Kaum santri adalah para pengkaji ajaran Islam. Mereka dibentuk oleh setandan teori beragama sekaligus digembleng secara langsung lewat praktik hidup berbasis keagamaan. Justru karena yang dipelajari adalah agama Islam, maka jangkauan kepedulian santri tidak boleh hanya sebatas urusan keagamaan atau peribadatan ritual semata. Pandangan serta elan perjuangan santri harus diedarkan pula pada aspek-aspek persoalan kehidupan yang konkret, baik di level individu maupun tataran sosial dan yang lebih luas lagi. Sebab, sejak permulaan Islam berkepentingan untuk memperbaiki tatanan kehidupan secara utuh.
Sudah barang tentu bahwa masyarakat kita bahkan warga dunia tak kekurangan masalah. Jari kaki tangan tak cukup untuk menghitungnya. Isu ketimpangan sosial, kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, kecerdasan buatan, eksploitasi sumber daya alam, politik amoral, kapitalisasi pendidikan, hingga penindasan kemanusiaan terus hilir mudik memadati kanal-kanal informasi harian. Sangat kompleks dan variatif. Perlu kerja kolektif lewat partisipasi lintas pihak untuk mengubah kondisi tersebut ke arah perbaikan.
Secara sosiologis, individu bisa menjadi agen yang membuat perubahan di masyarakat atau mereproduksi struktur sosial. Celah tersebut adalah ruang bagi santri baik secara individu maupun kolektif untuk mengadvokasi perubahan sosial di bawah suluh ajaran serta spirit Islam. Pertanyaan yang muncul kemudian, ajaran Islam yang bagaimana yang semestinya jadi panduan? Perubahan seperti apa yang diharapkan oleh Islam? Mengingat, ajaran dan spirit Islam nyatanya diinternalisasi serta diinterpretasi secara berbeda-beda oleh pengikutnya. Oknum yang melakukan aksi terorisme pun ada yang mengklaim sedang menunaikan kewajiban agama.
Untuk menjawab pertanyaan sekaligus paradoks tersebut, maka pintasan yang mungkin ditempuh adalah mendasarkan pilihan sikap hidup kita pada nilai-nilai luhur, norma dan etika mulia. Formulanya, apabila ada suatu sikap yang diklaim sebagai ajaran agama tapi melawan prinsip cinta kasih, maka itu tidak islami.
Rahmatan lil ‘alamin bukan saja misi bawaan yang menegaskan universalitas Islam, tapi juga jantung ajaran yang menjiwai tubuh Islam keseluruhan. Rahmat bagi semesta alam merupakan cinta kasih yang meniscayakan adanya keadilan, penghargaan kemanusiaan, kesetaraan, perlawanan pada yang tiran, kepedulian pada sesama, hingga penjagaan pada alam raya. Inilah pedoman hidup islami yang mesti jadi panduan.
Benang merah perjalanan para Nabi pun tidak lepas dari misi sosial-keagamaan yang transformatif. Nabi Muhammad SAW datang untuk memperbaiki kerusakan tatanan masyarakat Arab jahiliah, membangun sistem serta struktur masyarakat yang sehat dan madani. Predikat jahiliah di sini bukan berarti masyarakat Arab adalah orang-orang bodoh atau buta huruf. Jahiliah yang dilawan oleh Nabi Muhammad SAW adalah kondisi masyarakat yang terbelakang karena sarat dengan tatanan sosial yang amoral dan kotor.
Seruan untuk bertauhid menyembah Allah semata, dielaborasi oleh Nabi Muhammad lewat terobosan-terobosan yang mencengangkan bahkan membuat marah para elite Quraish. Beliau perlahan mengikis praktik kapitalisme dan monopoli ekonomi Quraish, mengajarkan penghormatan pada martabat manusia lewat ketentuan pembebasan budak, menunjukkan keberpihakan pada perempuan melalui hak waris hingga pembatasan jumlah istri di tengah budaya laki-laki Arab yang gemar mengawini perempuan tanpa batas di waktu yang sama.
Semangat perubahan sosial menjadi motif kuat dari pengutusan Nabi Muhammad SAW. Beliau memancangkan sistem nilai, norma, hingga hukum yang ditopang oleh penguasaan iman dan ilmu pengetahuan. Namun sejujurnya, spirit luhur perubahan itu rasanya belum cukup terefleksi dalam tubuh umat Islam sekarang. Animo beragama masyarakat masih relatif teralokasi pada wilayah peribadatan ritual-personal. Tentu hal ini tak salah dan tidak ada intensi pula untuk mendikotomikannya dengan praktik ibadah sosial.
Persoalannya adalah keterbatasan dalam memaknai “ibadah” itu sendiri, sehingga ada ketimpangan perwujudan antara yang personal dan sosial. Jika pun ada letupan semangat umat menyoal perbaikan peradaban, pembahasannya sering kali memilih jalur romantisasi sejarah kegemilangan Islam. Membaca ajaran dan sejarah Islam secara mendalam serta kritis untuk kepentingan melawan tirani dan melakukan transformasi sosial tampaknya belum menjadi gerakan arus utama.
Sikap peduli pada perubahan sosial memang bukan barang instan. Bagaimana dan di mana seseorang bertumbuh, lingkungan seperti apa yang dia tinggali, adakah tokoh atau buku yang menginspirasi dan menyulut semangatnya, hingga seberapa jauh dia bersinggungan dengan pahit getir yang ada di masyarakat, itu semua memberi porsi pengaruh pada nilai-nilai yang diyakininya. Nilai itu yang kemudian berdampak terhadap volume kepeduliannya pada masalah sosial kemasyarakatan.
Kaum santri adalah kelompok yang strategis bahkan bertanggung jawab untuk meramaikan arus kritis yang peduli perubahan sosial. Tempaan pengetahuan agama serta praktiknya selama di pesantren adalah modal dasar untuk diartikulasi menjadi formula gagasan serta aktivisme hidup. Pesantren sendiri ibarat miniatur kehidupan bermasyarakat. Santri secara kontinu dikenalkan pada etika, aturan dan hukuman, ilmu pengetahuan, skil berorganisasi, praktik berpolitik sederhana, hingga pengabdian sosial.
Berangkat dari privilese tersebut, santri merupakan komunitas yang layak diharapkan menjadi motor perubahan sosial yang dijiwai pesan murni Islam. Yaitu cinta kasih dan keadilan, serta kesetiaan pada nilai juga etika. Membela yang lemah dan tertindas adalah ibadah. Menjaga alam untuk mengurangi kerusakan lingkungan adalah ibadah. Melawan kezaliman kaum elite juga ibadah dan tugas agama. Ibadah perlu dimaknai lebih luwes dan eksploratif mencakup amalan apapun yang diupayakan untuk kepentingan publik.
Bolehlah kita berimajinasi, di mana berbagai masalah sosial peradaban yang melilit masyarakat saat ini dapat dijawab oleh gerakan-gerakan sosial reformis-progresif yang menggenggam spirit profetik dan Islam, tapi juga tetap memerhatikan runut logika dan pendekatan yang tepat untuk tiap persoalannya. Wallahu a’lam. []