Allahumma bariklana fi rajaba wa sya’bana wa ballighna ramadhan; (Ya Allah berikanlah keberkahan kepada kami di bulan Rajab, Sya’ban, dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan). Doa ini menunjukkan bahwa bulan-bulan yang mengiringi Ramadhan tidaklah kurang istimewa. Meski secara kualitas sanad riwayat doa tersebut lemah, tapi muatannya tidak berseberangan dengan ajaran Islam. Antusiasme masyarakat menunaikan anjuran-anjuran beribadah meningkat di dua bulan menjelang Ramadhan tersebut. Di sinilah rawan beredar riwayat-riwayat bermasalah bahkan palsu yang tak jarang menjadi rujukan.
Hadis menyangkut Nisfu Sya’ban menjadi topik yang ramai bergulir, tapi tak jarang riwayatnya bermasalah. Seperti halnya hadis tentang shalat di malam Nisfu Sya’ban, “Barang siapa melaksanakan shalat pada malam Nisfu Sya’ban sebanyak 12 rekaat, setiap rekaatnya membaca surat ‘Qul huwallahu ahad’ sebanyak 30 kali maka dia tidaklah akan keluar sampai dia melihat tempat duduknya di surga, dan dia akan memberi syafaat kepada sepuluh orang keluarganya yang semuanya berhak mendapat api neraka”. Dalam al-Maudhu’at milik Ibnul Jauzi, ia menghukuminya sebagai hadis palsu (maudhu’). Al-Suyuthi juga menyimpulkannya demikian dalam al-La’ali al-Mashnu’ah. Selain itu, dalam riwayatnya banyak perawi (transmiter) yang tidak diketahui (majhul).
Meski demikian, bukan berarti beribadah atau melakukan shalat sunnah di malam Nisfu Sya’ban menjadi terlarang. Hanya saja kita mesti berhati-hati menyandarkan suatu riwayat kepada Nabi. Sebab, di antara yang paling berbahaya dari hadis palsu adalah penyandaran ucapan kepada Nabi Muhammad SAW secara keliru. Dengan kata lain, hadis tersebut tidak terverifikasi disabdakan oleh Nabi atau bisa dibilang berita hoaks.
Kita bisa merujuk hadis lain sebagai sandaran untuk mengisi malam Nisfu Sya’ban dengan ibadah, doa, serta memohon ampunan Allah. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir, bahwa “Allah melihat (amalan) hamba-Nya pada malam pertengahan bulan Sya’ban, maka Dia mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang yang musyrik dan orang yang bermusuhan”. Al-Haitsami mengomentarinya sebagai hadis shahih.
Sya’ban memang menarik perhatian, karena kemuliaan mengiringinya. Nabi sendiri memperbanyak puasa di bulan Sya’ban dan mengisi malam Nisfu Sya’ban dengan doa serta ibadah. Boleh jadi inilah daya tarik tertentu yang melatari para pemalsu hadis membuat hadis palsu seputar keutamaan Sya’ban. Mengingat hadis palsu kadang kala dibuat memang untuk memotivasi orang beribadah. Mendorong orang untuk beribadah adalah satu hal yang baik, tapi mencatut nama Nabi untuk melegitimasi berita palsu adalah perkara lain yang tak dapat dibenarkan.
Nada janggal yang mengunggulkan Sya’ban juga terdengar dari riwayat berikut, “Keutamaan Rajab terhadap bulan-bulan yang lain adalah seperti keutamaan al-Quran terhadap zikir-zikir selainnya, dan keutamaan Sya’ban terhadap bulan-bulan selainnya adalah seperti keutamaan Muhammad terhadap nabi-nabi selainnya, serta keutamaan Ramadhan terhadap bulan-bulan selainnya adalah seperti keutamaan Allah terhadap segenap hamba-Nya”. Hadis ini dinyatakan palsu (maudhu’) oleh al-Hafidz.
Selain mengkaji aspek sanad untuk melihat apakah suatu hadis berstatus palsu atau tidak, menelaah matan (redaksi) hadis juga bisa menunjukkan indikasi dari riwayat palsu. Redaksi hadis yang terasa janggal, makna yang rusak, atau hiperbolis—seperti halnya balasan berlebihan untuk amalan sederhana—merupakan salah satu gejala dari suatu hadis palsu. Hadis di atas terasa cukup janggal dan berlebihan secara redaksi.
Selanjutnya, hadis lain yang populer namun bermasalah adalah riwayat dari Aisyah RA, bahwa “Ramadhan adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, Sya’ban itu (bulan) pembersih sementara Ramadhan adalah (bulan) pengampun (dosa)”. Status riwayat ini sangat lemah (dha’if jiddan). Ada rwayat serupa dengan redaksi berbeda yang diriwayatkan dari Anas bin Malik dari Rasulullah SAW, “Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban bulaku, dan Ramadhan adalah bulan umatku”. Ibnul Jauzi memasukkan riwayat ini dalam al-Maudhu’at (kumpulan riwayat-riwayat palsu) dengan banyak jalur. Adapun al-Albani menyatakannya sebagai hadis lemah. Dan salah satu jalur riwayat itu dari Aisyah dinyatakan palsu (maudhu’).
Di samping Rajab, Sya’ban juga bulan mulia penuh berkah yang keduanya merupakan momentum menyongsong kedatangan Ramadhan. Pada prinsipnya, Sya’ban merupakan ajang melatih diri untuk menjalani hari-hari di bulan Ramadhan, baik fisik maupun spiritualitas. Karenanya Nabi memberi teladan di antaranya dengan menggiatkan puasa sunnah selama Sya’ban. Hanya saja kita perlu hati-hati dan lebih selektif dalam mencari rujukan. Jangan sampai tertipu. Sebab riwayat palsu kerap beredar menyertai momentum-momentum istimewa. Wallahu a’lam. []