Indahnya Budaya Silaturahmi Lintas Iman

KolomIndahnya Budaya Silaturahmi Lintas Iman

Dalam masyarakat Sulawesi Utara, seperti di Desa Pinolosian, Kab. Bolaang Mongondow Selatan, adalah sesuatu yang sudah biasa, ketika di momen hari raya idulfitri ada tetangga yang non-Muslim datang bapasiar, sebuah istilah dalam dialek Manado yang artinya berpesiar, berkunjung, atau bersilaturahmi di rumah Muslim. Sama biasanya saat natal ada Muslim yang bapasiar ke rumah tetangga atau teman yang non-Muslim.

Budaya saling bersilaturahmi antara Muslim dan non-Muslim di momen hari besar masing-masing adalah hal yang indah masyarakat yang majemuk. Namun, budaya bapisar antar umat beragama ini juga tidak lepas dari pandangan sinis. “Kok ya Muslim merayakan idulfitri dengan non-Muslim. Itu kan tidak boleh. Sama tidak bolehnya dengan Muslim yang ikut natal”. Desas-desus komentar yang meragukan keabsahan budaya ini menyeruak setiap tahunnya.

Padahal, silaturahmi dengan tetangga, apapun latar belakang agamanya, merupakan budaya yang positif dan penting untuk dijaga. Sebab melalui budaya bapasiar inilah kerukunan antarumat beragama dapat terpelihara dengan baik. Dan lagi, non-Muslim bapasiar di rumah Muslim, maupun sebaliknya, bukanlah sesuatu yang dilarang dalam Islam. Justru, itu sejalan dengan akhlak Islam yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Islam bukan agama egois, yang melarang pemeluknya untuk merajut keakraban dengan pemeluk agama lain. Islam itu agama ramah, yang mengajarkan pemeluknya untuk membangun relasi sehat dengan seluruh manusia, meski manusia itu adalah non-Muslim. Melalui relasi sehat dengan umat yang berbeda agama, Islam menampakkan sifat rahmat bagi seluruh alam.

Oleh karena itu, Islam mengajarkan, sebagaimana penjelasan Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, sekalipun tetangga kita adalah non-Muslim, mereka tetaplah orang yang memiliki hak sebagai tetangga. Konsep yang sama juga berlaku bagi saudara maupun teman kita yang non-Muslim. Sekalipun mereka adalah non-Muslim, mereka tetaplah orang yang menjadi saudara maupun teman kita.

Baca Juga  Berbeda Bukan Berarti Bermusuhan

Nabi Muhammad SAW sendiri memiliki tetangga yang berbeda agama. Tentu, Nabi mengedepankan akhlak baik terhadap mereka, Beliau tidak pernah anti kepada tetangga yang berdeda agama. Dalam sebuah Hadis, Sahabat Nabi, Anas bin Malik menceritakan bahwa, seorang yahudi mengundang Nabi s.a.w. untuk bersantap roti gandum dengan acar hangat, dan Nabi s.a.w. pun memenuhi undangan tersebut. (HR Imam Ahmad)

Dalam ajaran Nabi Muhammad SAW, tetangga memiliki hak atas adab dan akhlak baik kita, apapun latar belakang agamanya. Faqihuddin Abdul Kodir dalam Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama (2022), menelaskan bahwa tetangga harus dihormati, dikunjungi, saling menjaga, dan saling menolong satu sama lain. Termasuk, dalam hal ini, adalah menerima kunjungan tetangga, saudara, atau teman kita yang non-Muslim pada saat momen perayaan idulfitri.

Laku bapasiar non-Muslim di rumah Muslim ketika lebaran, sesungguhnya, merupakan bagian dari kesadaran mereka untuk menjaga hubungan baik dengan kita. Momen idulfitri adalah saat-saat potensial untuk merekatkan kerukunan dan kekeluargaan. Oleh karena itu, jika dalam riwayat Nabi memenuhi undangan tetangganya yang Yahudi, maka kita pun perlu mecontoh akhlak Nabi ini, dengan cara menyambut secara baik kedatangan non-Muslim yang datang bapasiar.

Maka dari itu, jika siapapun yang datang bapasiar atau memberi ucapan selamat idulfitri, jangan pernah ragu untuk menyambutnya dengan baik, apapun latar belakang keimanannya. Alangkah indahnya bermaaf-maafan dan berbagi kebahagiannya dengan semua orang-orang disekitar kita, tidak terbatas dengan yang seagama saja. Itu juga merupakan Ikhtiar bersama untuk menjaga keharmonisan hidup bertetanga seperti yang diajarkan Nabi SAW.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.