Tuhan menciptakan alam semesta sedemikian indah. Logika manusia terkadang tak bisa menjangkaunya. Sebagai rahmat istimewa yang diberikan kepada kita, maka mensyukurinya adalah sebuah kewajiban. Bentuk rasa syukur itu dapat diekspreksikan dalam wujud sikap tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan lingkungan alam.
Manusia sebagai khalifah pengelola bumi, yang memiliki fasilitas lebih dibanding makhluk-makhluk lain, sudah semestinya memiliki kepedulian penuh untuk merawat alam. Karena pada hakikatnya, Tuhan, kita (manusia), dan alam adalah kesatuan entitas yang mengandung kesucian. Mencintai alam semesta tak ubahnya mencintai Tuhan, dan merusak alam itu sama dengan mendurhakai-Nya.
Sayangnya, kehidupan manusia saat ini tidak bisa lepas dari eksploitasi alam maha besar. Tak hanya untuk memenuhi kebutuhan primer, tapi melesat jauh untuk pemenuhan ego dan keserakahan orang-orang kapitalis. Kapitalisme memiliki pola pandang, bahwa segala sesuatu yang meaningful haruslah memiliki nilai materi atau ekonomi. Pola pandang demikian, merebak di semua kalangan, termasuk umat Islam.
Kapitalisme memandang, sumber daya dari alam hanyalah sebatas benda hidup saja dan berjalan berdasarkan hukumnya, tak berkaitan dengan unsur metafisik. Pada akhirnya, setiap orang mengaggap bahwa alam sekitar haruslah memiliki nilai jual dengan pemanfaatan alam secara eksploitatif tanpa tanggung jawab mempertimbangkan keberlangsungan makluk hidup dan kelestarian ekosistemnya. Tidak pula memikirkan dampak negatif jangka panjang, yakni menurunnya kualitas lingkungan hidup sehingga dapat mengakibatkan meratanya bencana alam bahkan bisa berangsur mengakibatkan konflik sosial yang kompleks. Semua itu karena manusia tak lagi memandang alam sebagai makhluk yang perlu dijaga keberlangsungannya, sebagaimana Tuhan menciptakan alam untuk menjaga kehidupan manusia.
Krisis lingkungan hidup yang kian hari kian dianggap klise, membuatnya tidak ditangani secara menyeluruh dan serius. Selama ini seringkali hanya diambil pendekatan melalui perspektif kebijakan, hukum, atau pendekatan ilmu-ilmu teknis yang lain. Padahal, kegagalan utama dalam menyelesaikan persoalan lingkungan hidup terjadi karena aspek spiritual yang sebenarnya merupakan aspek fundamental dalam diri manusia selama ini tidak pernah dipertimbangkan, bahkan dilihat tidak memiliki korelasi sama sekali.
Peran ajaran Islam sebagai sumber etika dan moral dalam sisi teologis dan kultural sangat dibutuhkan karena dinilai dapat menjawab persoalan di atas. Terlebih lagi Islam memiliki konsep tasawuf atau sufisme yang bisa menjadi aset bagi environmentalisme Islam, dengan potensi untuk membina disiplin spiritual. Hubungan antara tasawuf, sebagai sebuah disiplin ilmu yang menempatkan penghayatan spiritual sebagai hal utama, dengan lingkungan hidup sebetulnya sangat erat.
Eco-sufism bisa menjadi sebuah tawaran untuk mengatasi krisis lingkungan melalui kesadaran moral spiritual yang dipakai sebagai modal paradigmatif yang efektif untuk mengubah cara pikir keliru pada lingkungan hidup. Sadar atau tidak, kita telah banyak berdosa terhadap alam, melanggengkan kejahatan, seperti menebang hutan sembarangan, membuang sampah tidak pada tempatnya, mencemari air dan udara.
Dalam sufisme terdapat istilah tajalli yang berarti bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan manifestasi atau penampakan sifat dan nama-nama Tuhan, sehingga manusia akan dapat mengenal Tuhan melalui tajalli-Nya. Dalam pandangan tsawuf, alam sekitar memiliki derajat yang tinggi dan sangat dihargai.
Manusia yang bijak (arif) adalah manusia yang memiliki visi jauh dan intuisi mendalam untuk menjaga panorama alam sebagai hadiah terindah dari Tuhan bagi manusia. Bahwa alam bukan semata-mata dianugerahkan Tuhan kepada kita untuk dieksploitasi guna memenuhi kebutuhan, hasrat, dan nafsu belaka, melainkan alam hadir sebagai sesama ciptaan Tuhan, sebagaimana kita manusia yang ikut membuktikan jejak kehadiran Tuhan di dalam jagat makrokosmos ini.
Sudah terlalu lama kita terjebak dalam paradigma berpikir yang keliru terhadap alam dengan adanya deklarasi oleh dunia sains modern, teknologi, dan ekonomi kapitalistik yang ternyata begitu menghisap. Kita kehilangan kesejatian diri karena hanyut dalam dogma tekno-ekonomis yang banyak merusak lingkungan hidup sekitar kita.
Dimensi jiwa-spiritual sebagai contoh local-wisdom kita miliki dari sisi kesakralan semakin termarginalkan karena manusia hanya memerhatikan urusan materi yang terepresentasi dalam kebutuhan-kebutuhan material manusia.
Sudah semestinya kita segera melakukan metanoia ekologis (pertobatan lingkungan) untuk mengembalikan keindahan dan kesakralan alam semesta. Dengan niat luhur yang harus mengkristal kukuh dalam hati dan menunjukkan komitmen nyata untuk membangun relasi yang lebih etis, estetis, humanis, dan yang pastinya harmonis dengan alam. Sesudahnya, bersama-sama menyongsong sebuah tatanan dunia baru yang bebas dari krisis ekologis, menyambut masa depan ekologi bumi yang semakin baik dan ideal.
Saatnya sebuah kesadaran kritis baru untuk memandang alam dan memperlakukannya dengan cara baru. Cara baru memandang alam itu muncul dari sisi spirit jiwa dan relasinya dengan lingkungan alam. Ya, sebuah eco-sufism mutlak dihayati oleh kita semua jika ingin menyelamatkan generasi masa depan anak cucu umat manusia. Karena kalau bukan sekarang, kapan lagi. Kalau bukan kita, siapa lagi? []