Gerak Nasionalisme Banser

KolomGerak Nasionalisme Banser

Sebagai bentuk komitmen Nahdlatul ‘Ulama pada negeri ini, sekira tahun 1962, Barisan Serba Guna (Banser) NU diresmikan menjadi badan semi otonomnya Gerakan Pemuda (GP) Ansor. Sumber lain mencatat Banser telah ada jauh sebelum itu, kisaran tahun 1937 dengan nama Barisan Ansor Nahdlatul ‘Ulama (BANU). Dalam rentang berdirinya, Banser bergerak dalam payung kemasyarakatan dan kemanusiaan di Tanah Air.

Selain bertugas menjaga keamanan sekian acara yang digelar para kyai atau masyarakat nahdliyin, Banser secara sukarela turut serta dalam berbagai aktivitas sosial. Termasuk menjaga perayaan hari keagamaan dari umat lain. Bahkan pada tahun 2000 seorang anggota Banser, Riyanto, meninggal sebagai pahlawan. Ia terkena serangan bom teroris saat bertugas menjaga kondisifitas acara malam natal di Gereja Eben Heizer, Mojokerto, Jawa Timur.

Hanya saja belakangan Banser kerap ditimpa isu tidak mengenakkan. Misalnya saja ketika Banser membubarkan pengajian di Masjid Al-Muttaqien di Desa Laden, Kecamatan Pamekasan, Madura yang diisi oleh dai kondang, Ustadz Hanan Attaki pada Minggu (12/02/2023).

Pembubaran itu dilakukan lantaran masyarakat setempat merasa resah dengan adanya pengajian tersebut. Hal ini disampaikan oleh Kyai Taufik Hasyim, Ketua PCNU Pamekasan. Terlebih sebelum pengajian tersebut digelar, pihak PCNU telah melayangkan keberatannya kepada panitia terhadap adanya pengajian yang digelar di Masjid Al-Muttaqien tersebut. Namun panitia masih bersikeras menunaikannya, mesti tidak sampai rampung.

Tentu saja warta itu viral dan memicu berbagai macam komentar di media sosial. Beberapa lainnya meyayangkan adanya pembubaran pengajian tersebut. Beberapanya lagi menanyakan sikap syiar ajaran Islam yang ada di dalam diri Banser. Meskipun di sisi lain juga tidak sedikit yang turut mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Banser. Khususnya dalam merespon agenda indoktrinasi paham-paham yang menggerus budaya dan nasionalisme umat Islam Indonesia berkedok pengajian.

Membaca peristiwa ini, moderasi yang digaungkan pengurus Nahdliyin seakan-akan tidak berimplikasi di masyarakat akar rumput. Karena fakta yang beredar, Banser memang bergerak untuk membubarkan acara pengajian. Acara yang kerap jadi ujung tombak dalam menerjemahkan laku-laku keberislaman di masyarakat luas.

Tetapi di sisi lain, kita tidak bisa menegasikan konteks sosial masyarakat yang ada di Pamekasan. Dapat dikatakan bahwa Banser sebenarnya berusaha ikut melindungi budaya dan identitas warga Muslim lokal di Pamekasan, yang merasa tidak cocok dengan model dan paham keberagamaan mentereng dan trendy ala Ustadz Hanan Attaki.

Baca Juga  Nur Rofiah: Al-Quran Mengubah Cara Pandang terhadap Pengalaman Biologis Perempuan

Di tambah lagi, beberapa kali ustadz tersebut membuat kontroversi dengan pernyataan-pernyataan nyeleneh tidak berdasar dari Islam. Seperti pernah menyebut bahwa Aisyah RA beratnya tidak lebih dari 55kg, dan menceramahkan agar setiap istri mengikuti standar fisik ini jika ingin menjadi solehah yang menyenangkan suami. Dalam kasus lain, ia juga menggambarkan Nabi Musa sebagai preman.

Konteks sosial masyarakat memang sangat penting untuk diperhatikan. Dalam salah satu teorinya di buku The Rules of Sociological Methods, Emile Durkheim menerangkan bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki fakta sosial yang berbeda-beda. Fakta sosial di sini berada di luar diri masyarakat, tetapi bersifat memaksa, dan telah ditunaikan jauh sebelum manusia ada (lahir) dan menjadi bagian dari masyarakat tersebut.

Misal sederhana, masyarakat laki-laki di desa A setiap malam Jumat mengirim tahlil ke para leluhurnya. Tradisi itu telah ada dan mengakar kuat selama bertahun-tahun. Maka setiap anak laki-laki di desa A sejak lahir, secara tidak langsung mesti dikenai fakta sosial ini. Ia akan belajar membaca tahlil, mengamalkannya seperti generasi sebelumnya.

Lantas bagaimana jika ada anak laki-laki yang tidak turut membaca tahlil? Maka anak laki-laki tersebut akan dinilai sebagai anomali. Dan secara berangsur-angsur, mereka yang dinilai sebagai anomali tersebut akan tersisih, ditinggalkan, dan berjarak dengan masyarakatnya. Singkatnya, ia terkena sanksi moral dan sosial.

Maka jauh sebelum peristiwa pembubaran pengajian tersebut, kita bisa membaca bahwa masyarakat muslim di Sumenep telah memiliki kultur keberislaman yang kuat dan khas, dengan dukungan pondasi yang telah mapan. Materi, isi ceramah, dan sosok Hanan Attaki yang tidak sesuai dengan fakta sosial di Pamekasan, tentu saja akan peroleh respon dari komunitas muslim yang ada di sana. Jadi, Banser bergerak untuk membantu masyarakat menghalau hal yang mengancam budaya dan tidak diinginkan ini.

Walhasil, membaca peristiwa ini, saya kembali teringat dengan pernyataan kawan asli Madura. Katanya: “Agama di Madura itu hanya ada dua, kalau egak NU ya Islam.” Ucapan yang terdengar semacam lelucon, tetapi juga menjadi fakta sosial yang mesti masuk jadi bahan pertimbangan sebelum memberi penilaian negatif pada Banser di Pamekasan.

Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady
Alumnus Magister Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga, penulis, dan masyarakat biasa.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.