Dahulukan Haji atau Menikah?

KolomDahulukan Haji atau Menikah?

Jika kita bertanya kepada ahli fiqih, apa yang harus diutamakan, haji atau menikah? Maka fawa yang akan dikemukakan adalah bahwa haji itu lebih utama. Sebab haji hukumnya wajib, sedangkan menikah itu sunnah. Dahulukan yang wajib daripada yang sunnah. Namun, jawabannya akan menjadi berbeda ketika kita mengamati dan menganalisa krisis yang dialami masyarakat Muslim masa kini. Karenanya, fatwa tersebut perlu ditinjau ulang.

Fatwa mengutamakan haji daripada menikah, bukan hanya mencerminkan kemampuan seseorang dalam membaca nash dan hukum Islam. Melainkan juga menunjukkan ketidakmampuannya dalam membaca realitas. Tak ayal, fatwa yang hanya berlandaskan pada teks dapat mengancam kemaslahatan umat dan mengakibatkan citra buruk bagi Islam.

Berbanding terbalik dengan pandangan al-Syirazi dalam kitab al-Muhadzdzab. Ia menjelaskan,

وإن احتاج إلى النكاح وهو يخاف العنت قدم النكاح لان الحاجة إلى ذلك على الفور والحج ليس على الفور

“Jika seseorang butuh menikah dan dia takut zina, maka didahulukan nikah. Sebab kebutuhan untuk nikah dalam hal ini lebih mendesak. Sementara haji bukanlah ibadah yang sifatnya mendesak”. Pernyataan al-Syirazi ini kemudian dijelaskan oleh al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, bahwa sebaliknya, jika tidak ditakutkan adanya perzinahan, maka penggunaan harta untuk membayar biaya haji lebih diutamakan.

Hal ini menunjukkan, bahwa situasi dan kondisi atau krisis yang dialami umat Islam memengaruhi status hukum. Sebagaimana seseorang yang hanya memiliki biaya untuk melaksanakan haji atau memenuhi kebutuhan menikah. Tidak keduanya secara bersamaan sebab keterbatasan materi. Jika merujuk pada fatwa al-Syirazi, maka menikah didahulukan ketika lebih dibutuhkan. Contohnya, seseorang yang jika tidak segera menikah, maka terancam membujang atau menjadi perawan tua.

Begitu pula ketika kita mengamati fenomena haji masyarakat Muslim Tanah Air. Mereka berbondong-bondong menjual properti miliknya sebagai modal pergi haji, termasuk ladang tempat ia menghasilkan nafkah. Habis-habisan menjual harta kekayaan demi mewujudkan pergi haji. Atau bahkan, tetap memenuhi biaya haji dengan cara membiarkan keluarganya terlilit hutang. Padahal, ‘kemampuan’ dalam haji sangat ditekankan [Ali Imran (3): 97].

Baca Juga  Imam Ja’far Guru Para Imam Madzhab

Namun pertanyaannya, adakah amalan atau ibadah yang pahalanya senilai dengan ibadah haji? Jika kita benar-benar meneladani dan merujuk kepada perilaku Nabi SAW tentu saja ada. Rasulullah SAW bersabda,  siapa yang shalat subuh berjamaah (di masjid), kemudian ia tetap duduk di tempat shalatnya untuk berdzikir kepada Allah SWT sampai terbit matahari. Kemudian, ia shalat sunnah dua rakaat, maka ia akan mendapatkan pahala ibadah haji dan umrah dengan sempurna [HR Tirmidzi].

Kiai Ali Mustafa menyebutkan lima syarat yang mesti dikerjakan oleh setiap Muslim untuk mendapatkan pahala haji dan umrah tanpa pergi ke Makkah. Pertama, shalat subuh berjamaah. Kedua, tetap duduk di tempat shalatnya. Ketiga, berdzikir kepada Allah SWT. Keempat, hal itu dilakukan sampai terbit matahari. Kelima, shalat sunnah dua rakaat.

Ulama berbeda pendapat tentang shalat dua rakaat yang disebutkan dalam hadis di atas. Ada yang menyatakan itu adalah shalat sunnah thulu al-syams (terbit matahari). Namun, Sebagian lain menyebutnya shalat sunnah muqaddimah dhuha (pembuka dhuha). Tidak soal nama shalat itu apa, yang terpenting kita niat shalat dua rakaat. Apabila lima syarat itu dikerjakan, maka kita akan mendapatkan pahala ibadah haji dan umrah secara sempurna. Tanpa pergi ke Makkah.

Untuk itu, seorang Muslim yang belum melaksanakan haji atau yang sudah melaksanakan haji dapat mempraktikkan ibadah tersebut. Di samping ibadah tersebut memiliki pahala senilai dengan umrah dan haji. Orang-orang yang sebenarnya belum mampu untuk pergi haji, tidak akan menyulitkan dirinya sendiri. Baik itu dengan cara mengusahakan pergi haji dengan cara menjerumuskan dirinya ke dalam kebangkrutan, maupun menyulitkan kehidupan dirinya dan keluarganya di masa mendatang.

Dengan demikian, mengamati dan memahami konteks kehidupan masyarakat masa kini sebelum memberi fatwa itu wajib. Sebab Islam pada dasarnya adalah agama yang memudahkan, bukan menyulitkan para pemeluknya. Bahkan, tidak membuat para pemeluknya menderita karenanya.[]

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.