Membersihkan Tabu Menstruasi

KolomMembersihkan Tabu Menstruasi

Najis dan kotor adalah kata cukup diskriminatif, dogmatis, dan sangat kuno yang seharusnya tidak digunakan untuk menggambarkan wanita yang sedang menstruasi. Namun sayangnya istilah itu yang sering dieksploitasi oleh wacana tradisional, ketika merujuk pada wanita yang sedang menstruasi. Pilihan bahasa seperti ini memiliki efek merembet serius, yang mengarah pada sentimen rasa malu dan kurangnya keterbukaan ketika membahas wanita, menstruasi, dan ibadah. Pada muaranya, tabu telah membuat kepentingan wanita kurang diperhatikan.

Tabu menstruasi berasal tradisi pra-Islam, terutama dari tradisi Yahudi yang menganggap menstruasi sebagai hukuman, aib, kutukan, dan kotoran yang harus ditanggung perempuan. Mitos-mitos ini terserap kedalam sebagian literatur Islam klasik yang berkembang di tengah arus akulturasi budaya agama abad pertengahan (Haggai Mazuz, Midrashic Influence on Islamic Folklore: The Case of Menstruation). Di dalam khazanah tafsir misalnya, mufassir klasik kebanyakan menafsirkan adza, dalam QS. Al-Baqarah: 222 yang membahas haid, sebagai qadzar yang artinya kotoran. 

Tafsiran ini memperkuat mitos bahwa wanita yang sedang menstruasi itu dalam keadaan kotor. Kepercayaan klasik ini, diturunkan dari generasi ke generasi dan terus memperkuat stigma negatif tentang kondisi alami perempuan. Akibatnya banyak wanita Muslim, terutama remaja, tidak benar-benar berminat memahami tubuh mereka. Bagaimanapun, Stigma menstruasi menyakiti wanita. Hal ini telah melanggengkan praktik misoginis di sekitar tubuh perempuan, dan kita harus berusaha untuk memperbaiki kesalahan ini.

Sudah saatnya kita meninggalkan istilah-istilah toxic yang berkonotasi negatif ketika membahas wanita dan menstruasi. Nabi SAW tidak pernah menganggap wanita haid itu sedang kotor, sebaliknya, tindakan Nabi menunjukkan bahwa seorang wanita yang sedang menstruasi mampu terlibat dalam aspek kehidupan normal. Pengecualian hanya berlaku bagi aktivitas berbahaya atau berpotensi menyakiti wanita haid, seperti hubungan seksual dan thawaf yang melelahkan. Hal itu demi kebaikan wanita sendiri, bukan karena kekotoran.

Tafsiran bahwa haid adalah kotoran perlahan-lahan sudah tidak relevan lagi karena kesadaran manusia akan praktik diskriminatif terhadap perempuan. Dalam khazanah tafsir al-Quran kontemporer, di antaranya, banyak ditemukan alternatif penafsiran yang mengeliminasi tabu menstruasi. Quraish Shihab danan Thahir Ibnu Asyur adalah dua mufassir kontemporer yang tidak mengartikan adza sebagai kotoran, dalam ayat yang membahas menstruasi (QS. al-Baqarah: 222).  Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu adza”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci… (QS. Al-Baqarah: 222)

Kedua mufassir karismatik ini mengartikan adza dalam ayat tersebut sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan baik bagi perempuan maupun laki-laki. Jadi, ayat tersebut mengandung larangan mendekati wanita haid bukan karena kotor, melainkan untuk menjaga kesehatan reproduksi wanita dan pria. Penafsiran ini lebih ramah, relevan, dan tidak menimbulkan persepsi wanita haid sumber gangguan, subjek yang pasif, dan kotor. (Halya Millati, The Reciprocal Paradigm of Tafsir al-Misbah and Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir on Surah al-Baqarah verse 222 about Menstruation Blood)

Selama ini, pedoman bagi Muslimah haid sering dibaca seperti kumpulan larangan ketat, seperti wanita tidak boleh shalat, menyentuh Al-Qur’an, atau masuk masjid saat haid karena wanita sedang kotor. Secara linguistik, menggunakan kata-kata seperti ‘dilarang atau tidak diijinkan’ bisa menjadi masalah, karena kata-kata itu terkesan kaku dan otoriter. 

Baca Juga  Pernikahan di Bawah Umur Bukan Sunnah

Padahal beberapa larangan bagi wanita haid bukanlah larang ketat yang membatasi, tetapi sebaliknya, itu adalah pedoman yang dimaksudkan untuk meringankan wanita di kala haid, memberikan wanita istirahat untuk memulihkan kondisinya, melindunginya dari bahaya hubungan seksual dalam keadaan haid yang tidak menyenangkan. Tuhan membebaskan wanita yang sedang menstruasi dari kewajiban shalat dan puasa, memberi wanita kenyamanan dan kelonggaran dalam menjalani siklus alaminya ini.

Namun, banyak otoritas laki-laki telah menutupi tema rahmat dan kasih sayang ini di balik topeng agama. Hal ini telah menyebabkan banyak miskomunikasi seputar fakta yang berkaitan dengan wanita dan menstruasi. Apa yang kerap dianggap sebagai perintah ilahi, seringkali merupakan interpretasi dari para ahli hukum laki-laki.

Jadi mari lakukan perubahan ‘bahasa’ seputar menstruasi ke arah yang lebih positif dan ramah. Sameera Qureshi, seorang terapis dalam pendidikan kesehatan seksual yang berpijak pada spiritualitas dan psikologi Islam, menyarankan untuk mengganti kata yang mengesankan menstruasi seperti “kotor” dengan frasa lain yang lebih baik, seperti “proses suci yang diciptakan oleh Allah”. Sameera merupakan tokoh dibalik akun @sexualhealthformuslims di instagram yang aktif mengedukasi Muslim dan Muslimah dalam hal kesehatan seksual dan organ reproduksi, tanpa tabu sedikitpun.

Jika menyadari besarnya kasih sayang Tuhan pada wanita, dan betapa hebat kebesaran-Nya dalam proses penciptaan manusia di rahim perempuan, kita semestinya tidak berkata  “wanita haid tidak bisa shalat’, melainkan perlu mengatakan “wanita haid tidak harus melakukannya”. Jadi, wanita haid sebenarnya dapat mengatakan dengan percaya diri bahwa, “Saya tidak harus berpuasa, dan tidak perlu shalat, karena tubuh saya sudah melakukan apa yang diperintahkan Tuhan saya. 

Sekali lagi, kita perlu membingkai ulang bahasa ketika membahas tentang menstruasi dan ibadah. Frasa “saya tidak sholat” yang kerap kita ucapkan saat haid, bisa berbahaya secara psikologis karena itu akan benar-benar menjauhkan kita dari rasa berkebutuhan atas ibadah kita. Untuk itulah, kita perlu menggunakan alternatif lain dan menonjolkan kebutuhan ibadah lain yang dapat kita penuhi, seperti  “Saya akan melakukan doa dan dzikir.”

Dengan demikian, mari berhenti untuk menginternalisasi ide-ide ‘rasa malu’ di sekitar tubuh kita. Kita harus menyangkal mitos tentang menstruasi dan “kekotoran” dari kerangka Islam. Kita harus mengingat bahwa menstruasi sebagai kondisi sakral saat tubuh menjalani proses biologis yang ditanamkan oleh Tuhannya. Menstruasi perlu dipandang jauh lebih positif sebagai berkah sekaligus rahmat Allah SWT. Perombakan bahasa dan konotasi negatif tentang menstruasi akan mengubah persepsi kita menjadi lebih baik, serta menghilangkan mitos dan tabu yang menyesatkan.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.