Pentingnya Dai Moderat

KolomPentingnya Dai Moderat

Ramainya fenomena hijrah membuat dahaga spiritualitas umat kian meningkat. Ditambah arus teknologi yang kian maju, menyebabkan dakwah yang disampaikan melalui media baru dipandang jauh lebih efektif dan efisien dalam penyebaran ajaran agama. Namun, banyaknya dai moderat yang setia pada dakwah head-to-head mengakibatkan dai-dai karbitan menjadi rujukan umat Islam di dunia maya.

Dakwah melalui media sosial memang merupakan solusi bagi eksistensi dai-dai pendatang baru. Media baru inilah yang memberikan ruang kepada siapa saja untuk bersuara, bahkan orang awam. Untuk itu, siapa saja memiliki peluang untuk menjadi dai atau ustadz. Mulai dari sini, media sosial menjelma pisau nan tajam. Siapa yang menggunakannya untuk memotong sayur, maka ia akan menghasilkan makanan yang sedap dan bergizi. Sebaliknya, jika ia gunakan pisau itu untuk keburukan, seperti merenggut nyawa seseorang, maka ia mampu mewujudkannya.

Meski demikian, penggunaan media sosial telah membudaya dalam keseharian kita. Untuk itu, melakukan dakwah di media sosial merupakan strategi guna menghadapi dinamika zaman. Hal ini yang kemudian menyebabkan akulturasi dunia modern dan Islam. Sayangnya, kesadaran dan keinginan untuk melancarkan dakwah melalui media baru yang mampu menjangkau Jemaah lebih luas baru dirasakan sebagian kalangan saja. Sedangkan jamak ulama moderat masih menempuh jalan lama. Meskipun metode tradisional ini juga tidak kalah penting.

Setidaknya terdapat dua hal utama yang melatarbelakangi pentingnya digitalisasi dai moderat. Pertama, Islam moderat (wasathiyyah) merupakan salah satu keistimewaan dakwah Islam. Pendakwah yang menyiarkan Islam moderat masih langka kita temui di dunia maya. Wasathiyyah atau keseimbangan yang dimaksud adalah tidak berlebihan-lebihan dalam beragama sekaligus tidak semena-mena, sampai syarat minimal saja tidak dipenuhinya.

Rasulullah SAW mengatakan, hindarilah oleh kalian sikap yang berlebih-lebihan (ghuluw) dalam beragama, karena hancurnya orang-orang dahulu hanyalah karena sikap mereka yang berlebih-lebihan dalam beragama [HR Ahmad, al-Nasai, dan Ibn Majah]. Imam al-Syaukani menjelaskan, orang-orang dahulu yang dimaksud adalah orang-orang Nashrani dan Yahudi yang berlebihan dalam menghormati Nabi Isa a.s. Mereka mengultuskannya dan menganggapnya Tuhan.

Di samping soal akidah, kita juga tidak diperkenankan bersikap melampaui batas atau ghuluw [al-Nisa (4): 171] dalam hal ibadah. Dalam hadis dikisahkan tentang sahabat Abu al-Darda yang tidak lagi mau dengan dunia, sampai istrinya (ummu al-darda) dalam keadaan lemas, lunglai, kumal, dan tidak bergairah. Yakni, Abu al-darda puasa tanpa berbuka dan melaksanakan shalat tahajjud tanpa tidur sama sekali. Namun, Salman al-Farisi, saudara angkatnya kemudian mengajaknya makan dan tidur yang kemudian diturutinya. Ketika menghadap kepada Rasulullah, beliau mengamini perilaku Salman. Untuk itu, berlebihan dalam hal ibadah, sampai menyiksa diri sendiri, sangat tidak diperkenankan. Begitu pula dalam persoalan mu’amalah dan lain sebagainya.

Baca Juga  2021, Kita Bebas dari Ujaran Kebencian

Beginilah sesungguhnya keistimewaan dakwah Islam yang disampaikan Nabi SAW. Ajaran Islam bertujuan untuk memanusiakan dan memuliakan manusia. Ia bukan ajaran langit, melainkan ajaran yang memerhatikan realitas atau situasi kondisi yang dialami manusia. Ajaran Islam memperlakukan manusia secara wajar, sebagai makhluk biologis yang membutuhkan makan, tidur, dan lainnya. Bukan sebagai malaikat dan makhluk-makhluk lainnya.

Moderasi beragama dalam dakwah inilah yang masih langka kita jumpai di media sosial. Padahal, jika saja dai moderat yang tentu saja memiliki kemapanan ilmu juga merambah ke dunia digital, maka dahaga spiritualitas masyarakat urban akan terpenuhi dengan baik. Tidak hanya sampai di situ, umat Islam juga akan tercerahkan dan tidak terjebak dalam klasifikasi hitam-putih hukum yang menyesakkan dan mematikan.

Kedua, dominasi dai karbitan yang mewarnai media sosial dan kini dijadikan rujukan ajaran agama. Dai karbitan yang dimaksud adalah mereka yang belum menguasai ilmu agama secara matang, tetapi dengan cara memanfaatkan ilmu retorika yang mumpuni, mereka mampu memengaruhi pemikiran masyarakat awam.

Karenanya, tidak heran jika dengan mudah kita jumpai, para artis, muallaf, mantan caleg, dan orang-orang dengan segudang profesi lainnya mendadak menjadi ustadz di media sosial. Dakwah Islam dijadikan senjata untuk meraih kepentingan mereka. Tanpa perlu belajar bertahun-tahun di pesantren. Tanpa perlu berguru dari kiai ke kiai. Bermodalkan pakaian bak ustadz dan keahlian berbicara, konten mereka memenuhi laman utama akun medsos kita.

Padahal, ilmu adalah cahaya yang menerangi kehidupan manusia. Berdakwah tanpa ilmu sama saja menebarkan kebodohan. Begitu pula berdakwah dengan ilmu yang belum matang, menyebabkan kesalahpahaman, bahkan kesesatan. Terlebih, membiarkan orang yang berdakwah dengan cara seperti itu sama saja membiarkan masyarakat tenggelam dalam kegelapan.

Untuk itu, jika saja khazanah keislaman di media sosial dibanjiri dai moderat yang mapan secara keilmuan, maka umat sejatinya akan selamat. Sebaliknya, membiarkan konten-konten karya dai karbitan menyebar menyebabkan kegelapan dan kemunduran umat Islam. Inilah pentingnya digitalisasi ulama moderat.[]

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.