Keulamaan Perempuan

KhazanahKeulamaan Perempuan

Selama ini, istilah “ulama” dalam konstruksi berpikir komunitas Muslim, selalu mengacu kepada mereka yang secara sosial-keagamaan menguasai kitab kuning, memimpin pesantren, dan berjenis kelamin laki-laki. Sepanjang sejarah, hanya tokoh laki-laki yang senantiasa menghiasi lembaran karya para sarjana tentang ulama.

Kenyataan di atas tentu saja berakar panjang. Dalam buku Ulama Perempuan Indonesa (2002), guru besar Ilmu Sejarah dan Kebudayaan Islam, Prof. Jajat Burhanuddin, menuliskan bahwa Islam berkembang bersama budaya yang menganggap perempuan sebagai makhluk yang separuh harga laki-laki.  Khazanah Islam klasik seringkali menempatkan kaum perempuan dalam urusan rumah tangga atau domestik, yang statusnya berada di bawah laki-laki yang bekerja di luar.

Lebih jauh lagi kenyataan di atas berlangsung berabad-abad lamanya dan melekat dalam diri sebagian umat Islam sampai hari ini. Perempuan seakan-akan tidak pantas atau dilarang menyandang gelar “ulama”, kendatipun kapasitas intelektual mereka telah memadai dan memenuhi kualifikasi sebagai seorang ulama, bahkan melampaui kaum laki-laki.

Sejarah peran perempuan sebagai ulama adalah sejarah yang terkubur selama berabad-abad, dan baru mulai digali. Pengetahuan kita tentang perempuan ulama masih sangat terbatas.  Kurangnya perempuan dalam literatur sejarah intelektual bukan dikarenakan perempuan tidak berperan. Namun, karena tidak mendapat tempat yang semestinya dalam literatur sejarah sehingga tidak banyak diketahui. Sudah menjadi keharusan bagi kita untuk terus menggali keberadaaan mereka.

Jika kita menilik kembali lembaran sejarah, dan mencari perempuan yang telah memainkan peranan penting dalam perkembangan Islam di Nusantara, kita pasti akan menemukannya. Lihat misalnya Nyai Hj. Arnah (1876-1924/1925), salah seorang perempuan ulama yang lahir dari Banten.

Nyai Arnah disebut-sebut sebagai sosok pembawa ilmu “dari Mekah untuk masyarakat Banten”. Ia cukup lama menetap di Mekah dan belajar ilmu fikih, hadis, tafsir, dan tata bahasa Arab. Selain itu juga ilmu qira’at dan tarekat kepada ulama-ulama Banten yang juga menetap di Haramain, Mekah, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Abdul Karim Tanara, dan Syekh Arsyad bin As’ad.

Salah satu kontribusi terbesar Nyai Arnah adalah ilmu qira’at. Ia dianggap sebagai mata rantai penting di dalam transmisi intelektualitas perempuan ulama terutama di bidang ilmu qira’at, dari periode Syekh Nawawi al-Bantani kepada generasi berikutnya. Putra satu-satunya Nyai Arnah, yaitu KH. Emed Bakri, yang kemudian disebut sebagai salah seorang penyebar qira’at hafs pertama di Pandeglang. Berapa banyak dari kita yang mengenal nama Nyai Arnah Al-Bantani, bersama dengan nama Syaikh Nawawi Al-Bantani?

Baca Juga  Ibnu Atha’illah: Penghambaan yang Sebenarnya

Kemudian ada juga Nyai Hj. Siti Zubaidah (1941/1942-1996), seorang ulama perempuan Betawi. Dengan berbekal ilmu pengetahuan keagamaan yang diperoleh dari KH. Abdul Hadi dan suaminya sendiri, yaitu KH. Hasbiyallah, maka Nyai Zubaidah melakukan dakwah Islam dengan berkeliling mengajar puluhan majelis taklim ibu-ibu. Tak hanya itu, Nyai Zubaidah juga dipercaya oleh suaminya untuk mengasuh Pondok Pesantren Putri Al-Banatul Wathoniyah.

Ia tak hanya mengajar melainkan juga menelurkan sebuah karya yang ditulis berbahasa Arab-Melayu yang diberi judul Kaifiyah Sembahyang Tarawih dan Salat Idain. Selain dua karya tersebut, sebenarnya Nyai Zubaidah banyak menulis dalam bentuk manuskrip, namun tidak sempat dicetak.

Tokoh perempuan ulama lain yang tak kala penting kontribusinya adalah Nyai Hj. Saidah Said, seorang ulama perempuan yang lahir di Jakarta tahun 1945. Upaya Nyai Saidah dalam mendakwakan ajaran Islam dengan mendirikan sebuah yayasan bersama suaminya, yaitu H. Syarifuddin dan beberapa tokoh lain, yang kemudian diberi nama Yayasan Al-Hikmah (1970). Sebuah yayasan yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat, keagamaan, pendidikan, dan sosial.

Yayasan ini berdiri untuk mengajarkan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah. Seperti cara berpikir dan berperilaku tawasut (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang). Tak hanya mengedukasi masyarakat, khususnya kaum perempuan secara langsung. Tapi Nyai Saidah juga meninggalkan karya berupa buku. Diantara karya yang beredar luas di tengah masyarakat adalah Fikih Keumatan dan Doa-doa Menggapai Keberkahan.

Singkatnya, keberadaan perempuan dalam panggung keulamaan bukanlah hal yang asing atau baru. Sejak dahulu, selalu ada perempuan yang berkontribusi bagi perkembangan Islam di Nusantara. Hal ini semestinya patut menginspirasi kita untuk mengakui keulamaan seseorang yang memang berilmu, baik laki-laki ataupun perempuan. Kita wajib memberikan penghormatan dan tempat yang tinggi bagi siapapun yang diberi kelebihan dalam Ilmu Agama, termasuk dari kaum perempuan. Wallahu A’lam

Saidun Fiddaraini
Saidun Fiddaraini
Alumnus Ma'had Aly Nurul Jadid, Paiton Probolinggo, kini mengabdi di Pesantren Zainul Huda, Arjasa Sumenep. Juga penikmat kajian keislaman dan filsafat.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.