“Don’t stop talking about Palestine”, “From the river to the sea, Palestine will be free”, “Free Palestine” merupakan kalimat yang malang melintang di linimasa media sosial serta jadi atribut di banyak aksi demonstrasi. Sebuah seruan penting agar kita tetap memertahankan perbincangan tentang Palestina. Selama ini, perhatian publik pada Palestina lebih sering surut ketimbang pasang, meski kekerasan dan pembersihan etnis Palestina terus-menerus dilakukan oleh Israel sejak 1948.
Informasi tentang pembantaian di Palestina sangat sering dibenamkan oleh bias pemberitaan media-media besar Barat pro-Israel. Mesin propaganda media dijalankan untuk membuat tragedi kemanusiaan di Palestina jarang mengemuka sementara kolonialisme Israel seolah wajar saja. Seorang sastrawan sekaligus jurnalis asal Inggris, George Orwell, sebagaimana dijelaskan dalam newarab.com (Gaza-Israel War: Is the Western Media Still Biased? 10/10/2023), menggambarkan bahwa propaganda secara umum seperti “jam yang mulai dan berhenti” (a clock starting and stopping).
Momentum serangan Hamas 7 Oktober 2023 lalu, bagi media Barat pro-Israel adalah waktu ketika “jam dimulai”. Di mana aksi itu dianggap Barat sebagai “sebuah serangan tak beralasan” Hamas, alih-alih respons atas kebiadaban Israel selama puluhan tahun. Sementara itu, segala bentuk aksi militer, bombardir, dan pembantaian Israel pada Palestina dinilai sebagai ‘pembelaan diri’. Seluruh norma umum hingga aturan hukum seolah tak berlaku bagi Israel karena saat itulah garis waktu ketika “jam berhenti”. Fokus perhatian media tertuju semata-mata untuk mendemonisasi Hamas sembari mengubur dalam-dalam fakta kejahatan Israel serta menghilangkan segala konteks sejarah dan politik yang lebih luas.
Ada sebuah buklet berjudul The Israel Project’s 2009: Global Language Dictionary yang kini telah beredar di media. Buklet itu mengafirmasi penggambaran Orwell tentang propaganda di atas. Disusun oleh seorang konsultan komunikasi dan jajak pendapat AS bernama Dr. Frank Luntz. Membacanya, kita akan mendapati bagaimana propaganda Israel-AS disusun begitu sistematis, manipulatif, dan jahat untuk mengontrol pikiran publik agar berpihak pada Israel. Tidak heran jika cara dan isi komunikasi publik menyangkut Palestina yang disampaikan oleh otoritas Israel serta para sekutunya selalu serupa dan sebangun.
Buklet setebal 116 halaman berisi 18 bab pembahasan dan 4 lampiran itu mengaburkan banyak fakta sejarah tentang perampasan tanah, kolonialisme, pengusiran besar-besaran rakyat Palestina, dan lain-lain dalam upaya Israel membangun narasi komunikasi publik. Segala bentuk penderitaan serta dosa-dosa maha besar Israel sejak 1948 dikecilkan. Sementara itu, perlawanan orang Palestina atas kolonialisme Israel dicap paten sebagai aksi teror dan mengganggu ketertiban.
Media-media pro-Israel mengendalikan pikiran masyarakat agar tak peka dan tidak merasa perlu mempersoalkan Palestina. Namun kali ini, mata dunia mulai terbuka, lebih intens dan berkelanjutan tertuju pada Palestina seiring agresi membabi buta Israel yang membalas serangan 7 Oktober Hamas. Israel sebetulnya tengah memperjelas boroknya sendiri di muka dunia.
Ekspresi keberpihakan masyarakat pada Palestina baik di dunia digital maupun dunia nyata yang terorkestrasi secara luas dan serentak akan menjalin keyakinan yang saling menguatkan dan menumbuhkan keberanian untuk terus melawan si zalim. Gerakan sipil pro-Palestina sudah mulai dan masih terus menggejala di banyak negara dalam berbagai bentuknya seperti demonstrasi, aksi damai, hingga boikot. Orang akan berangsur sadar bahwa Israel adalah agresor yang harus dituntut pertanggungjawabannya dan bahwa Palestina harus dibela agar merdeka.
Melalui buklet itu, kita bisa memahami strategi serta alam pikir Israel dan pembelanya lalu membangun narasi tandingan terhadap apa yang terlanjur jamak diyakini publik—terutama publik Barat—tentang Israel-Palestina. Buklet tersebut juga menunjukkan perhatian besar Israel pada perang pemikiran di wilayah digital. Artinya kita juga harus bersiap diri beradu di medan perang media melawan propaganda rezim Zionis.
Mengilustrasikan penderitaan bangsa Palestina dan mendefinisikan kekejian Israel menjadi dua hal yang sama peliknya. Semakin rumit ketika fakta-fakta itu ditutupi raksasa media global. Keprihatinan Karen Amstrong yang dituturkan dalam karyanya Yerusalem: Kota Suci Tiga Agama, rasanya selalu relevan untuk dijadikan perhatian, bahwa sangat disayangkan Israel menimpakan kemalangan (traumanya) di masa silam kepada bangsa Palestina dengan cara yang begitu kejam.
Pengalaman pahit Yahudi pernah menjadi bangsa yang tertindas di berbagai peradaban hingga memori pengalaman mereka dibantai Nazi dalam tragedi Holocaust telah dibebankan secara semena-mena oleh Israel kepada orang Palestina. Israel terobsesi pada “keamanan dirinya” dengan cara yang amat keliru.
Masyarakat sipil terlebih kalangan akademika merupakan unsur penting dalam menunaikan tanggung jawab sejarah untuk membantu membebaskan Palestina. Sudah saatnya siapapun kita terlibat memulihkan duka kemanusiaan di Palestina semampu kita. Wallahu a’lam. []