Bangsa Indonesia sedang mengalami turbulensi hebat. Pada titik ini sense of crisis menjadi perihal yang perlu sekali kita asah. Presiden Jokowi yang berulang kali melempar seruan menyangkut “sense of crisis”, ironisnya menjadi sumber krisis hukum dan demokasi nomor wahid bagi Indonesia kini. Bangsa kita sedang diacak-acak secara gamblang dan tanpa malu-malu oleh gerombolan bandit pengendali tuas kekuasaan. Kita menghadapi “perang” terbuka dengan kekuatan penguasa yang tiran, rakus, sombong, dan menganggap masyarakatnya bisa terus dibodohi. Tidak ada pilihan lain bagi warga selain mengatur barisan dan saling mengingatkan untuk melawan si zalim.
Gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah sejak Kamis (22/8/2024) lalu merupakan wujud akumulasi kemuakan rakyat yang secara konsisten dipertontonkan akrobat politik kotor oleh elite. RUU Pilkada yang didemo secara masif kemarin adalah satu potong bagian dari rangkaian rencana jahat yang telah lebih dulu dieksekusi, bahkan sejak awal periode kedua Jokowi menjabat. Demo akbar bertajuk #ReformasiDikorupsi menolak berbagai RUU bermasalah pun terjadi masif pada 2019 silam. Tuntutan rakyat nyatanya hanya dibalas basa-basi lip service, dan persekongkolan jahat mereka pun berlanjut, termasuk sampai lahirnya putusan 90 MK.
Berbagai unsur yang mendorong rasa muak dan tetap curiga pada pemerintah tampaknya terakomodir di momen menggugat RUU Pilkada kali ini. Selain aneh dan manipulatif, RUU tersebut membahas isu yang terbilang populis, sehingga lebih mudah terkoneksi dan teramplifikasi di masyarakat, yang muatannya sarat kepentingan untuk meloloskan Kaesang, putra ketiga Jokowi, jadi calon kepala daerah. Momentum kian matang dan kemarahan publik menguat di tengah sorotan wacana dinasti politik, raja jawa, isu private jet, hingga gaya hidup hedon keluarga Jokowi, yang dibumbui penyebutan Mulyono (nama kecil Jokowi).
Sebelum ini, rezim Jokowi telah meninggalkan trauma berat akibat pembajakan konstitusi yang memuluskan putra pertamanya, Gibran, menjadi Wakil Presiden terpilih pada Pemilu 2024. Rakyat tak mau lagi keculasan serupa terjadi. Seruan “Panggilan Darurat” berlatar biru di media sosial agar warga sipil melawan, pada gilirannya berhasil menggerakkan massa dan menghentikan pengesahan RUU Pilkada tadi. Sebuah kemenangan kecil yang patut dimaknai sebagai monumen pengingat bahwa sesungguhnya masyarakat kuat dan punya daya. Namun ini baru awal. Perlawanan terhadap ragam bentuk penindasan merupakan perjalanan panjang. Dalam hal ini, pemuda kerap kali diharapkan menjadi lokomotif yang memimpin trajektori perbaikan tersebut.
Bibit sejarah Indonesia sendiri adalah sejarah kaum muda. Pemuda yang berpikir, yang menolak status quo, yang berilmu pengetahuan, yang sadar untuk bersatu, yang bergerak melawan ketidakadilan dan penindasan. Setidaknya, demikian teladan yang diwariskan angkatan pergerakan nasional yang kemudian melahirkan “Sumpah Pemuda”, sebuah memoar penting yang mengonsolidasi ide persatuan, memupuk kesadaran nasional, hingga mengantarkan kita pada kemerdekaan.
Dalam tradisi religius, menyiapkan diri dan berjuang melawan kekuatan jahat nan menindas adalah mandat ketuhanan yang diwahyukan melalui Nabi Muhammad SAW. Suatu malam, di perjalanan pulang dari perenungannya di Gua Hira, Nabi Muhammad SAW seketika gemetar ketakutan saat malaikat dalam wujud tinggi-besar memanggil dan menghadangngnya di jalan. Nabi Muhammad SAW pun bergegas pulang dan sesampainya di rumah meminta Khadijah, sang istri, untuk menyelimutinya. Kepada Nabi Muhammad SAW, kemudian Allah menurunkan wahyu, “Wahai orang yang berselimut. Bangun lalu berilah peringatan” [74: 1-2].
Lewat ayat itu, Allah menguatkan mental utusan-Nya agar tidak perlu takut pada sosok malaikat tadi dan agar segera bersiap untuk menunaikan misi dakwah kepada umat manusia. “Qum” (bangun) adalah tugas kebangsaan kita hari ini. Mari kita sadar situasi, mau memahami peta masalah bangsa, kemudian mengorganisir barisan sipil yang solid untuk mengawasi pemerintahan. Menjadi beranilah karena keberanian itu menular dan Tuhan pun mengamanatkannya.
Unjuk rasa, aksi massa, protes-protes secara digital, aneka pertunjukan seni, hingga mengunggah gambar biru bertulis “Peringatan Darurat” merupakan sepenggal terjemahan dari seruan ayat selanjutnya, “fa andzir” (berilah peringatan). Kita boleh secara bebas mengembangkan kreativitas perlawanan sesuai dengan kesanggupan masing-masing. Peringatan ditujukan untuk menyebarkan kewaspadaan serta menumbuhkan sense of crisis masyarakat bahwa Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja, ia sakit.
Adalah tugas kita merawat kegelisahan itu menjadi perlawanan yang terorganisir, terpimpin, dan berlipat ganda yang ditopang tradisi keilmuan. Mohammad Hatta mengingatkan, “Pemuda Indonesia adalah suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia, yang menderita dan berharap. Ia adalah juru bicara perasaan rakyat, ia adalah jiwanya yang menggelora, yang memberi warna kepada masa datang.”
Pemuda bukan sebatas kelompok usia. Pemuda merupakan kelompok orang yang bergerak secara aktif untuk kemaslahatan masyarakat. Abdul Rivai dalam majalah Bintang Hindia, memaknai “kaum muda” sebagai siapapun orang Hindia baik muda maupun tua yang tak mau lagi mengikuti aturan kuno. Namun sebaliknya, kaum muda adalah siapapun yang bersemangat mencapai rasa percaya diri melalui ilmu dan pengetahuan.
Agaknya definisi tersebut adalah upaya merefleksikan karakteristik perjuangan pemuda angkatan pergerakan nasional yang identik dengan intelektualisme, intelegensi, dan perlawanan. Ilmu dan usaha-usaha berpikir lantas menjadi unsur yang rapat pada jati diri kaum muda. Kalangan semacam itu diistilahkan oleh Abdul Rivai sebagai “bangsawan pikiran”.
Pengetahuan akan menunjukkan apa itu penindasan dan bagaimana makna kebebasan, akan memerlihatkan seperti apa taktik busuk penguasa tiran, akan memperjelas perbedaan pemerintahan yang demokratis dan otoriter, dan seterusnya. Sebab itu, berpengetahuan adalah syarat mutlak untuk merancang barisan perlawanan. Kita tak boleh lengah. Masyarakat sipil harus berdaya, berbudaya kritis, serta saling menjaga laju bangsa.
Modus operandi penguasa akan terus bervariasi untuk menyamarkan rencana jahatnya. Belajar dari rangkaian kelicikan terpola dan masif di banyak lini kebijakan yang dijalankan rezim Jokowi, nafas perjuangan kita mesti panjang dan kolektivitas harus terus diperkuat. Perlawanan adalah cara mengasihi diri sendiri dan sesama untuk bisa keluar dari jerat ketidakadilan. Jika toh “kalah”, dengan melawan kita telah memenangkan mandat Tuhan. Bagaimanapun, kebenaran akan selalu menemukan jalannya. Yang tamak akan banyak kehilangan dan mereka yang sombong bakal jatuh dipermalukan. Wallahu a’lam. []