Sejarah Konflik Mataram-Bali dalam Bayang Politik Pecah-belah-jajah VOC
Pada abad ke-17 M, terjadi pertikaian hebat antara Mataram dan Bali dalam memperebutkan wilayah Blambangan. Kedua kekuatan tersebut lekat dengan representasi agama, Mataram dengan keislamannya dan Bali dengan kehinduannya. Sehingga, sekilas hal ini nampak sebagai perang antara kubu Islam dan Hindu. Namun, apakah benar akar peperangan terjadi akibat perbedaan agama?
Memang masyarakat Mataram dan Bali menganut agama yang berbeda. Hal itu dapat menjadi sebab yang mempertajam konflik antara keduanya. Namun, itu tidak lantas berarti kalau semangat perang berakar dari ajaran Islam dan Hindu yang dianut oleh kedua masyarakat.
Kehadiran VOC (Belanda) dengan politik pecah-belah-jajah menjadi penyebab tak kasat mata gesekan agama antara Mataram dan Bali. VOC paham betul bahwa bukan perkara mudah untuk menundukkan Mataram maupun Bali. Untuk itu mereka butuh sesuatu yang dapat membuat keduanya menjadi rapuh. Sehingga, pada tahun 1633 M, sebagaimana penjelasan Nengah Bawa Atmadja dalam Geneologi Keruntuhan Majapahit (2010), VOC datang ke Bali untuk mengajak mereka bekerja-sama dalam memerangi Mataram.
Hal itu sejatinya bukan karena VOC ingin membantu Bali, melainkan merupakan
siasat politik pecah-belah-jajah mereka. Maksud VOC adalah ingin memanfaatkan perbedaan
agama kedua masyarakat. Dengan dalih masyarakat Mataram adalah Muslim, pikir mereka
orang Hindu Bali akan bekerja-sama untuk memerangi Mataram. Sehingga, mereka dapat
menunggangi keuntungan dari keadaan itu untuk menaklukkan Sultan Agung dan balanya.
Namun tidak seperti yang dibayangkan oleh VOC, semangat religiusitas Hindu Bali justru mendorong mereka untuk lebih menginginkan perdamaian dengan Mataram. Hal ini nampak pada sikap penguasa Kerajaan Gelgel (kerajaan penting di Pulau Bali) yang menolak tawaran VOC dengan dalih, “…Dewa Agung Susuhunan Bali dan Lombok sama sekali tidak memiliki niat untuk mengadakan peperangan dengan Mataram.” Sikap raja Gelgel itu menggambarkan, bagaimana ajaran kehinduan yang mereka pahami lebih menghendaki perdamaian daripada konflik dengan Mataram yang Muslim.
Namun, sayangnya, sikap Bali yang ingin damai tidak menghentikan niat Sultan Agung untuk menguasai Blambangan. Dia mengirimkan balanya di bawah kepemimpinan Pangeran Selarong dalam rangka menaklukkan daerah tersebut. Di sisi lain, karena Blambangan merupakan bagian sekaligus benteng Bali dari barat, sehingga mereka mengirimkan pasukan laskar Bali untuk berperang. Alhasil, perang Mataram-Bali dalam memperebutkan Blambangan tidak lagi terhindarkan.
Memandang penyerangan Sultan Agung terhadap Blambangan, yang waktu itu berpenduduk Hindu dan menjadi bagian dari kekuasaan Bali, adalah karena dorongan perbedaan agama, itu agak keliru. Sikap Sultan Agung jelas bukan bersumber dari ajaran Islam yang mengajarkan kasih, melainkan dari hasrat ekspansifnya yang ingin menguasai seluruh tanah Jawa. Sebaliknya, kalau kita melihat keislaman Sultan Agung, justru lebih dapat mendekatkannya untuk damai dengan masyarakat Hindu Bali.
Corak keislaman Sultan Agung, sebagaimana penjelasan DR Simuh dalam Sufisme Jawa (2019), memiliki unsur pembauran antara tradisi kejawen dan unsur keislaman. Dalam hal ini, sebab tradisi kejawen turut dipengaruhi unsur kehinduan, yang merupakan agama masyarakat Jawa sebelum Islam, sehingga menjadikan watak keislamannya akan mudah bertoleransi dengan Hindu Bali. Maka menjadi tidak mengherankan jika kemudian Sultan Agung mengesampingkan hasratnya menyerang Bali, dan lebih memilih melawan VOC.
Jadi konflik antara Mataram dan Bali bukan disebabkan karena perbedaan agama kedua masyarakat. Islam dan Hindu yang dianut oleh kedua masyarakat justru lebih menghendaki perdamaian daripada peperangan. Namun, karena hasrat kekuasaan kedua pihak membuat perang terjadi. Dan, kondisi itu makin menjadi-jadi dengan kehadiran VOC yang menjalankan politik pecah-belah-jajah.