Sejak mula, kopi lekat dengan kisah kaum spiritualis. Kopi menjadi bagian dari keberlangsungan aktivisme ibadah mereka. Beredar aneka versi mengenai bagaimana asal mula biji kopi dikenal. Ethiopia secara luas dianggap sebagai episentrum ditemukannya biji kopi pada sekitar tahun 800 Masehi, ada yang mengatakan di abad ke-11. Seorang penggembala kambing di wilayah tersebut bernama Kaldi disebut-sebut sebagai tokoh penemunya. Bermula ketika ia mendapati kambingnya berperilaku sangat aktif dan bersemangat setelah memakan semacam buah beri dari semak-semak dekat tempat makan mereka. Ia pun membawa biji beri itu kepada kepala biara sambil mengadukan apa yang terjadi pada kambing-kambingnya.
Konon, sang kepala biara berseru bahwa yang terjadi pada gembalaan Kaldi adalah karena ulah setan sehingga biji-biji beri tadi seketika dilempar ke perapian. Ternyata menyeruak aroma yang sangat indah dari biji yang dibakar itu. Segera api dimatikan lalu biji-biji itu dipindahkan, ditumbuk, direndam air panas, kemudian para biksu tersebut mencoba mengonsumsinya sendiri. Ternyata mereka merasakan efek kesegaran serupa dan kegembiraan baru dari ramuan itu. Membuat mereka tak kesulitan untuk tetap terjaga selama dalam pelayanan keagamaan ataupun doa-doa di malam hari.
Dalam buku All About Coffee, William H. Ukers mengetengahkan puisi Abbe Massieu, Carmen Caffaeum, yang menggambarkan bagaimana peristiwa saat para orang suci itu terjaga setelah mengonsumsi seduhan kopi.
Para biksu masing-masing secara bergiliran, menjelang malam,
Minumlah di sekitar kuali besar—sebuah lingkaran keceriaan!
Dan fajar dengan takjub, mengunjungi pantai itu,
Di tempat tidur yang tenang, kemenangan tak lagi mengejutkan mereka
Ada legenda lain yang sama-sama menyebutkan keterlibatan kalangan spiritualis dalam kisah penemuan biji kopi. Seorang mistikus dari Yaman satu kali melewati Ethiopia untuk suatu perjalanan spiritual. Ia menjumpai burung-burung yang sedang memakan buah beri—kini dikenal kopi—dan terlihat sangat antusias serta berenergi. Karena kelelahan, sang sufi tadi pun mencoba buah beri tadi dan mendapati dirinya menjadi bertenaga. Di versi serupa, disebutkan bahwa kopi kali pertama ditemukan di Yaman oleh seorang ulama sufi bernama Imam Abu al-Hasan Ali al-Syadzili, ia adalah pengikut tarekat Syadziliyah.
Boleh jadi asal-usul tentang siapa sebenarnya pionir penemu kopi akan tetap tersembunyi, sebab kisahnya lebih dikenal sebagai legenda dan dongeng. Tapi umumnya diyakini bahwa Ethiopia adalah tempat di mana kopi kali pertama ditemukan, baru kemudian dibawa ke Yaman pada kisaran abad ke-15 dan seterusnya tersebar di tanah Arab. Pada abad ke-16, buah yang disebut “A magic berries” itu mulai dikenal sampai ke Persia, Turki, Syiria, Mesir. Lalu di abad ke-17 menuju daratan Eropa hingga kini kopi bisa dinikmati di seluruh penjuru dunia. Adapun Indonesia mengenal kopi ketika pemerintah kolonial Belanda membawanya pada sekitar abad ke-17, dijadikan salah satu proyek tanam paksa di Indonesia karena permintaan akan biji kopi begitu tinggi.
Dua kisah tentang asal-usul di atas menunjukkan postur kesejarahan kopi yang sejak awal lekat dengan orang-orang pelaku olah spiritual. Menjumpai efek samping ‘ajaib’ dari biji tersebut, pada gilirannya mereka mengonsumsi kopi untuk motif spiritual-religius, yakni membantu meningkatkan semangat dan kewaspadaan, sehingga dalam peribadatan malam mereka lebih sanggup terjaga.
Kopi menawarkan pengalaman eksperimental tersendiri bagi tiap penikmatnya, termasuk para mistikus atau sufi. Bagi mereka kopi menjadi medium yang membangkitkan semangat untuk beribadah, berdekatan dengan Tuhan. Kopi seolah memberi para sufi panggung untuk berekspresi. Tak jarang mereka menuangkan perasaan rindu dan cinta melalui secangkir kopi. Seperti dalam sajak gubahan Umar bin Abdullah Bamakhramah melansir dari al-ibar.net.
“Dalam gelas kerinduan itu membuat orang yang meminumnya berada dalam tingkatan para perindu dan memakaikannya pakaian ahli pecinta dalam kedekatan kepada Allah. Bahkan jika seandainya diminum oleh seorang Yahudi maka niscaya hatinya akan mendapatkan tarikan hidayah dan inayah Tuhan.”
Kopi dalam bahasa Arab yaitu qahwah. Ada satu penggambaran unik yang penulis temukan meski kurang jelas siapa yang mengungkapkan. Tiap huruf dari qahwah dimaknai sebagai berikut; qaf yaitu quut (makanan), ha’ adalah hudaa (petunjuk), wawu merujuk pada wud (cinta), dan ha’ adalah hiyam (pengusir kantuk). Seolah hendak menggambarkan bahwa kopi merupakan makanan penghilang kantuk yang bisa menghadirkan petunjuk sekaligus menjadi bukti cinta melalui diri yang terjaga untuk bermunajat pada Yang Kuasa.
Dalam Tarikh Ibnu Toyyib dikatakan, “Kopi adalah penghilang kesusahan pemuda, senikmat-nikmatya keinginan bagi engkau yang mencari ilmu. Kopi merupakan minuman orang yang dekat pada Allah yang di dalamnya ada kesembuhan bagi pencari hikmah di antara manusia. Kopi diharamkan bagi orang bodoh dan mengatakan keharamannya dengan keras kepala.” Boleh jadi kalimat terakhir dari ungkapan ini ditujukan pada pihak yang ngotot mengharamkan kopi, sementara manfaat darinya jelas ada.
Ada keistimewaan personal dengan kopi sehingga ulama bahkan punya doa tertentu sebelum minum kopi. Terdapat doa yang konon bermula dari sufi Maroko yang berjumpa dengan Nabi Muhammad saat kondisinya tengah terjaga. Sufi itu bercerita tentang kegemarannya minum kopi, lalu Nabi Muhammad SAW disebut memberinya doa yang berbunyi:
اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا نُوْرًا لِبَصَرِيْ وَعَافِيَةً لِبَدَنِيْ وشِفَاءً لِقَلْبِيْ وَدَوَاءً لِكُلِّ دَاءٍ يَا قَوِيُّ يَا مَتِيْنُ (ثم يتلو البسملة)
Yang artinya: “Ya Allah, jadikanlah kopi yang saya teguk sebagai cahaya bagi penglihatanku, kesehatan bagi badanku, penawar hatiku, obat bagi segala penyakit, wahai Dzat yang Mahakuat dan Mahateguh… (lalu baca basmalah).” Terlepas dari benar tidaknya kisah tersebut, tidak ada yang salah dari memulai sesuatu dengan berdoa. Doa adalah saluran ekspresi atas harapan akan keutamaan. Untaian doa itu pun menunjukkan bagaimana kopi menjadi wasilah/perantara menuju berbagai kondisi baik yang ingin dituju.
Kiwari, setelah ilmu pengetahuan berkembang jauh, diketahui bahwa dalam kopi mengandung zat psikoaktif berupa kafein yang dapat menstimulasi sitem saraf pusat. Karakter stimulatif tersebut mampu meningkatkan kewaspadaan dan konsentrasi, menjaga pikiran tetap fokus serta membangkitkan energi yang dapat membantu menciptakan lingkungan yang kondusif untuk berdoa ataupun aktivitas lain. Kafein bisa meningkatkan kemampuan kerja otot dan mental tanpa reaksi berbahaya.
Kopi, minuman berwarna coklat kehitaman dengan aksen utama rasa pahit asam itu kini menjadi bagian keseharian nyaris seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari warga akar rumput hingga kalangan elite. Kopi tersaji di warkop-warkop, berbagai kedai dan kafe menjamur di sudut-sudut kota. Kopi juga menjadi pendamping awal pagi orang-orang di rumah masing-masing. Ngopi telah menjadi bagian dari budaya. Kopi adalah sarana untuk menyatukan orang hingga membina komunitas. Kedai-kedai kopi secara organik dalam sejarahnya menjadi sentra perkumpulan para seniman hingga kaum intelektual untuk berdiskusi dan bertukar ide.
Di mana pun diperkenalkan, kopi mempromosikan kejernihan berpikir. Ada perasaaan sejahtera begitu kopi memasuki mulut dan beredar di sistem kerja tubuh. Orang mencintai kopi setidaknya tersebab tiga hal, yakni karena aroma dan rasa yang unik, serta sensasi yang menyenangkan dan peningkatan efisiensi yang dihasilkannya. Selama dikonsumsi dengan seksama, kopi akan terus menjadi salah satu kebahagiaan hidup yang utama. Wallahu a’lam. []