Mengenyangkan Batin dengan Berpuasa

KhazanahHikmahMengenyangkan Batin dengan Berpuasa

Ibadah adalah seni yang merefleksikan cinta. Setiap ibadah yang kita lakukan merupakan bidang pengalaman indah yang berbeda-beda. Sebagaimana pula puasa di bulan Ramadhan, ibadah ini memberikan kita pengalaman fisik berupa lapar dan haus, yang sebenarnya mengenyangkan batin dan spiritualitas kita. Keindahan puasa dapat kita temukan dengan memahami hikmah dan makna puasa yang sesuai dengan maqashid Ibadah. Kita perlu menyesuaikan tindakan dan perbuatannya dengan keindahan dari ibadah puasa yang kita jalankan.

Salah satu fadhilah puasa adalah meningkatkan derajat ketakwaan. Bulan suci Ramadhan merupakan waktu yang paling mendukung bagi setiap Muslim untuk memperindah karakter dan ketakwaannya dengan berpuasa. Di bulan Ramadhan, amal ketaatan dimudahkan, sedangkan godaan maksiat dijauhkan. Rasulullah SAW bersabda, “apabila Ramadhan tiba, dibukakanlah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka, serta setan-setan dibelenggu” (HR. Bukhari). Syekh Izzudin bin Abdussalam menerangkan bahwa di bulan ramadhan banyaknya ketaatan menyebabkan dibukanya pintu surga, sedikitnya maksiat  menyebabkan tertutupnya pintu-pintu neraka. Dibelenggunya setan berarti mereka tidak bisa berharap orang-orang yang berpuasa mengikuti ajakan untuk berbuat maksiat. (Maqasid Ibadah, h. 80)

Indahnya peningkatan ketaqwaan dalam menjalani puasa Ramadhan, tentu tidak terlepas dari tindakan unik menahan lapar dan haus. Di balik kelaparan dan kehausan yang merupakan bagian paling nyata dari puasa, ada keindahan yang patut kita sadari sedang kita peroleh. Selain manfaat kesehatan tubuh, lapar merupakan kondisi yang ideal untuk mencapai kesempurnaan spiritual dan meraih ketakwaan. Keutamaan menahan lapar dan dampaknya pada jiwa ditekankan dalam berbagai riwayat, salah satunya, Nabi SAW bersabda, Hidupkanlah hati kalian dengan sedikit tertawa dan sedikit kenyang, dan sucikanlah ia dengan lapar, maka ia akan jernih dan lunak (HR. Muslim). Serta riwayat-riwayat lain yang berbunyi, ‘tuannya amal adalah lapar’ atau ‘lapar adalah kemurnian ibadah’.

Nabi SAW dan para pengikutnya yang shaleh selalu mengajarkan untuk menghindari sifat rakus yang memanjakan nafsu. Bagi banyak ulama, mempertahankan rasa lapar sangat penting karena dapat mempertajam pikiran dan, memberikan pemahaman pada hati nurani, sehingga membuat hati siap untuk memperoleh hidayah-Nya. Menahan lapar juga menurunkan intensitas nafsu indrawi dan motivasi untuk berbuat dosa. KH. Jalaluddin Rahmat di dalam buku The Road To Allah, menuliskan beberapa keutamaan menahan lapar dari Imam al-Ghazali. Di antara yang terpenting bahwa lapar membersihkan hati dan menajamkan mata batin, serta menekan mu’nah atau sifat konsumerisme.

Baca Juga  Yuk Ngaji Feminisme Islam

Tidak dipungkiri lagi, membiarkan diri dalam kondisi lapar dan puasa adalah tradisi para orang-orang shaleh yang mengenyangkan diri dengan ilmu dan ibadah. Keunggulan utama dari menahan lapar dan haus adalah kemurnian hati, ketajaman pikiran dan pemikiran, serta meringankan beban perjalanan spiritual.

Manfaat lapar juga bisa dilihat dalam al-Quran, yakni dalam surat al-Kahfi: 60-65, yang mengisahkan Nabi Musa yang melakukan perjalanan panjang untuk mencari guru spiritualnya. Setelah berjalan jauh, Nabi Musa yang ditemani seorang pembantunya mulai merasa lelah dan lapar, namun ikan yang telah mereka bawa sebagai bekal makanan telah terlepas ke laut sehingga tidak ada yang dapat mereka makan.

Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Musa bertemu dengan Nabi Khidir dalam keadaan lapar. Nabi Musa menjadi lebih siap untuk mempelajari realitas batin dari ‘hamba pilihan Tuhan’ ini, karena perut yang kenyang dapat menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu yang suci. Bahkan, menjelang akhir kisah perjalanan pendidikan spiritual tersebut, kita melihat bahwa Nabi Musa masih menahan lapar saat memasuki sebuah kota dan meminta makanan dari penduduk kota (QS. Al-Kahfi: 77). Untuk itulah, menahan lapar merupakan rahasia dalam memperoleh pengetahuan batin dan Ilmu sebab, seseorang perlu mengurangi kebutuhan tubuh yang mengalihkannya dari kebutuhan jiwa.

Dengan begitu, meskipun puasa lebih dari soal lapar dan haus, kondisi fisik yang kekurangan makanan dan minuman itu saja pun sudah berpengaruh besar bagi spiritualitas kita. Rasa lapar menjadi pengingat bahwa kita adalah hamba Tuhan yang taat. Rela meninggalkan hak manusia, termasuk makanan dan air, mengesampingkan ego dan nafsu, merupakan bukti bahwa kita lebih menginginkan keridhaan Tuhan. 

Dalam pengertian itu, puasa adalah tindakan yang memberi kita wawasan tentang apa artinya menjadi manusia rohani. Kita bukan sekadar makhluk yang hidup pada dimensi biologis sebagai pemakan dan peminum. Kita memiliki kemampuan cukup kuat untuk mengendalikan dan menahan diri, bahkan dari kebutuhan mendasar manusia sekalipun, yaitu makan dan minum.
Singkatnya, ibadah menahan lapar dan haus dalam menjalankan puasa, khususnya di bulan Ramadhan, merupakan amalan yang amat indah. Merenungkan ibadah puasa akan meningkatkan penghayatan kita tentang nilai dan makna puasa yang sedang kita jalani selama sebulan ini. Hakikat, keutamaan, dan hikmah puasa adalah seni yang dirasakan di hati dan dibuktikan dengan tindakan dan komitmen menahan hawa nafsu, demi peningkatan ketakwaan.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.