Sebagai rukun Islam yang kedua, shalat bukan semata kewajiban seorang muslim. Lebih dari itu, shalat adalah kebutuhan. Tahu bahwa manusia tak selalu paham apa yang menjadi kebutuhannya, maka Allah mendesain shalat sebagai ibadah wajib dengan jadwal yang pakem. Mendidik manusia untuk berdisiplin memenuhi panggilan kebutuhannya. Sudah diatur sedemikian pun masih banyak yang abai dan lalai menunaikan. Bahkan jamak yang kepalang menjalankannya sebagai rutinitas autopilot begitu saja. Menjadi sebuah ritual yang hampa rasa spiritual dan nihil efek transformatif moral-sosial.
Keterbatasan kemampuan manusia menjadi penjelas bahwa manusia pasti butuh sandaran dan bantuan dari Dzat Yang Mahakuasa. Di sinilah fungsi shalat. Shalat bermakna “doa”, di mana seluruh bacaan dan gerakannya sesungguhnya adalah ritme-ritme harapan. Doa adalah cara mengkomunikasikan apapun keinginan dan keluh kesah kita pada Tuhan. Doa merupakan permintaan dari pihak yang rendah kepada Yang Mahatinggi. Shalat juga mengandung arti “hubungan”. Artinya, shalat menjadi medium untuk merawat koneksi hamba dengan Tuhannya.
Quraish Shihab menuturkan, bahwa manusia—selama sifat-sifat kemanusiaannya sama seperti yang dikenal sejak dulu sampai sekarang—tak akan bisa lepas dari shalat. Ia mengutip pendapat seorang filosof sekaligus psikolog Amerika, William James, yang menuturkan, “Anda bisa masuk ke suatu wilayah yang di situ tidak ada pasar, bioskop, ataupun tempat hiburan. Tapi tak mungkin Anda tidak menemukan tempat untuk berdoa”. Sebab, menurut William siapapun pasti pernah punya ketakutan atau harapan akan sesuatu.
Kita tahu, hanya Nabi Muhammad SAW, manusia yang diperjalankan oleh Allah SWT dari Masjid al-Haram menuju Masjid al-Aqsha (isra’) lalu naik ke Sidratul Muntaha di langit ke tujuh untuk berjumpa dengan-Nya (mi’raj). Ibadah shalat adalah buah tangan yang dibawa Rasulullah setelah kembali dari perjalanan langit tersebut. Sebuah pesan kasih dari Allah untuk umat manusia yang tak mendapat paket perjalanan serupa Nabi Muhammad. Karenanya, konon shalat adalah mi’raj-nya orang mukmin. Artinya, seorang beriman dimungkinkan merasakan pengalaman mi’raj menghadap Tuhan melalui shalat. Yakni shalat yang didirikan dengan upaya diri memenuhi syarat rukunnya, memerhatikan sunnah makruhnya, dan yeng utama menghadirkan hati dalam pelaksanaannya.
Shalat hanya bernilai jika dilakukan dengan khusyuk. Yakni kehadiran hati serta kesadaran penuh akan kerendahan dan kehambaan diri kita sebagai manusia di hadapan keagungan Allah. “Sesungguhnya (shalat) itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk” [2:45]. Tanpa kekhusyukan, shalat menjadi sebatas gerakan badan dan ucapan yang kehilangan nilainya. Rasulullah pernah mengatakan, “Dua rakaat shalat pendek yang disertai tafakur lebih baik daripada shalat sepanjang malam dengan hati yang lalai”. Khusyuk hadir sebagai konsekuensi dari kombinasi rasa cinta serta takut kepada Yang Mahakasih dan Yang Mahasegala.
Kelak hal pertama yang akan dihisab adalah pelaksanaan shalat kita. Ibadah ini adalah penentu baik-buruk nasib kita. Nabi bersabda, “Yang pertama sekali dihisab pada hari kiamat adalah shalat. Apabila baaik shalat, akan baiklah yang selebihnya. Apabila buruk shalat, akan buruklah yang selebihnya”. Yang perlu diingat, kehadiran hati kita saat shalatlah yang akan diperhitungkan oleh Allah ketika hisab.
Shalat menempati posisi yang amat penting. Dengan kalkulasi sederhana, kita bisa melihat derajat pentingnya shalat. Pertama, satu-satunya ibadah yang disyariatkan di langit adalah shalat, didiskusikan langsung antara Allah dan kekasih-Nya. Kedua, dalam kondisi bagaimanapun seorang muslim diwajibkan shalat, bahkan dalam keadaan perang dengan segala ketentuannya, ketika di perjalanan dengan aneka keringanannya, saat sakit dengan segala level kemampuan yang bersangkutan shalat tetap harus ditegakkan. Ketiga, frekuensi shalat dalam sehari yang terbilang padat menunjukkan sebanyak itu pula kebutuhan kita merawat spiritualitas. Menurut penulis, hal-hal itu adalah indikasi kuat betapa sentral posisi shalat bagi seorang hamba.
Allah tidak butuh ibadah hamba-Nya. Kitalah yang berkepentingan dengan shalat. “Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat” [2:45]. Shalat merupakan ibadah yang meliputi tujuan dasar penciptaan manusia serta pengutusan Muhammad sebagai nabi sekaligus rasul. “Dan tidak Kami ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah Allah” [51: 56]. Di lain pihak, Rasulullah SAW menyatakan, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Pendek kata, manusia diciptakan semata-mata untuk beribadah dan secara lugas penyempurnaan akhlak luhur adalah tujuan pengajaran Islam oleh Nabi Muhammad.
Kecenderungan manusia berlaku keji dan mungkar dapat dicegah dengan shalat yang benar-benar didirikan. Artinya, di saat yang sama akhlak mulia bisa dipelihara melalui penyembahan yang tulus pada Tuhan. Shalat, nilai ibadah vertikal ini semestinya terpancar lagi ke bawah dalam bentuk personalitas manusia yang mulia dan perilaku baik pada sesama. Sebab, mandat pengutusan Nabi juga menyebutkan, “Dan tidak Kami kirim engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat (kasih sayang) bagi alam semesta” [21: 107].
Komposisi teks keagamaan tersebut menunjukkan bahwa tujuan penciptaan manusia serta pengajaran Islam melalui pengutusan Nabi Muhammad adalah supaya manusia menyembah Allah dan menyempurnakan akhlak mulia, sehingga kasih sayang (rahmat) tersebar di semesta alam semua. Keimanan tulus pada Tuhan akan tercermin pada akhlak dan amal perbuatan seseorang. Shalat ada untuk menyokong tugas-tugas kehambaan sekaligus kemanusiaan. Wallahu a’lam. []