Modernisasi Butuh Spesialis, Bukan Kontroversialis

KolomModernisasi Butuh Spesialis, Bukan Kontroversialis

Kasus kontroversi Panji Gumilang dan pesantrennya, Al-Zaytun Indramayu, terus dikembangkan hingga hari ini. Sosok agamawan yang memiliki spirit modernisasi pendidikan Islam ini, viral karena kerap mengangkat pendapat yang sangat kontroversial dari praktek fikih dan pemikiran Islam arus utama yang berkembang di Indonesia, bahkan di dunia. Kasus yang paling membuat banyak pihak tidak tahan untuk segera melaporkannya atas tuduhan penistaan agama ialah narasi heterodoksnya tentang al-Qur’an. 

Dalam cuplikan video yang beredar, Syekh Al-Zaytun alias Panji Gumilang menyebut al-Quran sebagai pernyataan Nabi SAW, “Bukan kalam Allah. Kalam Nabi Muhammad, yang didapat dari wahyu” ucapnya. Rekaman ini membuat ia dianggap meragukan al-Qur’an. Sulit memahami konteks pembicaraan dari video yang dipotong-potong seperti itu. Apalagi cuplikan video semacam ini belakangan jadi modus untuk membuat banyak kesalahpahaman. Namun, penting juga memahami sedikit isu teologi diskursif yang terlanjur timbul ditengah masyarakat ini.

Pada dasarnya, diskursus tentang sifat wahyu dan kontribusi manusiawi Nabi dalam membentuk isi al-Qur’an adalah bagian kajian kritis Islam Kontemporer, yang banyak melahirkan gagasan baru dan pemikir Muslim modern. Seperti Mohammed Arkoun, Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Shabestari, dan Abdul Karim Shorrosh. Mereka telah menangani kajian ilmiah yang rinci ini untuk melihat al-Qur’an dengan pendekatan humanistik dan historis, yang kontras dari pandangan eksklusifitas al-Quran muslim dominan. Asumsi paling umum dan simplistic terhadap pemikiran tokoh-tokoh ini ialah ‘mereka menganggap al-Quran sebagai interpretasi Nabi SAW’. 

Kesimpulan seadanya inilah yang dinarasikan ulang oleh Syaikh al-Zaytun dalam video yang akhirnya viral itu. Mencontoh pandangan pemikir modern merupakan satu hal yang perlu dilakukan dengan hati-hati, apresiatif-kritis, terutama dalam menyampaikannya. Tentu kita sangat menghargai kajian ilmiah kealqur’anan yang berkembang lebih humanis, dan mungkin perlu menggalinya. Namun, kita perlu waspada dengan orang, atau diri kita sendiri, yang mencoba mengartikulasikan teologi diskursif ini tanpa struktur pengetahuan khusus di dalamnya, dan tanpa pengalaman studi dibawah bimbingan pakar sebelumnya.

Baca Juga  Kiai Baidlowi Lasem: Ulama Nusantara Mendunia di Tanah Haramain

Seseorang yang hanya mempelajarinya secara otodidak tidak berhak menjelaskan masalah prinsipil dan terperinci ini, karena dapat menjerumuskan pada gagasan-gagasan yang salah, ambigu, atau tidak sesuai dengan sumbernya. Seperti, jatuh pada kesimpulan bahwa menafsirkan dan memahami al-Qur’an secara rasional lebih penting dan berkualitas daripada aktivitas spiritual membaca dan menghafal al-Qur’an. 

Perlu digaris bawahi juga, bahwa pengkajian ulang teori-teori wahyu tradisional, terutama hubungan komunikatif antara Tuhan dan Nabi-Nya, berkaitan erat dengan kebutuhan mendesak untuk memperbaharui praktik tafsir. Bukan untuk meragukan al-Qur’an. Para tokoh pemikir Islam kontemporer di atas yang tidak meragukan otentisitas dan kredibilitas al-Quran, segala aspek metafisik wahyu kitab suci umt Islam ini tidak lagi dipertanyakan dalam diskursus ini. 

Peran mereka adalah sebagai pendukung penafsiran, bagi kebenaran yang ditemukan dalam Wahyu al-Qur’an. Penelitian dan pembacaan mendalam pada literatur para pemikir tersebut, yang disuguhkan Ali Akbar dalam makalah berjudul Towards a humanistic approach to the Quran (2018), dapat menemukan benang merah ini. 

Maka dari itu, teori wahyu modern dalam bidang teologi diskursif bukanlah tema ceramah atau pengajian yang mudah diajarkan kepada santri dan masyarakat umum. Isu teologi diskursif modern tidak dapat diajarkan oleh sembarang orang tanpa kualifikasi dan keahlian yang jelas di bidangnya, karena dapat menimbulkan kesalahpahaman. Kesalahan utama para narator modernisasi seperti Panji Gumilang ialah mencoba mengimitasi topik ‘reformasi teologi’ dalam keilmuan Islam Kontemporer, tanpa spesialisasi di bidang tersebut. Terlebih, tidak mudah menemukan karya ilmiah dan jejak intelektual Syekh Al-Zaytun ini.

Singkatnya, Modernisasi Islam membutuhkan agamawan spesialis di bidang-bidang penting dalam agama, yang bijaksana mengolah gagasan pembaharuan, bukan narator agama yang kontroversial dan memperkeruh wacana.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.