan belajar, memilih jomblo. Memilih untuk fokus memberikan kontribusi besar yang baik bagi peradaban manusia. Mereka memilih untuk mengabdikan dirinya untuk ilmu pengetahuan, mengabdi kepada masyarakat, sampai mengabdi untuk Tuhan. Ibnu Jarir al-Thabari, ahli tafsir, Imam Zamakhsyari, seorang teolog, wali quthub Sayyid Ahmad Badawi. Adapun dari kalangan perempuan, yaitu Karimah al-Marqaziyyah, ahli hadis, Rabi’ah al-Adawiyyah, dan Laila Majnun yang begitu masyhur di bidang sastra.

Ayat dalam surat al-Zumar yang dimaksud adalah:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِى اَّلذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْن لاَ يَعْلَمُوْنَ

Apakah sama? Mereka yang mengetahui dan mereka yang tidak mengetahui?” Tentu saja yang membedakan antara orang-orang yang mengetahui dan tidak adalah ilmu. Dalil naqli ini semakin menekankan, bahwa derajat manusia tidak ditentukan dari status perkawinan, melainkan ilmu serta adab yang dimilikinya.

Pertanyaannya, mengapa kita masih menganggap pernikahan sebagai satu-satunya tujuan? Sementara sebelum menjalankan kehidupan pernikahan dibutuhkan persiapan. Dalam bentuk ilmu, seperti ilmu pra-nikah dan kepengasuhan (parenting) yang memadai. Juga kesiapan mental, bekal, dan finansial yang cukup. Menyangkut hal ini fikih memandang, salah satu hal yang menyebabkan menikah menjadi makruh bahkan haram, yaitu ketidakmampuan untuk menafkahi keluarganya.

Pernikahan adalah hal yang suci dan sakral. Nabi sendiri yang menyatakan, al-nikahu sunnati, pernikahan itu adalah sunnahku (HR Ibnu Majah). Tidak sepatutnya ia dinodai dengan cara menjadikannya sebagai ajang perlombaan atau alat ledekan. Oleh karena kesakralannya, kita tidak bisa asal. Asal memilih pasangan. Asal tidak jomblo. Asal tidak diremehkan. Dengan demikian, pernikahan bukanlah tujuan akhir perempuan. Menjadi individu yang terus memiliki semangat belajar, berdaya, menjadi teladan, dan memberdayakan sesama seharusnya menjadi impian dan cita-cita sesungguhnya.[]

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.