Persoalan tambahan yang mengemuka seiring invasi membabi buta Israel di Jalur Gaza adalah peningkatan sentimen antisemitisme di berbagai penjuru dunia. Selama hampir dua bulan terakhir pasca serangan Hamas 7 Oktober 2023, Israel secara konsisten dan masif menggempur kawasan sipil Gaza tanpa pernah memperhitungkan aturan perang sama sekali. Korban jiwa di pihak Palestina pun telah mencapai lebih dari 14.000 jiwa, belum termasuk ribuan korban yang disinyalir tertimbun reruntuhan bangunan. Genosida yang dilakukan pemerintah Zionis Israel telah menyulut gelombang emosi global dan kian membuat kusut sentimen kebencian menyejarah pada kaum Yahudi yang semestinya disudahi bersama. Kita bisa terjerumus pada generalisasi berbahaya, pencideraan kemanusiaan, serta kerugian internal usaha membebaskan Palestina, jika tidak cermat membedakan antara antisemit dengan perlawanan terhadap Zionisme.
Akhir Oktober ini misalnya, terjadi insiden menegangkan. Ratusan masyarakat Dagestan Rusia menyerbu bandara guna menyerang sejumlah penumpang Yahudi yang dikabarkan baru mendarat dari Tel Aviv. Pengepungan serupa oleh warga Dagestan juga terjadi sebelumnya di sebuah hotel untuk menyisir tamu Yahudi. Para penyerang itu menolak kehadiran orang Yahudi sekaligus menuntut mereka agar pemerintah Israel menghentikan kebiadabannya. Sinagoge di Jerman bahkan dilempari bom molotov dan bangunan di Berlin yang dihuni orang-orang Yahudi digambari lambang swastika.
Antisemit mengemuka dalam beragam bentuk. Anak-anak perempuan di London yang tengah bermain di taman, mereka dikatai sebagai “Yahudi busuk” dan dilarang untuk bermain perosotan. Seorang warga Yahudi London bernama Anthony Adler (62) mengungkapkan ketakutannya pasca meletusnya perang antara Israel dan Hamas. Untuk sementara waktu ia memilih menutup dua sekolah Yahudi yang ia kelola karena khawatir murid-muridnya menjadi sasaran serangan. Teriakan “bunuh orang Yahudi” dilontarkan oleh seorang pria di Los Angeles yang juga mencoba menerobos masuk ke rumah sebuah keluarga. Kebencian pada segala yang menyangkut dengan bangsa Yahudi pun selama ini masih kuat di masyarakat Jerman.
Ekspresi antisemit dalam sejumlah kasus umumnya berupa hinaan, ancaman, pelecehan verbal, teori konspirasi, hingga perusakan properti maupun tempat ibadah kaum Yahudi. Polarisasi pasca serangan 7 Oktober ini semakin tajam dan melebar karena sentimen islamofobia juga turut meningkat, terutama di Barat. Kepolisian di Amerika menerima semakin banyak laporan kejahatan atas dasar kebencian yang menimpa umat Muslim, di samping Yahudi. Eskalasi tragedi di Gaza ini tampak berkorelasi kuat dengan peningkatan kebencian yang pelik terhadap Yahudi dan Muslim secara bersamaan. Kita menyaksikan bagaimana kebencian dan kekerasan adalah teologi penghancur.
Antisemitisme merupakan bentuk prasangka kuno menyangkut kebencian rasial yang telah ada selama berabad-abad. Suatu perasaan tidak suka terhadap segala hal yang berkaitan dengan bangsa Yahudi. Antisemitisme adalah kejahatan kemanusiaan. Melalui teori representasi sosial bisa dipahami, bahwa representasi sosial negatif Israel dan Yahudi yang berkembang di media, wacana politik, dan pembicaraan serta pengalaman harian menjadi faktor penentu utama antisemitisme. Dalam konteks terkini, pemberitaan tentang kekejaman tak terperikan rezim Israel di Gaza, pengalaman sehari-hari bangsa Palestina yang tersiksa oleh berbagai kebijakan Israel yang mengemuka di media, menjadi susunan proses psiko-sosial yang membentuk representasi tertentu atau gambaran yang mewakili identitas Israel dan Yahudi. Di titik ini rawan terjadi generalisasi. Menganggap semua umat Yahudi sebagai pelaku kejahatan yang mengancam sehingga suburlah antisemitisme.
Sementara anti-Zionisme merupakan penentangan terhadap ideologi politik Zionis, yang kini telah menyebabkan pengusiran jutaan penduduk Palestina dari Tanah Air mereka. Melansir dari laman jewishvoiceforpeace.org, anti-Zionisme berarti pula sikap menentang pembentukan negara-bangsa Israel dengan hak eksklusif bagi warga Yahudi di atas warga lainnya di wilayah tersebut. Sikap anti-Zionisme disertai pula dengan dukungan terhadap keadilan dan pembebasan bagi rakyat Palestina, termasuk hak mereka untuk pulang ke rumah dan tanahnya.
Zionisme sendiri mengacu pada suatu gerakan politik-ideologis kebangsaan Yahudi yang menganjurkan berdirinya negara-bangsa Yahudi di tanah Palestina. Kawasan yang diklaim sebagai tanah leluhur bangsa Yahudi yang disebut “Tanah Israel”. Oleh Inggris, bangsa Yahudi dijanjikan untuk membentuk ‘rumah nasionalnya’ sendiri, yang mengakibatkan gelombang migrasi orang-orang Yahudi diaspora menuju Palestina terus terjadi sejak Deklarasi Balfour dikeluarkan oleh pemerintah Inggris pada tahun 1917. Sejak itu wilayah Palestina terus dicaplok oleh Zionis Israel dan jutaan rakyatnya terusir dari tanah mereka.
Jangan kehilangan fokus untuk melawan perilaku Zionis Israel yang mengangkangi hukum-hukum internasional dan kemanusiaan. Yang kita perangi adalah penjajahan, genosida, perampasan paksa tanah-tanah warga Palestina, apartheid, pembatasan berbagai hak-hak sipil rakyat Palestina, dan daftar dehumanisasi lain dari Zionis Israel, bukan identitas rasial-keagamaan orang Yahudi. Di saat yang sama kita tetap harus terbuka menghormati eksistensi Yahudi sebagai umat yang berhak hidup. Tidak sedikit orang Yahudi serta rabi-rabi Yahudi yang juga mengutuk kekejaman Zionis. Sebab ajaran Yudaisme sendiri tidak membenarkan hal demikian.
Salah arah sikap dalam menanggapi kekejaman Zionis Israel dengan aksi penyerangan individu atau ruang komunal Yahudi, ataupun menyalahkan orang Yahudi atas tindakan pemerintah Israel merupakan tindakan antisemit yang hanya akan menyuburkan kebencian dan menghambat perdamaian dan keadilan. Lebih-lebih, sikap ofensif terhadap Yahudi itu justru akan dimanfaatkan Zionis Israel sebagai dalil untuk menguatkan posisi mereka mempertahankan pendudukan di Palestina. Kita harus jernih betul dalam memilah ekspresi, karena Israel dan kroninya dengan sesuka memutar argumen untuk mengesankan bahwa mereka adalah korban rasisme antisemit. Mereka berkampanye mendefinisikan ulang dan sengaja salah mengartikan makna antisemitisme, tujuannya untuk menyamakannya dengan kritik terhadap Zionisme atau Israel.
Kebiadaban rezim Zionis Israel bukan legitimasi untuk berlaku jahat pada umat Yahudi. Mengkritik Israel atau kebijakannya pun bukanlah suatu bentuk antisemitisme—banyak orang Yahudi yang melakukan hal itu. Rumit memang menyigi emosi di tengah gejolak pembantaian kemanusiaan di Palestina. Tapi tidak ada pilihan bagi kita selain bijak melakukannya. Jika tak hati-hati membedakan antara antisemitisme dan anti-zionisme, salah-salah kita bisa terjebak dalam paradoks kontraproduktif, di mana kita memperjuangkan kemanusiaan bangsa Palestina, tapi di saat yang sama justru mendelegitimasi kemanusiaan umat Yahudi melalui sikap antisemitis. Dengan kata lain, perjuangan pembebasan Palestina dan melawan antisemitisme merupakan hal yang saling berkaitan secara positif. Dua gerakan yang harus berjalan seiring dan saling mendukung. Wallahu a’lam. []