Ada kesalahpahaman tajam di tengah tragedi yang menimpa bangsa Palestina saat ini. Di mana sikap membela Palestina dan mengkritik Israel diartikan sebagai kebencian terhadap Yahudi (antisemitisme). Pemerintah negara-negara Barat melempar bola api itu secara sengaja untuk memanipulasi persepsi publik agar tetap menempatkan Israel sebagai “korban yang berhak membela diri”. Arus balik besar-besaran dari para mahasiswa hingga profesor di kampus-kampus ternama Amerika, Inggris, dan sejumlah negara Barat lain yang menentang persekutuan jahat Zionisme membuat pemerintahan sekutu Israel itu dihantui kekhawatiran.
Para demonstran pro-Palestina di kampus-kampus Barat tersebut pun dituduh sebagai antisemit. Aksi damai mereka dinilai memancarkan kebencian terhadap Yahudi. Tak kurang dari 2500 mahasiswa dari seluruh penjuru Amerika ditangkap. Kritik terhadap genosida Israel secara culas dibelokkan menjadi kebencian sektarian oleh pemerintah Barat. Antisemitisme dimanfaatkan oleh para pembela Israel untuk membungkam kritik terhadap kejahatan rezim Zionis Israel.
Perdana Menteri Inggris, Rishi Sunak serta menteri pendidikannya, Gillian Keegan, secara kompak menyeru bahwa antisemitisme tak akan ditoleransi dan mereka tak akan berdiam diri karena pelajar Yahudi menderita. Gwyn Daniel, seorang penulis Inggris sekaligus aktivis kemanusiaan di Gaza, dalam middleeasteye.net (17/5/2024) menegaskannya sebagai kepedulian palsu pemerintah Inggris menyangkut keselamatan orang-orang Yahudi di Inggris yang dirancang untuk membendung kritik atas dukungan Inggris terhadap genosida Israel. Kepalsuan pemerintah tersebut hanya akan meningkatkan antisemitisme itu sendiri.
Standar ganda Barat begitu menggelikan dan memuakkan. Tentu bukan bermaksud mengecilkan penderitaan siapapun, termasuk Yahudi korban asli antisemitisme. Kita menyaksikan begitu jelas bagaimana keselamatan Yahudi demikian diproteksi Barat. Dalam bahasa lain, “sedikit saja kau gores orang Yahudi, kau akan tanggung akibatnya”. Sementara itu, puluhan ribu manusia Gaza meregang nyawa, jumlah korban cidera semakin membengkak, orang yang kelaparan dan kehilangan rumah terus meningkat akibat bombardir Israel sama sekali tidak masuk dalam kalkulasi standar penderitaan yang harus dicegah.
Demikian halnya dengan Amerika, di tengah gelombang aksi mahasiswa pro-Palestina yang terus menguat, parlemen setempat bergegas meloloskan RUU antisemitisme yang memperluas definisi dari antisemitisme. UU Kesadaran Antisemitisme itu diklaim untuk penegakan hukum melawan diskriminasi terhadap Yahudi. Aturan tersebut tak lain adalah tipuan untuk memaksakan supremasi Israel sekaligus sebuah instrumen untuk mengkriminalisasi kritik terhadap suatu negara, yang mana jelas melanggar hak kebebasan bersuara dan berpendapat seorang warga.
Koalisi Israel dan Barat kehabisan cara untuk menutupi kebusukan Israel dan borok perilaku kolektif mereka, sehingga yang dilakukan adalah membungkam protes gerakan pro-Palestina dengan menangkapi para demonstran dan manipulasi hukum untuk menekan siapapun yang melawan jalan kebijakan pemilik kuasa.
Penting secara jernih membedakan antara antisemitisme dan sikap kritis pada rezim Zionis untuk menangkal konspirasi jahat persekutuan Zionis. Pertama, antisemitisme adalah sebentuk prasangka kuno menyangkut kebencian rasial terhadap Yahudi. Semacam rasa benci kepada seorang Yahudi karena ia Yahudi. Sikap demikian jelas salah dan tak boleh dikembangkan. Sementara mengkritik Zionis Israel merupakan kutukan terhadap ideologi politik jagal mereka yang telah mengalirkan sungai darah di Palestina. Mengkritik dan mengecam Zionis Israel sama sekali berbeda dengan membenci Yahudi.
Kedua, yang perlu dicermati adalah selisih makna di antara Yahudi, Yudaisme, dan Zionisme. Yahudi merujuk pada etnis, suku bangsa, atau kelompok masyarakat. Sementara Yudaisme merupakan agama yang dipeluk oleh kebanyakan orang Yahudi. Adapun Zionisme mengacu pada suatu gerakan politik-ideologis yang memprakarsai berdirinya negara bangsa Yahudi di tanah Palestina.
Betul bahwa memang ada orang Yahudi penganut Zionisme. Namun hal ini tak lantas menyamakan Yahudi dengan Zionisme. Irisan inilah yang diselewengkan oleh Zionis untuk menggeneralisir keduanya. Pengaburan makna tersebut dijadikan tameng agar Zionis Israel seolah selalu jadi ‘korban’ yang dipersalahkan banyak pihak, lalu mendapat simpati publik, dan bisa lolos dari tanggung jawab hukum serta kemanusiaan.
Yang meningkatkan antisemitisme bukanlah gelombang kritik mahasiswa pada Israel agar genosida di Palestina dihentikan, melainkan agresi konsisten Israel di Palestina tujuh bulan terakhir ini yang ditopang dukungan para sekutu Baratnya. Merekalah teroris sebenarnya yang juga memperkeruh persoalan antisemitisme global. Ada hubungan langsung antara tindakan militer Israel dengan antisemitisme yang menimpa orang Yahudi. Sebagaimana laporan Community Security Trust (CST) yang dikutip Gwyn, bahwa lonjakan antisemitisme sebanding dengan serangan Israel di Gaza.
Kesimpulan CST pada tahun 2021 mengungkapkan bahwa peristiwa pemicu di Timur Tengah berdampak pada kelompok Yahudi diaspora, adapun peningkatan antisemitisme yang dilaporkan di Inggris menunjukkan hal tersebut. Saat klaim mereka sebagai korban semakin tidak jelas dan lumpuh legitimasi, para pembela Israel memanipulasi ketakutan orang-orang Yahudi diaspora untuk membungkam para pengkritik Israel.
Kita berkejaran dengan nyawa dan darah orang Palestina. Yang kita bela adalah kemanusiaan utuh. Siapapun yang tertindas harus kita bela sejak dalam pikiran. Tentu tidak dibenarkan membenci Yahudi karena kebiadaban Zionis Israel terhadap bangsa Palestina, tidak boleh pula membenci seorang Yahudi karena keyahudiannya. Mendukung Palestina tidak sama dengan membenci Yahudi. Jelas yang kita kutuk adalah arogansi rezim Zionis beserta kroninya yang tetap memertahankan genosida dan membiarkan bencana kemanusiaan terus meluas di Palestina. Wallahu a’lam. []