Kasmaran Belajar

KolomKasmaran Belajar

Banyak dari kita bersekolah, menggenapi kebijakan Wajib Belajar 12 tahun, bahkan melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi hingga mencapai predikat akademik ternama. Tapi ternyata hal itu tidak lantas membentuk suatu kebudayaan belajar. Kebudayaan belajar bukanlah sebatas rutinitas bersekolah, mengumpulkan pengetahuan, menumpahkannya dalam ujian, lalu mendapat ijazah, melainkan suatu capaian yang membuahkan keyakinan untuk bersetia pada pembelajaran sepanjang hayat, penajaman nalar dan budi pekerti yang mendorong pelakunya untuk menjaga sikap serta merawat nilai kemanusiaan.

Nahasnya, “belajar” masih terjebak pada pasung stigma, dinilai sebagai aktivitas membosankan, berat, dan tidak menarik. Kultur pendidikan yang penuh tuntutan, formalistik, mengerdilkan keingintahuan murid, akrab dengan penghakiman dan penghukuman, kiranya berandil besar terhadap kondisi umum batin kita yang merasa seolah tak ada kegembiraan dalam kegiatan belajar. Tentu jika diurai, persoalan pendidikan tersebut akan menyasar banyak sektor yang perlu diperbaiki.

Terlepas dari segala masalah dan keprihatinan pada dunia pendidikan bangsa ini, yang terpenting adalah mengusahakan apa yang mungkin. Dan dalam kapasitas penulis ialah membagi rasa bahwa belajar itu istimewa dan berilmu pengetahuan adalah berkat. Mengapa belajar itu istimewa dan menggembirakan? Sebab, selalu ada perasaan mengesankan dan sensasi letupan-letupan di kepala tiap kali mendapati pengetahuan baru yang memukau dari apa yang kita baca atau pelajari.

Keterlibatan rasa kagum, hasrat, dan antusiasme adalah tren positif yang menunjukkan orang tengah kasmaran belajar. Namun, lazimnya peserta didik saat ini masih menempatkan ilmu pengetahuan sebagai obyek semata, berjarak dan terlepas dari diri mereka. Belum banyak yang masuk ke jenjang kasmaran belajar, takjub pada bagaimana sebetulnya pelajaran sejarah adalah jati diri kita, bukan semata-mata ilmu masa lau, mengagumi bagaimana rumus fisika Newton yang bisa menjelaskan mengapa benda bisa jatuh ke bawah lalu mengimajinasikannya untuk konteks-konteks lain, dan sebagainya.

Di sisi lain, proses penambahan dan internalisasi pengetahuan acap kali bisa membuat manusia lebih rendah hati dan makin merasa harus belajar karena keterbatasan serta ketidaktahuannya yang kian kentara. Secara spiritual, seorang pembelajar pun bakal tercerahkan akan betapa hebatnya pengaturan Tuhan atas tatanan kehidupan, sehingga bisa menepis kecongkakannya sebagai manusia. “Belajar” menyuguhkan pengalaman personal yang intim, sebuah naik turun proses pencarian petunjuk dan pertanda untuk mencapai sisi terang yang disebut kompetensi dan pengetahuan.

Berilmu pengetahuan merupakan berkat. Dari yang semula tidak bisa menanam tumbuhan hingga bisa menghasilkan panen berlimpah. Inilah kira-kira gambaran kecil kasat mata dari berkat itu. Belajar, berpengetahuan merupakan sarana menuju pemahaman, pencerahan, budi pekerti, serta perbaikan masyarakat. Dengan pengetahuan kita mampu menavigasi diri dalam kehidupan yang kompleks. Pembelajaran dan pengetahuan yang dimaksud sudah pasti bukan berpengetahuan dalam makna reduktif yang terpaku pada gelar akademik. Namun  harus mengantarkan pada tujuan pendidikan yang transformatif, yakni memberdayakan manusia untuk bernalar kritis, beretika, menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, dan berkontribusi secara bermakna bagi dunia sekitarnya.

Baca Juga  Sedekah Bukan Ibadah Transaksional

Berilmu pengetahuan adalah unsur mutlak untuk bisa mengambil sikap diri yang selaras. Maka, sungguh masuk akal mengapa perintah pertama Allah pada hamba-Nya bukan seruan untuk beribadah seperti salat, puasa, ataupun haji, namun iqra’ (bacalah). Iqra’ adalah rukun awal dalam menjalani mandat hidup. Teologi iqra’ adalah instruksi untuk membaca apapun baik yang tertulis maupun tak tertulis. Iqra’ di sini merupakan penyederhanaan dari rangkaian proses belajar, berpikir, bernalar, pelanggengan budaya, penempaan nilai-nilai moral, pembebasan mental, pelembutan akal budi, hingga penyadaran makna kemanusiaan.

Iqra’ sebagai rukun berkehidupan tersebut selaras dengan permenungan Bapak Pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara, bahwa (sebetulnya) semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru. Artinya, belajar tanpa libur, sebab manusia akan terus terlibat dalam dimensi ruang, waktu, dan ranah sosial. Maraknya sindiran Allah SWT dalam al-Quran terhadap orang yang tak mau berfikir dan berefleksi merupakan isyarat tegas bahwa manusia berakal haruslah iqra’.

Memang, seseorang perlu terlebih dahulu merasakan pengalaman nyata dari proses belajar yang bermakna dan menggembirakan sebelum bisa memahami arti penting belajar serta mengerti mengapa agama sendiri menyatakan belajar sebagai kewajiban tiap muslim. Sebagai gambaran, ketika peserta didik diberi kepercayaan untuk berpendapat, diperbolehkan salah, disokong untuk berani berpikir selagi bertanggung jawab, hal-hal itu adalah tuas yang membantu hadirnya pembelajaran sarat makna.

Menurut penulis, pembelajaran semacam itu minimal menumbuhkan rasa percaya diri, semangat keberlanjutan, serta kebahagiaan batin. Pengalaman belajar yang bisa menyentuh rasa keterhubungan, mengasah nalar, memungkinkan aktualisasi diri serta pemanusiaan manusialah yang perlahan akan membuat kita kasmaran belajar. Seorang kasmaran tidak lagi sekadar belajar menulis tapi menulis untuk belajar (proses berpikir). Ia memaknai menulis sebagai sarana menjelajah kreativitas, melatih berpikir, menata ide, menjaga keingintahuan, hingga menghasilkan temuan.

Berilmu pengetahuan memberikan kita akses lebih luas pada beragamnya pertimbangan dan pilihan. Berpengetahuan bukan untuk memperumit pengambilan sikap, melainkan untuk menghindari simplifikasi persoalan atau tantangan yang ada. Misalkan saja, orang yang paham mengenai potensi masalah dan tantangan dari hubungan pernikahan, ia akan lebih menyiapkan diri dari multi aspek untuk meminimalisir masalah dalam bahtera rumah tangganya nanti. Dia tidak akan tergesa dan memutuskan menikah sebatas karena imajinasi kebahagian tentang pernikahan semata.

Tiap rasa penasaran dan pertanyaan yang timbul sebenarnya adalah pintu gerbang penguatan hakikat serta makna kehidupan. Keingintahuan membuat batin kita bergemuruh, ingin rasanya segera bertemu sapa dengan suatu pengetahuan yang bisa meredam debarnya. Begitu seterusnya, seperti sedang dilanda cinta. Saat ini paradigma yang kita butuhkan bukan hanya untuk tahu banyak, tapi antusiasme dan hasrat dalam belajar. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.