Sekalipun harus tetap optimis, tak bisa dipungkiri bahwa ada kekhawatiran tajam terhadap arah dan nasib Indonesia saat ini. Yang terhormat para pemimpin, pejabat, petinggi negara, pemangku kebijakan, serta elite-elite politik nyaris tak ada yang menunjukkan komitmen kebangsaan. Aurat malunya lenyap. Mereka sibuk bertransaksi dan memperkaya diri. Setidaknya demikianlah etalase politik kita. Demokrasi secara serentak dipojokkan dan hukum dipermainkan guna melanggengkan minat berkuasa. Rakyat seolah sengaja ditumpulkan daya kritisnya, sehingga negara leluasa mengetuk palu kebijakan juga menyelenggarakan seremonial yang berkedok demokrasi. Pada sosok yang erat dan tulus dalam memeluk kepentingan sosial bersama, para guru bangsa, kami rindu.
Dalam falsafah Jawa, guru merupakan sosok yang digugu dan ditiru (dipercaya dan diteladani). Kedekatannya dengan ilmu menjadi sinyal kuat akan aktualisasi sikap budi yang luhur. Guru adalah agen pengelola ilmu dan amal yang menginspirasi perilaku. Yang duduk di kursi-kursi penguasa saat ini dan mestinya menjadi figur percontohan yang bisa dipercaya, tidak berpolitik dengan pijakan nilai melainkan kebohongan. Mereka mengelola publik dengan janji manipulatif, bukan bukti dan keteladanan. Tak memenuhi kualifikasi figur yang layak diteladani.
Guru bangsa bukanlah sosok yang terikat dengan struktur baku ataupun konvensional. Mereka adalah pengajar dalam sebuah universitas kehidupan. Pemikir andal dan penuh kebijaksanaan. Patut menjadi kiblat moralitas bagi banyak kalangan. Selain itu, guru bangsa adalah mereka yang selalu mengunggulkan kepentingan kolektif untuk memajukan peradaban bangsa. Aspek mental-spiritual dan sosial-intelektual mereka pun layak untuk ditiru.
Kondisi disruptif saat ini, mengundang kerinduan kepada para guru bangsa yang berjiwa besar dan penuh kebijaksanaan. Sebagiannya mungkin hanya kita kenal melalui catatan. Namun, denyar ketokohannya abadi. Rakyat haus akan pengabdian tulus yang mendobrak kemapanan, seperti halnya Gus Dur. Dialah pejuang kemanusiaan yang tak gentar untuk melawan arus. Selalu mendasarkan langkah pada semangat keadilan. Ketulusan, akan dengan sendirinya melahirkan kepercayaan, sehingga bahkan kelakarnya saja adalah muatan nasihat.
Sosok Buya Syafii Maarif, penulis yakin akan bersuara kritis dan lantang menyaksikan akrobat politik di Tanah Air saat ini bilamana ia masih ada di tengah kita. Buya adalah penjaga bangsa yang tak henti berupaya merawat kewarasan nalar publik. Ia memang telah berpulang ke haribaan Tuhan hampir dua tahun silam. Namun, semangat dan inspirasinya adalah warisan abadi yang harus terus diedarkan. Bagi Buya, Indonesia harus tetap ada sampai sehari sebelum kiamat tiba. Dan tak ada cara lain untuk mewujudkannya selain persatuan dan komitmen untuk menjaga kelangsungan hidup bangsa ini.
Pada era generasi pergerakan nasional, kita punya H.O.S. Tjokroaminoto yang lekat dengan gelar guru bangsa. Tjokro adalah seorang pemikir. Dialah pelopor pergerakan di Indonesia. Di bawah asuhannya, lahir tokoh-tokoh besar bangsa. Tercatat Soekarno, Kartosuwiryo, Tan Malaka, Semaun, dan Muso pernah menyerap ilmu darinya. Tjokro sang maha guru, penggagas Sarekat Islam (SI), sebagai wadah perjuangannya dalam menghidupkan perekonomian masyarakat yang bernafaskan Islam kala itu.
Tak hanya itu. Kita masih memiliki tokoh-tokoh yang kuat dengan karakter luhurnya masing-masing, baik yang tersebut di tulisan ini ataupun tidak. Di antaranya, Bapak proklamator, Bung Karno yang pemberani, Mohammad Hatta dengan kejujurannya, seorang Agus Salim yang pandai, Sutan Syahrir yang lihai dan cerdik, serta Tan Malaka dan militansinya. Tak lupa, Cak Nur dengan intelektualitas serta kerendahan hatinya. Dan yang masih bisa kita dengar petuahnya, Gus Mus yang bersahaja serta ulama tafsir kharismatik, Quraish Shihab. Sederet nama ini adalah figur yang diharapkan akan muncul duplikatnya.
Sulit kini menemukan figur yang mampu menjadi katalis kebaikan universal. Umumnya politisi dan pejabat nun jauh dari harapan sebagai teladan masyarakat. Yang ada, perilaku mereka kian membikin masyarakat apatis dengan politik. Ini adalah sumbangan besar bagi kemunduran demokrasi. Minimnya referensi panutan membuat masyarakat mudah ditarik ulur pihak-pihak yang memiliki kepentingan pribadi atau partisan. Akar rumput yang tak menahu arah, akhirnya saling tuduh dan menyalahkan satu sama lain.
Dinamika kekuasaan yang dimainkan para pembesar negeri ini, telah jauh dari misi transenden politik, yakni pengabdian. Nasionalisme hanya sekadar menjadi lips service, tidak dibumikan. Republik ini tidak kekurangan orang yang terlahir dengan kehendak berkuasa, tapi amat langka yang berpikir tentang Indonesia dan hajat kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian, yang dipertontonkan adalah mentalitas pecundang saja.
Dengan segala kompleksitas problematika negeri kita, tidak ada kata menyerah untuk menangani segala krisis yang ada. Berawal dari diri sendiri dan kita sebagai warga sipil harus berdaya, kritis, serta saling menjaga. Komitmen untuk menampilkan spirit pengabdian di setiap ranah kehidupan berbangsa dan bernegara adalah keharusan semua. Yang diharapkan akan membentuk kesadaran kolektif untuk mengutamakan kepentingan bersama di atas segala kepentingan lain.
Penulis teringat sebuah sabda Nabi yang menyatakan, bahwa akan selalu ada tokoh pembaharu yang memiliki daya pengaruh dan daya jangkau yang luas. Ia akan memperbaiki yang keliru dan memertahankan yang baik. Sosok ini akan hadir di tiap penghujung 100 tahun. Sabda ini menjadi isyarat bahwa harapan dan angin segar akan selalu berhembus. Ini adalah optimisme dalam momentum menuju satu abad bangsa kita. Pembaharu, guru yang dirindu akan tampil. Dialah sosok yang selalu berusaha bersikap selaras serta menghindari pecah kongsi antara nilai, norma, pemikiran, dan perilakunya. Wallahu a’lam. []