Tragedi silih berganti terjadi di tanah Palestina. Terlampau sulit mendefinisikan penderitaan bangsa Palestina sekaligus menarasikan kebengisan Israel. Rezim Zionis ini bahkan melebarkan serangan ke Yordania serta Suriah. Bejatnya, mereka yang adidaya di dunia berlaku sesuka bahkan terus mengirim suplai senjata ke Israel. Menolak seluruh dalil kemanusiaan, ketentuan hukum, hingga panggilan nurani yang gemanya hadir dari sana-sini. Tujuan strategis Zionis memang menyiksa para pejuang Palestina agar tersudut dan menyerah. Situasi yang begitu meletihkan batin dan membuat frustrasi, tapi Tuhan bilang bahwa manusia terlarang putus asa. Pasti ada harapan dalam janji Tuhan. Pada gilirannya Palestina akan merdeka.
Operasi 7 Oktober Hamas yang diikuti agresi brutal Israel pada Palestina selama lebih dari satu tahun terakhir ini bukanlah peristiwa yang berdiri tunggal. Seperti ungkapan Sekjen PBB, Antonio Guterres, bahwa “Hamas attack did not happen in a vacum”. Ada rangkaian sejarah tebal tentang pembantaian, penggusuran hunian, pengusiran paksa, perampasan hak, pendudukan Israel atas tanah bangsa Palestina yang masih berlangsung hingga sekarang. Maka dari itu, salah besar memenggal perlawanan 7 Oktober dari pertalian sejarah pendudukan panjang Israel di belakangnya.
Apa yang dilakukan Hamas adalah akumulasi dari puluhan tahun penindasan dan kolonialisme sistematis Israel yang disokong kekuatan-kekuatan besar dunia. Sudah jadi rahasia umum jika negara-negara Barat seperti Inggris, Perancis, Jerman, terutama Amerika Serikat merupakan poros pendukung Israel nomor wahid. Mereka yang duduk di Washington seenaknya mengonversi miliaran dolar uang pajak rakyat AS menjadi amunisi, bom, drone, dan aneka senjata yang diberikan kepada Israel untuk menghabisi nyawa orang Palestina. Hasrat berkuasa dan menindas itu juga diwujudkan Barat dalam berbagai bantuan diplomatik, dukungan politik, hingga propaganda media untuk mengokohkan Israel.
Manusia dengan nurani waras tidak akan sanggup mencerna brutalitas rezim Zionis. Lebih dari 42 ribu orang Palestina kehilangan nyawa dalam genosida Israel. Korban jiwa, anak-anak yang terluka, jutaan pengungsi yang menderita hanyalah dianggap data bagi Zionis. Sejak awal mereka paham, bahwa tidak ada cara lain untuk membangun negara rasis Israel kecuali mengusir dan mendehumanisasi orang Palestina yang dibungkus dalam kemasan “operasi menghabisi Hamas”.
Sebetulnya Israel tengah mengasingkan diri, menggali kuburnya sendiri di tengah peradaban manusia lewat serangkaian penyangkalan serta penolakannya pada seluruh norma kemanusiaan yang berlaku. Pada titik frustrasi menghadapi brutalitas Israel serta para raksasa dunia yang tumpul nurani dan bersikeras membela Israel, kita masih memiliki “diri” dengan kesadaran untuk melawan yang tiran. Harapan itu ada pada setiap diri kita.
Masyarakat dengan segala pergolakan batinnya yang muak pada penindasan dan ketidakadilan akan menjelma menjadi kekuatan besar perlawanan manakala dikelola secara taktis. Demo besar-besaran yang terus terjadi di berbagai belahan dunia menuntut Israel dihukum dan menyudahi serangannya merupakan sinyal awal kehancuran Zionis yang penting ditindaklanjuti. Momentum ini harus dijaga dan dilipatgandakan di mana-mana untuk terus menekan poros-poros yang terlibat mendukung genosida Israel di Jalur Gaza, Palestina. Sebab diam berarti terlibat.
Formula perlawanan harus dimatangkan dan diperluas di banyak area yang bisa langsung menyasar titik-titik vital tubuh rezim Zionis, antara lain ekonomi serta pemahaman dan persepsi publik. Israel khawatir jika kejahatannya berangsur disadari dan citranya hancur di mata global. Edukasi masyarakat mengenai sejarah berdarah Palestina sebab kezaliman Israel harus mengisi alam pikir warga dunia agar sadar siapa korban dan siapa penjahat sesungguhnya. Kemudian, pemahaman masyarakat yang tepat atas duduk persoalan, akan menjadi dasar untuk secara sadar menolak kerja sama ekonomi bahkan dalam skala terkecil sekalipun dengan memboikot produk-produk yang mendanai genosida Israel di Palestina.
Dalam sejarah, perlawanan sipil tanpa kekerasan telah mampu menjadi gerakan transformatif yang bisa mengubah tatanan. Tumbangnya rezim Apartheid di Afrika Selatan misalnya. Memang tidak sebentar untuk mencapainya. Tapi preseden itu memberi kita optimisme bahwa tidak ada yang mustahil. Kita diberi-Nya modal keyakinan, akal pikiran, dan usaha. Itulah mengapa Tuhan melarang keras manusia berpangku tangan dan berputus asa. []