Menjadi umat yang hidup jauh dari masa Nabi bukan alasan untuk kita berkecil hati. Apabila generasi pendamping Rasulullah SAW merupakan sahabat beliau, maka umatnya yang hadir jauh belakangan beliau sebut sebagai saudaranya. Dan beliau mengaku rindu pada umat yang akan datang kemudian ini. Kemampuan kita meyakini dan mencintai Rasulullah—selaku Nabi yang hidup jauh sebelum kita—sangat beliau hargai.
Di sisi lain, kerinduan Rasulullah pada umatnya yang bahkan belum pernah dijumpai, menunjukkan keluasan hati Nabi dalam menampung energi cinta. Kerinduan Nabi pada saudaranya ini terekam melalui riwayat Imam Muslim, Imam Malik, juga Imam an-Nasa’i yang diceritakan oleh Abu Hurairah.
“Suatu hari Rasulullah SAW pergi ke pemakaman. Kemudian beliau berkata, ‘Salam atas kalian wahai penghuni (kuburan) tempat orang-orang beriman. Aku insya Allah akan menyusul kalian. Aku ingin sekali berjumpa dengan saudara-saudaraku.’ Kemudian para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, bukankah kami saudaramu?’ Beliau pun bersabda, ‘Kalian adalah para sahabatku. Adapun saudara-saudaraku adalah mereka (orang-orang beriman) yang belum ada sekarang ini dan aku akan mendahului mereka di telaga.’
Mereka (para sahabat) kembali bertanya, ‘Wahai Nabi, bagaimana engkau mengenali orang-orang (beriman) yang datang setelah engkau dari kalangan umatmu?’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Bukankah jika seseorang memiliki kuda yang terdapat bulu putihnya ia akan mengenalinya di tengah-tengah kuda-kuda lain yang berwarna hitam legam?’ Mereka menjawab, ‘Ya, wahai Rasul’. Beliau berkata, ‘Sesungguhnya mereka akan datang pada hari kiamat dengan cahaya putih karena wudhu. Dan aku akan menunggu mereka di telaga.”
Cinta Nabi Muhammad tak memandang generasi. Tak terbatas pada mereka yang langsung bersinggungan dengan beliau atau mereka yang menyambut seruan beliau saja. Ibarat kata, kita sebagai generasi ‘penikmat’, tak turut berjuang membantu dakwah Nabi, namun tetap mendapat limpahan kasih Rasulullah SAW.
Penjelasan lebih lanjut mengenai siapa yang Nabi sebut sebagai saudara, bisa kita cermati dari potongan hadis yang diceritakan oleh Imam Ahmad, bahwa “Saudaraku adalah mereka yang belum pernah melihatku tetapi beriman padaku.”
Sabda tersebut menunjukkan keutamaan orang yang mengimani Nabi sekalipun belum pernah bersua dengannya. Sekaligus berita gembira bagi seluruh umat Nabi Muhammad SAW, baik yang sezaman dengan beliau maupun tidak. Mereka semua yang mengimani, meneladani, dan berpegang pada petunjuk Nabi adalah orang-orang yang beruntung. Meyakini dan meneladani Nabi adalah syarat untuk menjadi saudara yang benar-benar beliau rindukan.
Bagaimana orang bisa percaya dan cinta pada seseorang yang belum pernah dilihatnya dan hanya mereka ketahui melalui penuturan guru serta lembaran teks-teks agama. Apalagi antara kita dan Nabi terpisah oleh masa yang lama. Ini adalah satu hal yang luar biasa. Keyakinan tanpa pernah melihat adalah cinta agung yang mendekatkan kita dengan Nabi.
Sebab itu, masuk akal jika hadis tadi memerlihatkan betapa Rasulullah SAW begitu menghargai keyakinan dan perasaan cinta pada beliau dari umatnya yang hidup belakangan. Hingga Nabi pun menyematkan gelar “saudara” sebagaimana dalam hadis tadi.
Para pengikut setia Nabi ini akan dikenal melalui tanda putih dalam dirinya yang merupakan bekas dari wudhu. Ini merupakan keutamaan wudhu, di mana Allah mengkhususkan umat Nabi Muhammad dengan atsar wudhu. Di akhirat kelak, orang-orang beriman akan teridentifikasi melalui wajahnya yang putih berseri dan nampak bersinar karena rasa bahagia. Allah berfirman dalam QS. Ali Imran: 106, Pada hari itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram.
Tidak hanya sampai situ, Rasulullah SAW juga kelak menanti umatnya yang mengimani beliau di tepi telaga surga. Kerinduan yang jauh-jauh hari dinyatakan Nabi harus kita balas dengan cinta tulus dan sungguh-sungguh, dibuktikan tak hanya melalui lisan tapi juga tindakan. Hingga pantas kita untuk disebut sebagai saudara Nabi. Di samping itu, kita mesti senantiasa waspada agar tidak melanggar tuntunan beliau, karena itu bisa menjadi penghalang pertemuan agung dengan Rasulullah SAW kelak.
Sabda ini adalah motivasi bagi kita untuk meneguhkan keimanan dan keteladanan pada Nabi. Demikian langkah untuk memantaskan diri menjadi saudara Nabi. Tak perlu berkecil hati sebab tak semasa hidup dengan Rasulullah. Karena beliau sangat mengapresiasi umatnya yang mendedikasikan cinta untuk Nabi meskipun belum pernah bersua.
Kita mesti memperbanyak shalawat dan mempraktikan ajaran Rasulullah agar tetap terkoneksi dengan beliau. Sampai kelak bisa bertemu, melepas rindu, memeluk, dan memandang wajah Nabi Muhammad SAW di tepi telaga surga. Wallahu a’lam. []