Kita dibuat jengkel dan prihatin luar biasa ketika berita tentang kekerasan seksual di pesantren susul-menyusul mengemuka. Bagaimana bisa lembaga pendidikan keagamaan yang dipercaya sebagai laboratorium pendidikan moral justru menampilkan aktor-aktor amoral. Pelaku kekerasan seksual tersebut biasanya adalah ustad, kiai, gus (putra kiai), atau pimpinan dari pesantren itu sendiri terhadap para santriwatinya. Sebut saja kasus pemerkosaan terhadap 13 santriwati pesantren di Bandung pada tahun 2021 silam yang dilakukan oleh Herry Wirawan, pimpinan pesantren tersebut. Hingga lahir 9 bayi dari aksi bejatnya itu. Yang tak kalah fenomenal adalah kasus Moch Subhi Azal Tzani (Bechi), putra dari pengasuh salah satu pesantren di Jombang yang mencabuli beberapa santriwatinya. Kasusnya berlarut-larut selama sekitar empat tahun hingga proses penangkapan Bechi oleh aparat kepolisian pun amat dramatis karena dihalangi simpatisan dan para santrinya. Para santriwati yang mestinya mendapat hak pendidikan dan ruang aman justru harus menderita trauma berlapis akibat kekerasan seksual yang dialaminya.
Masih banyak kasus serupa selain dari dua contoh di atas. Data Komnas Perempuan menyebutkan, ada 2.851 kejadian kekerasan seksual yang kebanyakan terjadi di organisasi keagamaan pada rentang tahun 2011 sampai 2019. Sedangkan dalam laporan tahunan KPAI dinyatakan ada 18 kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan sepanjang tahun 2021, di mana 14 kasus di antaranya ada di institusi pendidikan agama (Rosa, 2021 dalam Uraidhi, dkk, 2023).
Sebuah realitas yang menunjukkan bahwa kekerasan seksual tidak pandang siapa dan di mana, termasuk di lembaga keagamaan dan dilakukan oleh orang dengan otoritas pengetahuan agama. Dua contoh kasus tadi setidaknya menggambarkan bagaimana kerja dari relasi kuasa, ajaran kepatuhan total yang cenderung dogmatis di lingkungan pesantren (sami’na wa atha’na, kami mendengar dan kami mematuhi), indoktrinasi ajaran berbau agama/spiritual, serta sakralisasi pemuka agama yang saling berkait kelindan satu sama lain. Struktur relasi dominatif nampak dari hubungan antara guru/kiai dan santri. Seorang santriwati berhadapan dengan kiai, seorang awam berhadapan dengan pemilik otoritas wawasan keagamaan, anak berhadapan dengan orang dewasa, pun perempuan berhadapan dengan laki-laki (dalam kultur patriarki), menunjukkan relasi kuasa yang timpang yang kerap menengarai terjadinya kekerasan seksual di pesantren.
Kiai atau guru memiliki posisi yang membuatnya bisa melakukan kontrol dan pengaturan terhadap para santrinya. Dalam hal ini, kuasa dan wewenang tadi sering menjadi instrumen untuk membujuk, menekan, bahkan memanipulasi korban untuk bisa melakukan aksi kekerasan seksual terhadap mereka. Dalam kasus Herry Wirawan misalnya. Para korbannya diiming-imingi biaya sekolah gratis, dibiayai kuliah, hingga dijanjikan menjadi polwan. Mereka adalah anak-anak dalam rentang usia 13 sampai 17 tahun. Tak sedikit pula korban kekerasan seksual yang dipaksa agar diam tidak menceritakan kepada orang lain tentang apa yang dilakukan pelaku kepada mereka.
Posisi di bawah kontrol ini membuat korban dalam kondisi serba sulit. Terlebih konsep ‘kepatuhan total’ terhadap guru demikian kuat mengakar dalam kultur pesantren dan cenderung mengarah pada pengultusan para pemuka agama. Sami’na wa atha’na dianggap sebagai prinsip adab seorang murid terhadap guru agar mendapat limpahan berkah gurunya. Membuat seorang santriwati seperti tak punya pilihan selain mengikuti apapun yang diperintahkan seorang kiai/guru. Struktur posisi ini membuat korban takut dan bingung jika ingin menolak perintah dari sang guru/kiai. Mempertanyakan atau mengkritisi justru dicap tercela dan minus etika. Seorang kiai tak hanya ditempatkan sebagai pimpinan lembaga, tapi juga sumber spiritualitas dan standar moral yang kian menyakralkan kedudukannya. Apa yang dikatakan seorang kiai menjadi semacam ‘kebenaran’ yang mesti diikuti. Cilakanya, konsep sami’na wa atha’na ini pun tak jarang dimainkan untuk memperdaya dan memanipulasi korban.
Tak hanya itu, kekerasan seksual di pesantren juga terjadi karena indoktrinasi ajaran tertentu dengan membawa embel-embel agama, kesaktian, atau spiritualitas. Kasus Bechi menjadi contoh yang representatif dalam hal ini. Kepada para korbannya, Bechi berseloroh tentang ilmu metafakta yang dikatakannya sebagai ilmu kesaktian yang bisa mengabulkan keinginan si pemilik hajat serta dinilai bisa menyembuhkan penyakit. Namun untuk mentransfer ilmu tersebut Bechi mengharuskan korban untuk melepas semua pakaian mereka. Para korban pun menolak karena merasa itu tidak masuk akal, namun tetap dipaksa karena menurutnya metafakta tidak bisa bekerja dengan nalar akal. Bechi menyebarkan pula doktrin bahwa vagina adalah jalan mulia yang tidak boleh dimasuki orang selain dirinya.
Dampak yang dialami para santriwati korban kekerasan seksual tidaklah main-main. Secara psikologis mereka trauma, batin mereka terluka. Ada rasa marah, malu, takut, kecewa, frustrasi, merasa tidak berharga dan tidak suci, sedih, yang semuanya berkecamuk menjadi satu. Sakit fisik pun mereka alami akibat tindakan seksual yang dipaksakan. Dampak sosial juga kian menambah beban korban kekerasan seksual. Tak jarang mereka dihina, dikucilkan, dianggap sebagai aib, dinilai mencemarkan nama baik keluarga/pesantren, bahkan ditolak oleh keluarga atau lingkungannya sendiri. Kompleksitas dampak ini adalah beban berlapis bagi korban yang harus menjadi perhatian bersama.
Melansir dari laman ditpdpontren.kemenag.go.id Kementerian Agama menyatakan telah menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No 73 tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. PMA ini mencakup tujuh bab, yakni: ketentuan umum; bentuk kekerasan seksual; pencegahan; penanganan; pelaporan; pemantauan dan evaluasi; sanksi dan ketentuan penutup. Dengan total 20 pasal. Terbitnya PMA ini tentu menjadi kabar baik yang mesti didukung dan terus disebarluaskan.
Di sisi lain, pengawasan terhadap izin pendirian pesantren dan aktivitas pondok pesantren juga perlu ditingkatkan. Seperti yang disampaikan oleh Wamenag, Zainut Tauhid Sa’adi (nasional.kompas.com 13/01/2022), ia mengusulkan agar Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren ditinjau ulang dan direvisi karena UU tersebut belum mengatur adanya pengawasan terhadap pondok pesantren.
Tentu tidak arif menyebut semua pesantren itu buruk atau melanggengkan kekerasan seksual. Namun, bagaimanapun kasus kekerasan seksual di pesantren adalah rapor merah yang sangat memprihatinkan. Pesantren merupakan institusi keagamaan yang idealnya mengajarkan pendidikan moral sekaligus mempraktikkannya. Adalah tugas kita bersama untuk menjamin bersihnya pesantren dari kejahatan kekerasan seksual. Pemangku kebijakan mesti memberikan payung hukum yang kokoh dalam hal pencegahan, pengawasan, dan penanggulangan kekerasan seksual di pesantren. Otoritas pesantren harus terus belajar, berbenah, dan menciptakan iklim pembelajaran yang terbuka, dinamis, kritis serta peka keadilan gender. Orang tua pun juga mesti memerhatikan anak-anaknya. Dan siapapun pada kapasitasnya bisa berkontribusi untuk mengatasi bencana ini. Para santri berhak mendapat ruang aman untuk bertumbuh dan belajar. Mereka harus merdeka dari tindak asusila kekerasan seksual. Wallahu a’lam. []