Ayo Bangkit, Masyarakat Sipil!

KolomAyo Bangkit, Masyarakat Sipil!

Dulu, saat mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan diajarkan di bangku sekolah, kita berulang kali mendapatkan materi mengenai berbagai pasal seputar hukum, pemerintahan, juga perihal kewargaan. Di antara pasal itu menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum, semua warga sama di mata hukum, setiap kita mendapat jaminan hukum, kedaulatan ada di tangan rakyat, tiap orang punya kemerdekaan untuk berkumpul, berserikat, serta mengeluarkan pendapat.

Dan yang paling melekat adalah janji konstitusi bahwa kekayaan alam, bumi, dan air yang diproyeksikan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Juga pasal bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara. Pada pasal tersebut penulis menaruh harap, membayangkan rakyat Indonesia yang bisa sama-sama sejahtera, sebab bangsa kita kaya raya sumber daya, meski penulis pribadi kala itu menganggap rangkaian pasal tadi sebagai materi yang cukup membosankan karena hanya diarahkan menghafal angka berikut bunyi pasal.

Kiwari, ketika dihadapkan dengan ragam realitas pemerintahan yang menjengkelkan, kesadaran sebagai seorang warga sipil menemukan momentumnya. Memori kolektif tentang bunyi-bunyi pasal dan ayat konstitusi mendesak keluar sembari menyentak diri penulis, “Baru sadar bahwa pasal-pasal yang dulu kau hafal sedang dikhianati habis-habisan saat ini?” Konon, menurut konstitusi kekayaan sumber daya Tanah Air kita ditujukan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, namun yang ada tanah-tanah masyarakat dirampas, perusahaan-perusahaan tambang secara rakus mengeruk sumber daya untuk kekayaan mereka sendiri. Belum lagi persekongkolan jahat korupsi yang masif-terstruktur oleh oknum-oknum pejabat. Pasal itu nyatanya lumpuh. Rakyat dikelabui, kekayaan Tanah Air kita diprivatisasi.

Aksi massa dengan tajuk “Reformasi Dikorupsi” yang pernah ramai pada 2019 lalu menunjukkan rapor merah cita-cita reformasi kita. Ekosistem hukum Indonesia sangat keruh dan berbau busuk. Serangkaian aksi berbagai jaringan massa ketika itu merupakan puncak penolakan masyarakat terhadap agenda legislasi DPR yang mengkhianati amanat-amanat reformasi. Di antara protes yang disampaikan adalah terkait penolakan terhadap revisi Undang-Undang yang melemahkan KPK, tuntutan untuk mengkaji ulang RKUHP, RUU Pertambangan dan Minerba, penolakan atas TNI-Polri yang menempati jabatan sipil, tuntutan untuk menyudahi militerisme di Papua juga kriminalisasi aktivis serta jurnalis, serta sejumlah tuntutan atas ketidakadilan lain.

Apa-apa yang diprotes oleh publik tersebut merupakan koordinat aturan-aturan yang strategis yang bisa melindungi posisi pejabat korup serta pebisnis rakus, sekaligus mengokohkan rezim oligarki yang mengancam hak partisipasi warga negara serta kesejahteraan masyarakat. Bukan saja tertutup, proses penyusunan peraturan itu serba kilat dan nyaris tak ada keterlibatan publik yang kian membuat masyarakat meradang. Catatan hitam konstitusi paling anyar tak lain adalah pelanggaran kode etik berat mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, terkait pengadilan perkara yang menyangkut keponakannya, Gibran. Bahkan setelah dicopot dari jabatan ketua MK, ia tanpa malu menuntut posisinya sebagai ketua MK dipulihkan.  

Kebobrokan penegakan hukum negara ini terbukti, di mana berdasarkan Indeks Negara Hukum tahun 2023 yang disusun oleh World Justice Project, perkembangan pembangunan hukum di Indonesia menunjukkan stagnasi. Sejak 2015-2023 atau semasa pemerintahan Jokowi, skor Indonesia konsisten pada angka 0,52-0,53 (Kompas.id, 26/10/2023). Reformasi hukum tak pernah menjadi prioritas kebijakan pemerintah. Masih menurut World Justice Project, untuk mengukur Indeks Negara Hukum ada delapan indikator yang digunakan, yaitu absennya korupsi, hak dasar, keterbukaan pemerintah, ketertiban dan keamanan, penegakan peraturan, peradilan perdata, serta peradilan pidana.

Baca Juga  Nasionalisme Kita

Kriminalisasi aktivis pun nyata. Kasus yang menimpa Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar yang masih berlangsung saat ini adalah contoh terang pembungkaman pendapat sekaligus kriminalisasi aktivis yang mencoba membongkar bisnis tambang pejabat kita yang disinyalir problematis. Keduanya merupakan aktivis HAM yang sama-sama pernah menjabat sebagai Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Bukan tidak mungkin kita menjadi korban selanjutnya ketika pendapat kita dianggap menyinggung orang yang berkuasa.

Kriminalisasi semacam itu adalah upaya untuk menakut-nakuti warga sipil agar tidak banyak ‘berisik’. Budaya kritis kita ditekan, kebebasan berpendapat terancam, aksi massa diremehkan dan direpresi, bahkan demo-demo mahasiswa dinarasikan sebagai kegiatan yang tak penting oleh kalangan penguasa sembari berapologi “Lebih baik belajar daripada demo tidak jelas”. Maka tak heran jika aktivisme mahasiswa nampak tidak berdaya. Kita seperti tengah diarahkan menuju ‘kenormalan baru’, suatu tatanan warga yang cukup patuh dan tak perlu banyak bersuara.

Namun kita pantang diam. Apa lagi yang warga sipil punya kalau bukan suara? Dan untuk bersuara lantang kita perlu kesadaran, amunisi pengetahuan, kolektivitas, dan keberanian untuk mempertanyakan apapun yang mencurigakan. Dalam pengertian yang dikembangkan oleh CIVICUS, masyarakat sipil adalah suatu arena di luar keluarga, negara, dan pasar (sektor swasta), di mana orang-orang berkelompok untuk mendorong kepentingan bersama. “Arena” dimaksudkan sebagai ruang publik di mana individu-individu bertemu, berkumpul, berdialog untuk mempengaruhi perkembangan masyarakat serta memperluas ruang publik agar berbagai kepentingan dan nilai masyarakat bisa bertemu. Dalam definisi ini juga terkandung pengertian yang luas yang tak membatasi aktor-aktor masyarakat sipil sebatas kepada organisasi-organisasi formal, tapi juga jaringan-jaringan dan kelompok-kelompok informal di masyarakat.

Masyarakat sipil adalah bagian penting dalam sistem demokrasi. Sistem yang mengakui bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Selaras dengan itu, kita punya tugas dan wewenang untuk memantau serta mengawasi jalannya pemerintahan, lembaga-lembaga perwakilan, hukum, berikut kebijakan-kebijakan yang dihasilkan. Tak lain karena itu semua menyangkut hajat hidup kita sekalian. Masyarakat sipil adalah pilar kekuataan penyeimbang terhadap negara yang memiliki potensi besar untuk korup dan menyalahgunakan kekuasaan.

Berkelompok merupakan daya utama dari masyarakat sipil, yakni kemampuan untuk berinterkasi dan berelasi satu sama lain. Warga sipil bisa bersinergi merangkai kekuatan melalui pembentukan komunitas, koperasi, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi dengan fokus kajian tertentu seperti bidang lingkungan hidup, korupsi, hukum, buruh dan lain-lain. Gerakan-gerakan yang melakukan aksi massa juga merupakan bagian dari ekspresi kekuatan masyarakat sipil.

Dalam situasi sekarang, kita diingatkan tentang pentingnya pendidikan politik bagi warga. Yakni suatu proses pembelajaran guna meningkatkan wawasan dan partisipasi politik masyarakat serta untuk mencapai pemahaman mendalam dalam kedudukan mereka sebagai warga negara. Untuk batasan tertentu, materi Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah adalah bentuk dari pendidikan politik. Selain membaca, kita bisa pula mengeksplorasi secara mandiri wawasan serta dinamika politik, misalnya melalui kanal-kanal di Youtube yang mendidik, terbuka, tidak mengindoktrinasi dan tidak dogmatis.

Mari bangkit dan bangun! Warga sipil harus berdaya, berbudaya kritis, dan saling menjaga untuk mengawal laju demokrasi serta perjalanan bangsa kita. Agar cita-cita keadilan dan kesejahteraan sosial benar-benar menjadi milik bersama. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.