Mitos Pendidikan Tinggi Perempuan

KolomMitos Pendidikan Tinggi Perempuan

Memperbincangkan sosok perempuan kian menarik dari waktu ke waktu. Apalagi perempuan pinggiran kota dan pelosok desa. Sebab, akan mengantarkan kita pada ruang-ruang dilematik dan penuh kekecewaan. Perubahan zaman dengan segala kemajuan dan perkembangannya, seakan tak memberi dampak apapun terhadap cara pandang sebagian masyarakat kepada perempuan, terutama di pelosok pedesaan.

Pola pikir lama yang memandang perempuan lemah, status sosialnya di bawah laki-laki, tak layak memegang kekuasaan, dan menjadi pelengkap hidup laki-laki tetap mereka pertahankan sampai hari ini. Pembicaraan seputar karier dan pendidikan bagi perempuan desa dianggap tabu. Cita-cita untuk memiliki karier dan pendidikan yang mapan tak lebih dari sekadar imajinasi dan mimpi belaka.

Obrolan negative di tengah masyarakat tak terhindarkan, ketika ada anak perempuan desa yang melanjutkan studi pendidikannya hingga ke perguruan tinggi. Ada mitos yang terus dipercaya masyarakat bahwa, “Setinggi dan sesukses apapun karier serta pendidikan seorang perempuan, pada akhirnya tugas utamanya adalah menjadi ibu rumah tangga yang tugasnya sekadar memasak, menyuci, merawat anak, dan menunaikan kewajiban suami-istri. Demikianlah, kodrat seorang perempuan”.

Ironinya, doktrin patriarki ini mereka wariskan secara turun temurun dan menjadi pendidikan pertama yang wajib dikuasai dan dipahami.

Berbanding terbalik dengan persoalan pernikahan. Pendidikan dan karier tak memiliki ruang cukup memadai di kalangan masyarakat pelosok pedesaan, sedangkan pernikahan mendapat tempat istimewa dan menjadi harapan masa depan perempuan.

Lebih dari itu, tak jarang anak-anak perempuan desa dinikahkan secara paksa oleh orang tuanya dalam kondisi status pendidikan belum lulus Sekolah. Alih-alih menyekolahkan, justru rumah tangga-lah yang mejadi pilihan. Menikah dianggap sebagai jalan terbaik. Selain mengurangi beban dan tanggung jawab keluarga dalam hal perekonomian, juga agar anak dapat belajar untuk hidup mandiri dan bertanggungjawab.

Baca Juga  Stop Obsesi Menghapus Keragaman Keyakinan

Namun, realitas di lapangan tak seperti yang diharapkan orang tua. Minimnya ilmu pengetahuan dan pendidikan menjadikan perempuan dalam rumah tangganya semakin lemah. Bahkan, ia rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal ini tidak lain karena karena terenggutnya hak anak, ia dipaksa menjadi dewasa, sementara psikologisnya belum matang dan stabil sehingga kehilangan jati diri.

Padahal, dalam buku Tahrir al-Mar’ah (1991), salah satu tokoh pejuang emansipasi perempuan asal Mesir, Qasim Amin, menyatakan dengan nada sedikit menantang bagaimana mungkin seorang perempuan dapat mengurusi hidupnya dengan baik, sementara ia tidak dibekali dengan ilmu pengetahuan (pendidikan) yang cukup memadai. Pun jika ia dibiarkan terus-menerus tanpa pendidikan, maka tidak akan mendatangkan manfaat bagi kehidupan. Dan sama saja menjadikan “perhiasan pajangan” yang fungsinya sekadar untuk dilihat.

Pendidikan, demikian Qasim Amin merupakan hal yang wajib diberikan kepada perempuan. Sebab, berkaitan dengan perannya sebagai ibu dari anak-anaknya. Bahkan, menjadi penentu bagi masa depan generasi penerus bangsa kelak. Oleh karena itu, dengan pendidikan seorang perempuan dapat mempertinggi perannya.

Dengan demikian, masa perempuan desa mesti jadi perhaatian bersama, bukan hanya orang tuanya masing-masing. Sebisa mungkin kita perlu menghapuskan mitos-mitos patriarki tentang Pendidikan tinggi perempuan dan mendorong setiap perempuan untuk mengejar pendidikan. Stop mewariskan pandangan negatif tentang perempuan yang mengutamakan pendidikan dan karir.

Saidun Fiddaraini
Saidun Fiddaraini
Alumnus Ma'had Aly Nurul Jadid, Paiton Probolinggo, kini mengabdi di Pesantren Zainul Huda, Arjasa Sumenep. Juga penikmat kajian keislaman dan filsafat.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.