Spiritualitas Sosial dan Cinta Kasih

KontributorSpiritualitas Sosial dan Cinta Kasih

Pada momen Idul Adha, selal tampak solidaritas sosial yang nyata antarmanusia, terutama dari orang-orang yang berkecukupan secara ekonomi kepada masyarakat yang kurang mampu, khususnya yang benar-benar miskin dan sengsara. Solidaritas sosial yang dimaksudkan terjadi saat pembagian daging qurban. Saat Idul Adha, rakyat lapis bawah bisa merasakan nikmatnya  menyantap daging qurban.

Solidaritas  sosial atau kepedulian sosial merupakan salah satu pesan penting sekaligus nilai utama agama-agama. Jika disarikan dan dipadatkan, maka solidaritas sosial atau sipiritualitas sosial agama-agama terangkum dalam cinta kasih, keadilan, dan kedamaian. Inilah intisari dan saripati agama-agama dan religiositas.

Kaum beragama dan para agamawan seyogyanya tak hanya berkutat melakukan ibadah ritual yang berdimensi personal (antara manusia dengan Tuhan), melainkan juga melakukan ibadah sosial yang berkaitan dengan relasi antara manusia dengan manusia atau lebih luas lagi antara manusia dengan kehidupan yang nyata di dunia. Dalam konteks ini, surga tak hanya diangankan sebagai situasi yang nyaman dan enak kelak di akhirat, melainkan juga situasi yang nyaman, tenteram, adil, dan sejahtera saat ini di dunia yang nyata.

Pesan solidaritas sosial yang digemakan oleh Idul Adha seyogyanya tak hanya terjadi sesaat saat Idul Adha tiba, melainkan berkelanjutan sebagai tanggung jawab kaum beragama untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih beradab. Kehadiran agama-agama dan para pemeluk teguhnya terutama terasa dari sejauhmana mereka punya sumbangsih nyata bagi kehidupan yang lebih baik, bermaka, dan berguna; bukan sekadar berbondong-bondong melakukan ibadah ritual yang acapkali tampak sebagai gebyar luar belaka, kosong, tanpa esensi.

Banyak kaum beragama rajin melakukan ibadah ritual, namun tak berpengaruh apa-apa bagi kehidupannya. Rajin melakukan shalat, puasa, dan haji (bahkan berkali-kali), namun tetap melakukan korupsi. Bahkan, telah menjadi fenomena jamak di negeri ini tatkala agama dan ritual ibadahnya digunakan sebagai “kedok” untuk menyembunyikan dan menutupi tindakan yang jahat dan busuk. Manusia pun acapkali tampil dalam rupa-rupa bentuk dan aneka kedok yang menunjukkan fenomena apa yang disebut dalam ranah kajian psikologi sebagai “pribadi ganda”, “moral ganda”, atau “pribadi terbelah” (split personality).

Momen Idul Adha merupakan saat yang tepat untuk membuka “kedok” keburukan dan kejahatan yang potensinya ada pada setiap manusia. Idul Adha tak sekadar merupakan ritual penyembelihan hewan qurban, melainkan terutama “penyembelihan” watak manusia yang buruk dan jahat. Watak buruk dan jahat ini antara lain muncul dalam bentuk perilaku iri, dendam, korup, tamak, culas, hipokrit, sewenang-wenang, zalim, dan sebagainya.

“Menyembelih” Destruktifitas dan Primitifisme

Setiap Idul Adha tiba, manusia diingatkan untuk (kembali) “menyembelih” watak buruk dan jahat yang bisa bangkit kembali. Watak buruk dan jahat merupakan sisi “gelap” manusia yang tercermin dalam hawa nafsu dan watak yang destruktif (merusak). Nafsu angkara dan watak destruktif ini bahkan kadang bangkit dari orang-orang yang kesehariannya (tampak) berperilaku baik, tenang, ramah, dan santun sebagaimana bisa disimak pada berbagai peristiwa kriminal yang diungkap banyak media massa, cetak maupun elektronik. Naluri primitif dan destruktif bisa bangkit dari siapa pun, bahkan dari orang-orang yang kesehariannya tampak baik dan ramah sekali pun.

Baca Juga  Kitab Kuning di Tengah Kubangan Modernisme (Bagian II)

Idul Adha merupakan momen yang tepat bagi siapa pun untuk terus-menerus “menyembelih” nafsu-nafsu hewani, naluri-naluri primitif, destruktif, ego sentrisme, ketamakan, kemunafikan, kebohongan, dan seterusnya.

Selain itu, Idul Adha juga memberi hikmah tentang kesetaraan, toleransi, dan persaudaraan antarmanusia (ukuhuwah basyariah), apapun agama dan keyakinannya. Hal ini tercermin dari kumandang takbir dan ibadah shalat Idul Adha. Sewaktu melantunkan takbir, umat Islam bersaksi bahwa “Allah Maha Besar/Agung”. Hanya Allahlah yang Maha Besar dan Maha Agung, sementara manusia hanyalah kreasi-Nya yang berkedudukan sama dan setara antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam pemahaman yang seperti ini, semua manusia berkedudukan sama dan setara di hadapan Tuhan dan Sang Hidup, tak ada yang berhak mengklaim diri paling benar, paling superior, apalagi merasa “mewakili” Tuhan yang lantas mudah menghujat, mengkafirkan, memaksakan kehendak dan keyakinan, melakukan teror dan kekerasan, menghalangi seeseorang untuk mengekspresikan ibadah dan keyakinannya, dan seterusnya.

Shalat Idul Adha yang dilakukan secara massal di lapangan terbuka juga memberi pelajaran penting bahwa hanya Allahlah yang layak disembah, bukan yang lain seperti uang, kekuasaan, jabatan, popularitas, dan sebagainya. Implikasinya, manusia pun tidak tergila-gila uang dan jabatan, serta melakukan segala cara untuk meraihnya. Saat bersujud, manusia juga harus bertekad untuk merawat bumi, merawat kehidupan, dan memekarkan kehidupan di satu sisi, serta bersikap rendah hati (awas bukan “rendah diri”) pada sisi yang lain.

Manusia hanya mengagungkan dan menyembah Tuhan. Hal ini juga bertemu dengan spirit Nabi Ibrahim sewaktu melampaui cobaan yang kian mematangkan dirinya sebagai manusia saat diuji untuk “merelakan” dan “mengikhlaskan” apa yang sangat dicintainya di dunia ini, yaitu anaknya bernama Ismail (belakangan Ismail diselamatkan dan tetap berada dalam dekapan Nabi Ibrahim).

Idul Adha, dengan demikian, menebarkan hikmah ke “dalam” dan ke “luar” sekaligus. Ke “dalam” adalah menyucikan jiwa, batin, dan ruhani (“menyembelih” watak buruk dan jahat dan melepaskan diri dari keterikatan berlebihan kepada hal-hal duniawi yang fana dan sementara). Serta ke “luar” memupuk solidaritas sosial dan kepedulian kemanusiaan yang bermuara pada cinta kasih, kadilan, dan kedamaian.

M. Arief Hakim
M. Arief Hakim
Editor dan Penulis Freelance. Meminati Kajian Agama dan Kebudayaan. Sejak tahun 2015 menjadi Ketua Yayasan Hati Nurani Bangsa (YHNB)
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.