KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menerima gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (13/02/2023). Ketua Umum PBNU ini pantas mendapatkan gelar kehormatan atas pemikirannya yang telah banyak memberikan sumbangsih dalam produksi pengetahuan keislaman, khususnya di tubuh NU. Gus Yahya tampil membawakan pidato ilmiah yang berjudul Rekontekstualisasi Ajaran Islam untuk Tatanan Dunia Baru.
Dalam pidato ilmiah tersebut, Gus Yahya mangajak intelektual Muslim Tanah Air untuk terus produktif dalam menyegarkan Fikih untuk terus merawat persatuan dan kemanusiaan. Ia menjelaskan besarnya potensi kemaslahatan dari pembaharuan fikih dalam mengaktualisasikan kedamaian. “Mencegah eksploitasi atas identitas, menangkal penyebaran kebencian antargolongan, mendukung solidaritas, dan saling menghargai perbedaan di antara manusia, budaya, dan bangsa-bangsa dunia, serta mendukung lahirnya tatanan dunia yang sungguh-sungguh adil dan harmonis” tutur Kiai kelahiran rembang 1966 ini.
Hal penting dari kemanusiaan adalah kesetaraan. Dengan kesetaraan, tidak ada rasa lebih tinggi ataupun lebih rendah, sehingga umat beragama dapat saling menghargai satu sama lain sebagai manusia yang sama-sama menyembah Tuhan di muka bumi. Menurut Gus Yahya, pandangan tentang status non-Muslim di tengah kehidupan bermasyarakat, dan norma-norma menyangkut interaksi antar umat beragama, merupakan satu dari empat kerawanan pokok yang harus kita perhatikan.
Pudarnya keberislaman yang ramah terhadap non-Muslim dapat meningkatkan tindak-tutur yang lebih mengedepankan ego mayoritanisme, dan tidak mau bertoleransi dengan umat agama lain. Keberagamaan yang demikian dapat menghambat datangnya rahmat bagi seluruh manusia, sebagaimana visi Islam dalam Q.S. al-Anbiya: 107.
Penting bagi setiap umat beragama, untuk sama-sama mengedepankan ajaran agama ramah. Ajaran agama yang, sebagaimana yang disebutkan Gus Yahya dalam pidatonya, “…memperkuat kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia, baik Muslim atau non-Muslim, serta mengakui adanya persaudaraan seluruh manusia, anak cucu Adam (ukhuwah basyariyah).”
Dalam menghadapi realitas kemajemukan di Indonesia, Islam selalu dalam keadaan yang terus belajar dan berkembang. Dalam artikel berjudul Islam Merangkul Nusantara, dalam buku Islam Nusantara (2015), Gus Yahya menjelaskan bahwa selama ratusan tahun, para ulama secara hati-hati mempelajari realitas sosial budaya masyarakat Nusantara yang majemuk. Hal itu untuk memastikan cara paling elegan dalam mencapai tujuan mengembangkan Islam, sembari tetap menjaga harmoni dalam masyarakat yang amat pluralistik ini.
Para ulama Nusantara tidak memandang umat Islam sebagai penduduk khusus, dan Islam bukan sebagai ideologi suprematif. Sebab, cara pandang demikian hanya akan menjerumuskan laku keberislaman pada ego dan sikap tirani mayoritanisme.
Oleh karena itu, sudah semestinya urusan publik ditangani atas dasar kesetaraan dan penerimaan semua pihak. Identitas keagamaan tidak boleh diperalat untuk membenarkan ketidaksetaaraan, arogansi, dan kebencian antar golongan. Sebaliknya, agama justru mendukung solidaritas, mengajarkan keadilan dan keharmonisan sesama manusia yang saling menghargai perbedaan.