Kala Pancasila Meradang

KolomKala Pancasila Meradang

Jika “Pancasila” adalah entitas hidup, ia pasti kesal pada orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai juru bicaranya, tapi menunjukkan sikap yang malah berjarak jauh dari jiwa Pancasila. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), lembaga yang terdengar gagah dan filosofis itu ramai digugat masyarakat karena melarang para Paskibraka terpilih mengenakan jilbab saat pengukuhan dan pengibaran bendera pada peringatan HUT ke-79 RI. Dalihnya adalah untuk mengangkat nilai-nilai keseragaman. Ironis, keragaman ditundukkan demi keseragaman dangkal yang menindas dan diskriminatif.

Baik pelarangan memakai jilbab maupun pemaksaan untuk mengenakannya sama-sama merupakan pelanggaran pada hak seseorang dalam menjalankan keyakinannya. Dan jelas merupakan pelanggaran HAM. Kepala BPIP, Yudian Wahyudi, mengklaim bahwa orang-orang yang bersangkutan secara sukarela melepas jilbab saat bertugas dan mereka telah bertanda tangan di bawah materai. Pernyataan tersebut sangat problematis dan seolah kian menguatkan adanya unsur pemaksaan yang dikemas lewat relasi kuasa.

Salah satu unsur dari relasi kuasa adalah adanya otoritas di antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu hubungan. Dalam hal ini, BPIP punya otoritas legalistik sebagai lembaga yang menaungi pembinaan Paskibraka. Aturan-aturan menyangkut pelarangan jilbab itulah wujud dari otoritas legal (hukum) BPIP yang mesti dipatuhi oleh para petugas Paskibraka. Mau tidak mau, jika tetap ingin mengambil tugas kenegaraan yang prestisius tersebut, maka keyakinan dan kemerdekaan mereka untuk mengenakan jilbablah yang dikorbankan.

Tidak butuh argumen rumit untuk mematahkan keputusan BPIP ini. Konstitusi dan Pancasila jelas memberi kebebasan kita untuk memeluk dan mengamalkan ajaran agama masing-masing. Ketentuan tersebut minimalnya tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 ayat (2). Sebab itu, pemaksaan dalam bentuk apapun tidaklah pantas dan tak bisa dibenarkan. Lembaga selevel BPIP seharusnya paling mengerti pengamalan Pancasila sebagai panduan hidup dan jiwa hidup bangsa yang demikian plural.

Baca Juga  Belajar Toleransi dari Kang Jalal

Sejak awal inisiasi pendiriannya, bangsa ini telah mengupayakan sikap saling menghormati satu sama lain di tengah alotnya perbedaan serta ego masing-masing kelompok. Lewat salah satu presentasinya tentang prinsip Ketuhanan yang dikutip oleh Yudi Latif dalam Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Sukarno menguraikan:

“Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi, marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan, hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!”

Tanpa mengesampingkan andil berbagai pihak dalam penyusunannya, boleh dibilang Sukarno adalah dokumen hidup dari Pancasila. Kesadaran akan kebinekaan agama sepaket dengan keleluasaan cara menyembah Tuhan adalah mekanisme kerja sila pertama yang nyata ditegaskan oleh Sukarno. Haram bagi kita menjadi kaum yang egois.

Pancasila, melalui Sukarno-Hatta dan para jenius pendiri bangsa lain, kiranya akan marah besar melihat aturan konyol yang dirilis oleh BPIP di tengah selamatan usia kemerdekaan Indonesia yang ke-79. Memeringati kemerdekaan semestinya adalah momentum merayakan perbedaan dan kebebasan. Ironis sekali jika gebyar upacara kemerdekaan didemonstrasikan oleh mereka yang direbut hak mengamalkan ajaran agamanya. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.