Beberapa ulama menafsiri malam Lailatul Qadr dengan mengkalkulasi nilai pahala yang akan diperoleh umatnya Nabi Muhammad. Jika mendapat malam Lailatul Qadr yang nilainya seribu bulan, maka pahala yang didapat sama dengan beribadah selama kurang lebih 80-an tahun.
Ada juga ulama yang lain menilai malam Lailatul Qadr ini sebagai malam yang memang dikhususkan untuk umatnya Nabi Muhammad. Lantaran usia umatnya, termasuk Nabi Muhammad sendiri tidak panjang seperti halnya nabi dan para umatnya terdahulu yang mencapai ratusan tahun. Dari malam Lailatul Qadr inilah, nilai pahala dari ibadah umat Nabi Muhammad menjadi setara dan sejajar dengan umat dari nabi-nabi yang sebelumnya.
Penafsiran agak berbeda ihwal malam Lailatul Qadr bisa kita temukan ditulisannya Nurcholish Madjid dalam bukunya Pesan-Pesan Takwa (2000). Ia menguraikan sambil mengutip sabda Nabi Muhammad SAW, Apa yang kamu tunggu-tunggu insya Allah malam ini datang, karena aku telah melihat dalam visi (ru’yah) bahwa akan ada hujan lebat kemudian aku belepotan lumpur dan basah kuyup oleh air.”
Sabda ini dibuktikan langsung oleh sejumlah sahabat. Karena saat itu Masjid Nabawi masih sederhana, atapnya dari daun kurma dan lantainya dari tanah. Maka saat hujan turun siapa yang tengah berada di bawahnya akan basah kuyup disertai lumpur.
Nurcholish Madjid memaknai tanda datangnya malam Lailatul Qadr berupa air dan lumpur sebagai peringatan bahwa, kualifikasi paling tinggi dari pengalaman ruhani seorang muslim adalah kembali ke asal. Caranya yang pertama dengan menyadari siapa diri kita. Lumpur pada dasarnya jadi tanda manusia yang membumi, bukan melangit dengan sekian sikap yang emoh kalah, tidak peduli, sombong, dan semacamnya. Setelah itu, cara selanjutnya mesti meluber layaknya air. Mengalir dari tempat atas ke tempat yang lebih rendah tanpa memilih mana tempat yang ingin dialiri. Dari sini, manusia diajak untuk memanusiakan tidak hanya kepada sesama, tetapi juga kepada tumbuhan, hewan, bahkan makhluk lain yang tidak kasat mata.
Dua cara ini membuat seorang muslim akan mendapat jalan yang lapang saat kembali ke asal. Tetapi, kenapa kita mesti kembali ke asal? Mengutip jawaban dari Nurcholish Madjid, “… dorongan itu ada karena memang sebenarnya kita sudah terikat perjanjian primordial dengan Allah Swt bahwa kita akan mengakui bahwa Dia (Allah) adalah sebagai Rabb-un.”
Pada dasarnya, logika kalkulatif manusia tidak bisa menjadi justifikasi perolehan pahala dari setiap amal kebaikan yang ditunaikan. Kendati dalam literatur keislaman ditemukan rujukannya, tetapi prioritas pemberi pahala, hukuman, dan banyak ketentuan lainnya tetap berada di kuasa-Nya, Allah Swt.
Tidak sedikit di literatur keislaman, termasuk hadis dan tafsir dari ayat-ayat di Al-Quran yang menceritakan bahwa, ada manusia yang sepanjang hidupnya berlaku buruk lantas dosanya dihapus karena hanya sekali saja ia berbuat baik. Cerita semacam ini bertebaran. Saya rasa, tujuannya demi menegaskan status kehambahaan manusia yang tidak hanya ditentukan oleh dapat dan tidaknya malam Lailatul Qadr, tetapi karena laku takwa yang telah memperoleh ridha-Nya.
Singkatnya, Nurcholish Madjid mengajarkan untuk memaknai malam Lailatul Qadr dengan tidak melulu mengkalkulasi kuantitas pahala yang akan didapat, tetapi malam Lailatul Qadr dimaknai sebagai penyadaran tentang status kehambaan yang paripurna. Seorang hamba yang mesti menunaikan kebaikan di dunia kepada siapa pun dan dimana pun sebagai bekal yang akan kembali ke asal. Barangkali, malam Lailatul Qadr memang bisa didapatkan oleh setiap muslim jika ia mau dan memiliki sikap yang manusiawi.