Kritik Toleransi Sensasional ala Pesantren Al-Zaytun

KolomKritik Toleransi Sensasional ala Pesantren Al-Zaytun

Pesantren al-Zaytun menggulung ombak kecemasan sosial yang kian membesar. Dari sekian topik kontoversinya, pesantren ini konsisten menyerempet isu toleransi dan hubungan antar umat beragama dengan pendekatan sinkretis. Tidak mengherankan, toleransi beragama menjadi wajah Ponpes Al-Zaytun karena institusi ini telah melabeli diri sebagai “Pusat Pendidikan Pengembangan Budaya Toleransi dan Budaya Perdamaian.”

Sejak lama, Ma’had Al-Zaytun dan pimpinannya berusaha keras untuk terlepas dari tuduhan tentang afiliasi gerakan separatis Negara Islam Indonesia (NII), terutama dengan mengembangkan gagasan toleransi agama yang Pancasilais. Namun, budaya toleransi dari pesantren ini belakangan viral secara tidak sedap. Seperti aksi menyanyikan lagu umat Yahudi, memberi salam bahasa ibrani, dan menempatkan non-muslim dalam shaf shalat berjamaah. Aksi eksentrik semacam ini kerap lahir dari ambisi toleransi beragama yang tidak moderat, berlebihan, dan cenderung menyimpang dari kelaziman. Pada akhirnya, sensasi ini mengundang reaksi negatif dan menjadi seranagn balik bagi wacana toleransi kita.

Praktik-praktik toleransi beragama seperti yang ditampilkan Ponpes al-Zaytun demikian itu, sayangnya, justru melegitimasi ketakutan pada wacana liberalisme dan pulralisme agama, yang sering disalahpahami sebagai bagian moderasi beragama. Padahal, asumsi bahwa toleransi bergama berarti menganggap semua agama dan tuhan adalah sama, merupakan kesalahapahaman yang telah berulangkali diluruskan dalam wacana moderasi beragama.

Mencampurbaurkan simbol dan ekspresi keyakinan antar dua entitas agama yang berbeda untuk menciptakan perdamaian, bukanlah praktik toleransi yang dapat dinilai Pancasilais. 

Penting untuk dibahami, bahwa perbedaan agama yang ada di negeri kita tidak diharmonisasikan dengan mencampurkan dan meyakini bahwa semua agama adalah sama secara teologis. Melainkan dengan menekankan sesamaan dan kesetaraan hak kebebasan umat beragama dalam mengamalkan agamanya masing-masing. Hal ini ditandai dengan menghargai dan mengadvokasi hak humanitas dalam beragama, serta tidak mencampuri urusan peribadatan agama lain. 

Ketuhanan yang Maha Esa, dalam sila pertama Pancasila, tidak pernah dimaksudkan untuk menyamakan tuhan semua agama, meskipun tak jarang disalahpahami demikian. Tafsiran singkat dari sila pertama memantik paradigma yang cukup jelas, “Setiap orang Indonesia bertuhan menurut agama dan kepercayaannya.”. Makna ini mengarah kepada dimensi manusiawi kita sebagai orang Indonesia, bukan dimensi teologis.tuhan dari setiap agama.

Baca Juga  Polemik Kitab Suci: 10 Tahun Kemudian

Meskipun pluralisme agama ada dalam diskursus keagamaan di Tanah Air, namun hal itu terbatas pada titik-temu gagasan, yang tidak menjadi praktik otoritatif keberagamaan di tanah air. Nurcholish Madjid, salah satu tokoh cendekiawan Muslim yang memiliki pandangan yang kuat tentang pluralisme agama, pun menegaskan bahwa meskipun agama-gagam memiliki akar yang saling terhubung, ekspresi simbolik dan formalistik tidak dapat dibaurkan. Dalam bukunya Islam Agama Kemanusiaan (hal.91), Cak Nur menulis, “Masing-masing agama, mempunyai idiomnya yang khas dan bersifat esoterik, yakni hanya berlaku secara intern.”

Mengekspresikan nyanyian rohani umat agama lain, atau mendudukkan non-muslim di tengah-tengan muslim yang shalat, bukanlah aksi inklusif, tetapi pelanggaran terhadap kesakralan, dimensi eklusif, yang ada ada dalam dalam setiap agama. Agama apapun tidak membutuhkan ekspresi simbolik tanpa pengahayatan dan kesadaran beragama dari umat lain seperti itu. Sebagai Muslim, kita tidak berhak merepresentasikan keyakinan agama lain, atau mengklaim ‘satu tuhan’ dengan orang berbeda agama. Hal bukan hanya tidak pantas secara teologis, tetapi juga tidak sopan dan bisa menyinggung rasa kesucian agama orang lain.

Singkatnya, toleransi sejati umat beragama yang berbangsa Indonesia adalah menerima dan menghargai perbedaan, tidak berusaha untuk bersikeras bahwa semua agama adalah sama.  toleransi mendukung dan mengakui suatu sistem yang beragam, bukan menghapusnya atau meleburkannya. Sebaliknya, pencampurbauran agama adalah satu bentuk kegagalan menghadapi perbedaaan yang mesti dihindari. Bangsa Indonesia adalah bangsa bertuhan yang diharapkan mengamalkan ajaran agamanya dengan sebaik-baiknya dan membawa perdamaian.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.