Beberapa hari lalu, Ketua Umum Partai Ummat, Ridho Rahmadi, secara lugas menyatakan partainya akan mengusung politik identitas (13/2/2023). Ia yakin berpolitik menggunakan identitas Islam merupakan strategi jitu di ajang Pemili 2024 mendatang. Lebih-lebih, disebutkan pula bahwa, politik identitas merupakan politik yang pancasilais. Pernyataan kontroversial itu disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) Partai Ummat di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur.
Pernyataan ini mengembalikan publik pada bayang-bayang kegaduhan politik beberapa tahun lalu. Sekian diksi yang memicu polarisasi mencuat ke permukaan dan menyebabkan huru-hara.
Lantas, sebenarnya masih relevankah ajaran Islam digunakan sebagai payung identitas partai politik? Jika masih, apa konsekuensi yang kemungkinan bisa terjadi? Dan jika tidak relevan, mesti seperti apa umat Islam menyikapi gejolak politik secara proporsional?
Francis Fukuyama dalam bukunya The Origin of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution (2011) menerangkan bahwa, manusia memang mesti berpolitik. Karena hal itu menjadi fitrah dari manusia yang hidupnya secara berkelompok.
Politik sendiri juga tidak bisa dipisahkan dengan kepentingan antara us vs them. Artinya, demarkasi yang jelas antara siapa kawan dan lawan mesti dibuat, dibentuk, dan disuarkan demi memperoleh dukungan yang signifikan.
Dalam konteks ini, pernyataan menggaungkan politik beridentitas islam memang tidak ada salahnya. Sebab bila diamati, Partai Ummat sendiri mengusung sekian simbol ajaran Islam. Maka suara yang dibawa juga representasi dari umat Islam itu sendiri.
Hanya saja negeri ini memiliki sejarah panjang ihwal berpolitik dengan identitas Islam. Bahkan jauh sebelum negeri ini mencercap kemerdekaan, ajaran Islam pernah dikonsepsikan menjadi ideologi untuk menolak gerak imperialisme dan kolonialisme.
Misalnya saja kemunculan Sarekat Islam (SI) yang diprakarsai oleh H.O.S Tjokroaminoto. Islam saat itu tidak hanya berhenti sebagai ajaran yang memuat nasehat kebaikan semata, tetapi juga sebagai gerakan dan semangat perlawanan. Dari sini Islam digunakan dalam kerangka gerak nasionalisme.
Kemudian pada fase kemerdekaan, kita juga diwarisi nalar nasionalisme Islam serupa. Sebanyak tujuh kata dalam Pancasila versi awal, dihapus. Hal ini juga sebagai upaya mengakomodasi agama lain selain agama Islam.
Tetapi keputusan itu banyak ditentang oleh kalangan muslim lain yang menghendaki berdirinya negara Islam di Indonesia. Akhirnya muncul sekian gerakan yang mencoba mendirikan negara berbasis Islam; Gerakan Darul Islam (DI) di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Meskipun pada akhirnya gerakan ini direspon dengan cepat ketika negara Indonesia masih usia belia.
Di fase ini kita mulai melihat bahwa, ajaran Islam yang dipaksakan untuk turut serta dalam dunia politik, memicu munculnya korban jiwa. Tidak hanya pada tataran elit, tetapi mereka yang awam yang hanya sekadar ikut-ikutan juga turut menjadi korban.
Setelah masa itu muncul Partai Masyumi, partai yang menjadi wadah dari sekian organisasi Islam di masa tersebut. Kendati akhirnya terpecah pasca Nahdlatul ‘Ulama keluar. Namun perlu diakui bahwa sekian nama mashur di negeri ini muncul dari rahim Partai Masyumi.
Memasuki abad 21 awal, identitas politik Islam mencuat kembali dengan wajah yang agak kasar dan menyeramkan. Buya Syafii Maarif dalam pidatonya di depan forum Nurcholish Madjid Memorial Lecture III (21/10/2009) yang bertempat di Aula Universitas Paramadina, Jakarta mengatakan, “Secara ideologis (Identitas Politik Islam), mereka ini jelas mendapat inspirasi dan pengaruh dari gerakan Islamis dan Salafi yang semula berpusat di beberapa negara Arab, kemudian dengan kecepatan tinggi menyebar ke seluruh jagat.”
Dari alur perjalanan panjang kaitannya politik dengan ajaran Islam memang bisa dikatakan pasang surut. Ajaran Islam pernah mewujud sebagai semangat yang membangkitkan kesadaran pada ketertindasan di era kolonial, pun pernah merupa legitimasi berbagai intrik politik yang hanya berakhir pada politisasi agama. Dua-duanya pernah dialami negeri ini. Tetapi pilihannya tetap pada Pancasila sebagai dasar negara dengan titik temu pada ‘nilai-nilai’ di ajaran Islam. Begitu.