Potensi Bahaya Aliansi Negara dan Agama(wan)

KolomPotensi Bahaya Aliansi Negara dan Agama(wan)

Penulis yakin, kita sama-sama dibuat terengah dan jengkel menyaksikan pergeseran beruntun isu politik Tanah Air. Begitu lincah dan mencurigakan. Dari lusinan isu, keputusan pemerintah memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada ormas keagamaan menjadi salah satu kebijakan yang mengundang kritik deras dari lintas pihak, terutama dari kalangan pegiat lingkungan hidup dan akademisi. Tambang dikenal sebagai industri yang tidak ramah dan menyimpan segudang masalah lingkungan serta sosial.

Keputusan tadi terangkum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 25 tahun 2024 tentang Perubahan PP 96/2021 mengenai Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara. Sejauh ini, baru Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menyambut baik aturan tersebut dan terdepan dalam mengajukan izin. Sementara ormas keagamaan lain masih mengkajinya bahkan banyak yang tegas menolak. Sikap PBNU ini sangatlah disayangkan dan mengkhawatirkan. Kritik terhadap PBNU bahkan datang dari sejumlah kalangan NU sendiri.

Begitu mendengar kabar pemerintah memberikan WIUPK kepada ormas keagamaan tersebut, yang langsung teringat oleh penulis adalah tesis seorang cendekiawan ilmu politik kenamaan berkebangsaan Turki, Ahmet T Kuru, dalam karyanya Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan. Bahwa, sejarah persekutuan antara negara-ulama telah banyak berkontribusi pada masalah otoritarianisme yang kemudian menghambat kreativitas peradaban dunia Islam sejak sekitar abad ke-11. Dengan kata lain, menurut analisis Kuru, otoritarianisme penguasa dan ketertinggalan multi bidang di dunia Islam sampai saat ini penyebab utamanya adalah persekutuan negara dan agama(wan).

Relasi antara kelas religius dan kelas politik otoriter itu biasanya dibarengi dengan peminggiran kelas intelektual yang kritis. Siapapun yang nekat mengkritik akan menghadapi peminggiran bahkan persekusi. Ulama penggagas mazhab fikih pada rentang abad ke-8 dan ke-9 silam pernah menolak menjadi abdi negara atau bagian dari penguasa untuk memertahankan independensi mereka. Imam Abu Hanifah misalnya, pernah dihukum cambuk dan dipenjara karena menolak tawaran penguasa untuk menjadi hakim (qadhi).

Potensi bahaya pertama yang perlu diwaspadai adalah adanya persekutuan dua kekuatan besar dan mengikat, yakni antara negara dan agama(wan) itu sendiri. Sebab, secara organik “negara” berikut segala perangkatnya punya kecenderungan otoriter dan menindas. Semakin bahaya ketika dimensi etik dilucuti dan tidak dijadikan pertimbangan dalam menjalankan roda kekuasaan. Di sisi lain, agama adalah kekuatan besar yang menjadi sumber keyakinan dan jalan hidup umat yang ditransfer oleh otoritas ulama. Artinya, agama(wan) adalah rujukan masyarakat dalam mencari petunjuk beragama.

Sementara itu, agama memiliki posisi vital dan diperhitungkan di masyarakat kita. Indonesia bahkan dinobatkan sebagai negara paling religius di Asia Pasifik, di mana lebih dari 83% penduduknya meyakini bahwa agama adalah suatu hal yang penting. Banyak keputusan masyarakat kita yang didasarkan pada paham keagamaan yang bersumber dari ulama yang diikutinya. Fatwa, dalil, ucapan dan sikap tokoh agama adalah perangkat strategis untuk mengonsolidasi pengambilan sikap umat atas persoalan tertentu.

Kekuatan-kekuatan besar negara-agama(wan) yang terkonsentrasi semacam itu adalah lahan subur otoritarianisme. Adagium “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” merupakan alarm peringatan sejarah yang penting diwaspadai pengulangannya. Bahaya kedua, dalam perspektif demokrasi, kontrol terhadap penguasa akan melemah karena fungsi pengawasan sipil—dalam hal ini ormas—menumpul akibat keterlibatannya dalam pusaran kuasa. Kelas religius sebagai pemangku moral seharusnya mengambil jarak dari kekuasaan untuk memastikan laju pemerintahan yang bersih melalui mekanisme kritik dan pengawasan.

Persekutuan negara-agama(wan) ini secara luas berpotensi memperburuk kehidupan demokrasi Indonesia yang memang sedang rapuh. Bentuk-bentuk formal demokrasi memang ada, namun nyaris tanpa makna. Demokrasi kita dihabisi diam-diam dari dalam. Pendangkalan tersembunyi seperti ini sangat berbahaya karena aspek kesadaran masyarakatlah yang dimanipulasi. Masyarakat seolah ditempatkan dalam zona abu-abu agar tidak paham bahwa mereka sebetulnya tengah ditindas dan demokrasi sedang ditikam dalam. Yang kritis terancam diskriminasi dan kanal-kanal untuk bersuara pun berangsur dibatasi. Membahas nilai dan etika di-framing sebagai pembicaraan abstrak tanpa guna.

Baca Juga  Moderasi Islam ala Gus Dur

Apa yang terjadi dalam tatanan politik-pemerintahan kita nampaknya tengah bergerak dalam lanskap semacam itu. Di mana kelas politik dan kelas religius menjalin hubungan mesra dan tampak mutualistik. Setidaknya dari kasus pemberian konsesi ini. Mengasosiasikan sikap PBNU—yang menyambut hangat WIUPK—dengan ide politik balas budi Presiden Jokowi kepada ormas tersebut menjadi sangat masuk akal. Karena kuat dugaan bahwa PBNU telah berjasa membantu Jokowi dalam memenangkan putranya, Gibran, dalam kontestasi Pilpres 2024 lalu.  

Dalam konteks Indonesia, ormas keagamaan adalah mitra politik strategis yang jika bisa dipegang kendalinya, maka akan mudah untuk mengontrol umat yang dinaunginya dan meredam kritisisme mereka. Apalagi dalam kultur NU misalnya dikenal ajaran untuk “sam’an wa tha’atan”, yakni siap mendengar dan mematuhi perintah (dawuh) kiai. Bahkan mempertanyakan “dawuh” kiai acap kali dianggap sebagai ketidaksopanan. Bukan tidak mungkin daya pengaruh agamawan dengan otoritas keulamaannya bakal digunakan untuk memobilisasi umat demi kepentingan penguasa.

Lewat analisisnya, Kuru menegaskan bahwa beragam bentuk persekutuan antara penguasa dan ulama telah membantu memperkuat rezim otoriter. Negara otoriter, terlepas didominasi sekuleris ataupun kelompok agama, pada gilirannya akan menyulut konflik sosial, kekerasan, bahkan terorisme, sebagai akibat berbagai ketimpangan serta ketidakadilan yang diproduksi rezim yang direstui kelas-kelas pendukungnya.

Keterlibatan ormas keagamaan dalam industri ekstraktif adalah ironi besar, terlebih di tengah agenda global transisi menuju energi hijau. Tambang dikenal sebagai industri kotor yang berwatak merusak lingkungan dan hampir selalu mengeksklusi masyarakat setempat dari ruang hidupnya. Bukan hanya kehilangan sumber penghidupan dan ruang hidup yang layak, lubang bekas galian tambang berulang kali memakan korban jiwa akibat minimnya tanggung jawab perusahaan. Di Kalimantan Timur misalnya, 49 nyawa telah melayang akibat lubang bekas tambang yang tidak diurus, dan kebanyakan adalah anak-anak.

Idealnya, ormas keagamaan hadir untuk mengadvokasi hak-hak warga yang tertindas dan terdampak proyek tambang serta memerjuangkan pemulihan lingkungan, alih-alih bergabung dalam jajaran korporasi yang rentan bersengketa dengan akar rumput. Ormas keagamaan terancam kehilangan kredibilitas dan legitimasi moral dalam menuntun umat. Sangat mungkin mereka akan berhadap-hadapan dengan umatnya sendiri ataupun umat agama lain.

Praktik eksploitasi alam yang destruktif akan makin sulit dilawan karena dijustifikasi dengan tujuan-tujuan suci oleh kelas religius. Bukan tidak mungkin bahwa suatu hari melawan industri pertambangan dianggap menentang perintah ulama atau agama. Kuru menegaskan bahwa ada sejarah panjang di balik otoritarianisme di negara-negara mayoritas Muslim. Sejarah itu mengacu pada marginalisasi kelompok intelektual tertentu (kritis) oleh persekutuan negara-ulama.

Penulis melihat, Indonesia dalam spektrum dan bentuknya tersendiri sedang dicengkeram otoritarianisme. Yang ciri utamanya adalah penekanan kekuasaan pada negara atau pribadi tertentu, pemerintahan dijalankan sesuai kehendaknya, sementara derajat kebebasan individu diatur dalam batas kemauan penguasa.

Demokrasi kita sekarang yang diserang bertubi-tubi di banyak lini adalah wajah dari otoritarianisme yang hendak dilanggengkan penguasa. Mengajak ormas keagamaan berkiprah di luar wilayahnya adalah titik strategis untuk menambatkan jangkar dan tentakel kontrol guna memperkokoh kekuasaan. Penulis kira negeri ini sedang ditopang oleh “REZIM POKOKNYA”. Tentu kita amat berharap, negara lekas bertobat dan ormas keagamaan segera kembali pada khitahnya. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.